Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peran Kunci Ulama dan Santri dalam Menumpas Kekejaman PKI di Indonesia

Zaenal Muttaqin Editor : Arif R - 11 detik yang lalu

11 detik yang lalu

0 Views

Sebuah monumen di Magetan Jawa Timur, dibangun untuk mengenang kekejaman PKI terhadap para ulama dan santri (Foto: Wikipedia)

MINA – Setiap tanggal 30 September, masyarakat Indonesia mengenang peristiwa kelam dalam sejarah bangsa ini, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam tindakan brutalnya, PKI tidak ragu untuk membunuh para kiai dan ulama.

Mengutip buku Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, bahwa PKI adalah gerakan sosial politik yang menjadi ancaman bagi negara.

Partai yang menganut ideologi Marxisme-Komunisme ini berambisi menggantikan ideologi Pancasila.

Peristiwa Madiun yang meletus pada 18 September 1948 menandai usaha ideologi sosialis kiri untuk mewujudkan Negara Komunis Indonesia.

Baca Juga: Cuaca Jabodetabek Diperkirakan Berawan Sepanjang Hari Senin Ini

Melalui berbagai aksi, pendukung PKI berhasil menduduki wilayah-wilayah di sekitar Madiun, termasuk Magetan dan Ponorogo.

Dalam upaya menguasai keresidenan Madiun, PKI melakukan serangkaian pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting, termasuk ulama, santri, dan pemimpin partai Islam Indonesia, Masyumi.

Tindakan PKI memicu perlawanan dari umat Islam. Masyarakat yang tergabung dalam Masyumi berjuang melawan PKI yang menyerang, menumpas orang-orang Islam, serta menjarah dan merampas harta benda masyarakat setempat.

Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan, ribuan nyawa umat Islam, termasuk para ulama Nahdlatul Ulama (NU), menjadi korban, sementara simbol-simbol Islam dihancurkan.

Baca Juga: TAP MPR Pemberhentian Presiden Gus Dur Dicabut

Keberhasilan PKI menguasai Madiun disertai penjarahan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap umat Islam. Mereka tidak segan-segan menembak siapapun yang dianggap musuh, membuat masyarakat Madiun ketakutan.

Pada 1948, pimpinan Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap dan dibunuh. Di tengah situasi tersebut, mayat-mayat bergelimpangan di jalanan, bendera merah putih dirusak dan diganti dengan bendera merah berlambang palu arit, serta potret Sukarno diganti dengan potret Muso, pemimpin PKI.

Kekejaman PKI di Magetan

Pada tahun 1948, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, terjadi pembantaian terhadap pejuang, ulama, dan tokoh masyarakat oleh PKI. Tragedi ini menjadi catatan kelam dalam sejarah yang menimpa kaum santri dan ulama.

Baca Juga: Mahasiswa UIN Ar-Raniry Juara MHQ 30 Juz di Ajang Seiba International Festival

Salah satu sasaran PKI adalah Pondok Pesantren Cokrokoptopati Ibnu Sabil Takeran, yang dikenal sebagai basis Partai Masyumi. Di sana, para tokoh Masyumi dan ulama besar berkumpul.

Kekejaman PKI masih diingat oleh masyarakat Magetan hingga kini. Monumen Soco di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Magetan, menjadi simbol sejarah kebrutalan PKI terhadap warga Magetan.

Di bawah monumen itu, dulunya mayat-mayat korban pembantaian PKI dari kalangan ulama dan santri dibuang. PKI melakukan penculikan terhadap para ulama dengan berbagai cara, termasuk bujukan dan rayuan. Setelah tertangkap, mereka dibawa ke sumur dan dibunuh.

Monumen Soco menyimpan bukti gerbong maut dan sumur yang digunakan untuk membuang ratusan korban. Satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu kini dipajang sebagai bukti sejarah, sementara sumur yang dijadikan tempat pembuangan telah ditutup dan dibangun tugu kecil di atasnya.

Baca Juga: Rektor UIN Jambi Prof Asad Isma Semayamkan di Taman Makam Pahlawan

Di dekat sumur itu, prasasti mencantumkan nama-nama korban pembantaian PKI, termasuk 108 jenazah yang ditemukan, dengan 78 di antaranya dapat dikenali.

Di antara nama-nama tersebut adalah KH. Sulaiman Zuhdi, pimpinan Pondok Pesantren Ath-Thohirin Mojopurno Magetan. Kiai Sulaiman dikenal sebagai pejuang kemerdekaan dan penasehat Bupati Magetan, Sudibjo, namun keduanya meninggal dunia pada September 1948 akibat keganasan PKI.

Monumen lain yang juga mencatat kekejaman PKI adalah Monumen Keganasan PKI di Rejosari, Kawedanan, Magetan, yang memuat 26 nama korban, termasuk KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, yang dikubur hidup-hidup setelah disiksa.

Menyasar Pondok Gontor

Baca Juga: Memasuki Pancaroba, BMKG Ingatkan Masyarakat Waspada Angin Puting Beliung

Setelah deklarasi Muso tentang negara Soviet Indonesia di Madiun pada 18 September 1948, PKI melanjutkan aksinya ke Ponorogo, dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor. Meskipun jarak antara Gontor dan Madiun sekitar 40 kilometer, para santri di Gontor menjadi resah akan ancaman PKI.

Sebagian santri meminta izin pulang, sementara yang lain memilih untuk tetap tinggal. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal, pimpinan Pondok Pesantren Gontor, berusaha menenangkan santri dan merencanakan langkah-langkah untuk menghadapi situasi tersebut. Dalam musyawarah, disepakati bahwa satu-satunya jalan adalah mengungsi untuk menyelamatkan diri.

Dalam buku Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, dijelaskan bahwa selama pengungsian, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi menugaskan santri, Shoiman, untuk menjaga pondok. Namun, setelah santri mengungsi, PKI menyerang Gontor, merusak pondok, dan membakar buku-buku serta sarana ibadah.

Aksi kekerasan PKI tidak berhenti di situ; kejadian ini menciptakan antiklimaks yang berujung pada Gerakan 30 September 1965. Sejarah tragedi G30S/PKI sudah banyak diungkap dalam berbagai buku sejarah dan media.

Baca Juga: Pertanian Organik Melesat di Jateng, Petani Kian Antusias

Peran Ulama Menumpas PKI

Setelah Indonesia merdeka, PKI menjadi partai terbesar setelah Masyumi, PNI, dan NU. Setelah tragedi pembantaian 1948, PKI kembali beraksi pada 1965, dan para ulama, terutama dari kalangan NU, memainkan peran penting dalam menumpas gerakan tersebut. Salah satu yang terkemuka adalah KHR As’ad Syamsul Arifin, ulama dan pahlawan nasional yang membesarkan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Sukorejo, Situbondo.

Dalam buku KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Hasan Basri menyoroti peran Kiai As’ad yang aktif menghubungi Jakarta untuk mendapatkan informasi terkait situasi politik. Saat peristiwa berdarah G30S/PKI meletus, NU menunjukkan kekuatan yang solid, dan hampir semua ulama NU menjadi legitimasi bagi penumpasan PKI.

Kiai As’ad mengutuk PKI sebagai penyebab utama pemberontakan dan mendesak pemerintah untuk membubarkan partai tersebut. Perannya sangat penting dalam mengoordinasikan tindakan penumpasan oleh ABRI dan gerakan anti-PKI di seluruh Indonesia. []

Baca Juga: Al-Fatah Karate-Do Lampung Gelar Ujian Kenaikan Sabuk

Mi’raj News Agency (MINA) 

 

Baca Juga: Aliansi Pemuda Lintas Agama Bahas Kolaborasi Hadapi Krisis Iklim di KISUCI

Rekomendasi untuk Anda