Oleh: Dr. H. Hayu Prabowo adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI)
Aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan telah merusak planet ini dan jika kita tetap dengan gaya hidup serta pola produksi dan konsumsi seperti saat ini, diperkirakan ekosistem bumi akan runtuh yang dibarengi dengan punahnya keanekaragaman hayati serta diikuti dengan binasanya kehidupan.
Krisis iklim merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia karena memperburuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, persediaan air, ketahanan bencana alam, serta perdamaian dalam skala nasional dan dunia.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme – UNEP) mengidentifikasi hanya 100 perusahaan yang bertanggung jawab atas 71% emisi global. Tragisnya, kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya lah yang paling sedikit berkontribusi terhadap perubahan iklim, justru yang paling menderita akibat dampak perubahan iklim.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Kita hidup di dunia yang saling berhubungan. Kekeringan, banjir atau bencana di satu bagian dunia dapat mengganggu rantai pasokan dengan implikasi serius bagi orang miskin dan rentan seperti wanita dan anak-anak.
Tata Kelola Lingkungan Global mencakup organisasi, instrumen kebijakan, mekanisme pembiayaan, aturan, prosedur, dan norma yang mengatur proses perlindungan lingkungan global. Sistem tata kelola lingkungan yang kita miliki saat ini mencerminkan keberhasilan dan kegagalan sejak gerakan lingkungan global dimulai pada awal tahun 70-an.
Negosiasi lingkungan multilateral telah mengalami kemunduran besar pada tahun 2019. Tahun 2020 ini dibuka di tengah meningkatnya nasionalisme dan melemahnya multilateralisme.
- Jepang meninggalkan Komisi Perburuan Paus Internasional.
- Amerika Serikat secara resmi mengkonfirmasi penarikannya dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim.
- Majelis Lingkungan PBB pada 2019 tidak dapat setuju untuk memulai diskusi tentang bagaimana mengatur teknologi geoengineering surya dan penghilangan karbon dioksida.
- COP 25 juga gagal mengeluarkan seruan yang jelas untuk ambisi iklim.
- KTT Aksi Iklim PBB juga mengecewakan terhadap ambisi iklim.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan sains dan teknologi saja dalam memecahkan masalah iklim, tetapi perlu etika, koherensi, dan tata kelola lingkungan hidup yang berangkat dari soliditas sosial. Semuanya dapat berangkat dari iman. Semua agama dan nilai-nilai spiritual mengajarkan keseimbangan manusia dengan alam, dan menghargai sesamanya, secara berkelanjutan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Ini termasuk merespon secara kolektif terhadap krisis internasional – termasuk pandemi seperti COVID-19; dan dukungan untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana kita dapat membangun kembali tata kelola lingkungan global untuk lingkungan dan perubahan iklim yang lebih baik?
Mengingat bahwa krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial, maka nilai dan etika memegang peran kunci untuk merubah sistem sosio-ekonomi yang tidak berkelanjutan untuk merubah perilaku serta pola konsumsi dan produksi yang mendominasi sebagian besar kerusakan bumi. Untuk membuat aktivitas manusia global lebih berkelanjutan diperlukan kembali nilai-nilai, kepercayaan dan etika hubungan manusia dengan alam.
Nilai dan etika ini sebagian besar akan diinspirasi oleh iman. Terlepas dari keragaman agama dan kepercayaan, hampir semua agama memiliki kesamaan etika yang didasarkan pada keharmonisan dengan alam dan kewajiban melestarikannya untuk kelangsungan kehidupan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Oleh karena itu, di masa degradasi lingkungan global yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, diperlukan etika lingkungan baru yang didasarkan pada nilai-nilai yang dimiliki bersama secara universal, yang menempatkan nilai lebih besar pada alam yang berhubungan dengan keyakinan spiritual.
Etika lingkungan secara kolektif tidak berarti menyamakan perspektif agama. Melainkan saling menghargai keragaman beragama dalam menciptakan gagasan umum tentang kewajiban moral untuk melindungi lingkungan yang dapat menjembatani serta menggabungkan pengetahuan, dan praktik yang diberikan dari berbagai agama. Tujuannya agar manusia dapat hidup selaras dan harmoni dengan alam dan dengan sesamanya secara berkelanjutan.
Kaum muda di seluruh dunia saat ini tidak hanya menentang dinamika ketidakadilan lingkungan, tetapi juga telah turut mengatur dan menentukan arah menuju realitas baru. Masyarakat sipil, sektor swasta dan umat beragama, juga telah mengambil peran lebih aktif karena pemangku kepentingan telah menciptakan ruang politik untuk melibatkan mereka menangani lingkungan, hak asasi manusia, bisnis, dan organisasi lain dalam proses pengambilan keputusan. Kami juga banyak melibatkan organisasi pemuda berbasis keagamaan baik nasional dan internasional. Misal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Pemuda OKI.
Dua pekan lalu, UNEP bersama mitranya mengadakan konferensi bersejarah Faith for Nature yang menitikberatkan pada peran etika dan nilai-nilai spiritual untuk memecahkan masalah lingkungan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Deklarasi “Our Sacred Commitment” atau “Komitmen Suci Kita” akan diserahkan ke Sidang Lingkungan PBB pada Februari 2021 untuk diadopsi sebagai resolusi PBB pertama yang mengintegrasikan etika, nilai-nilai dan keyakinan spiritual sebagai sarana untuk meningkatkan implementasi Sustainable Development Goals.
Kekuatan spiritual dan juga kekayaan berwujud maupun tidak berwujud organisasi berbasis agama dapat menjadi kekuatan untuk penerapan solusi berbasis alam mengingat sumber daya di bawah kendali mereka dan pengaruh pendidikan yang dimilikinya. Pengaruh sosial, ekonomi politik, kredibilitas, dan pengaruh dengan pengikutnya merupakan sumber daya yang dapat membentuk perubahan perilaku masyarakat.
Dengan adanya perkembangan global ini, maka peran pemuka dan organisasi keagamaan akan memegang peran kunci dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Ini akan dimulai dari rumah ibadah masing-masing.
Indonesia telah memiliki organisasi lintas agama untuk pergerakan Lingkungan Hidup yaitu Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi (Siaga Bumi) yang diideklarasikan pada 2015 dalam mendukung Perjanjian Paris untuk perubahan iklim serta menghadapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia pada tahun tersebut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Setelah itu, kami telah terlibat dengan kegiatan Internasiional, salah satunya adalah Interfaith Rainforest Initiative (IRI), dan kami mengharapkan melalui kegiatan ini kita bisa bekerjasama lebih erat dengan Uni Eropa.
Salah satu program Siaga Bumi adalah ecoRumah Ibadah (ecoMasjid, ecoGereja, ecoPuri, ecoVihara, ecoKlenteng, dan sebagainya) dimana umat beragama berkumpul dan membuka hatinya untuk kerohanian. Dalam program ini dilakukan sosialisasi ajaran agama dan ekologi (eco-teologi) untuk meningkatkan pemahaman ajaran agama dalam menjaga bumi melalui perubahan perilaku pengurus rumah ibadah dan umatnya serta menjadikan rumah ibadah sebagai bangunan yang ramah lingkungan.
Untuk masjid dilakukan pendekatan (i) Idarah (Pengelolaan), (ii) Imarah (Memakmurkan) – yaitu Ubudiyah, Tarbiyah dan Ijtimaiyah, dan (iii) Riayah (pemeliharaan).
Pendekatan yang dilakukan adalah Dakwah bil Lisan (berupa ceramah, khutbah, dan edukasi) dan dakwah bil Hal (Aksi nyata pada bangunan rumah Ibadah dan Mengajak masyarakat sekitar).
Pendekatan ini memadukan pendekatan spiritual keagamaan iman dan takwa (imtak) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Perpaduan pandangan Imtak dan Iptek ini telah kita praktikan dalam enam penetapan dan penerapan fatwa lingkungan hidup Majelis Ulama Indonesia, diantaranya mencetak dai konservasi, dai peduli gambut, dai sanitasi, dan lain-lain.(AK/R1/P1)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Mi’raj News Agency (MINA)
*Artikel ini disampaikan Dr. Hayu Prabowo dalam Pembukaan Pekan Diplomasi Iklim 2020 (Climate Diplomacy Week/CDW 2020) Uni Eropa pada 24 Oktober 2020 bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Suharso Monoarfa, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, dan Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat