Oleh Rifa Berliana Arifin, Kared Bahasa Arab
Dibalik perang Israel – Palestina yang berlangsung 11 hari, ada upaya Netanyahu untuk memutus kebuntuan politik diri dan partainya karena terjerat banyak kasus suap, korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga membuat popularitasnya yang kian merosot. Dalam empat pemilu berturut usaha Netanyahu nihil hasil.
Namun, pekan lalu, Rabu (2/6), Ketua Partai Yamina Naftali Bennett, Ketua Partai Yesh Atid Yair Lapid, dan Ketua Partai Raam Mansur Abbas sepakat membentuk koalisi untuk mendepak Netanyahu dari jabatannya.
Kesepakatan “koalisi” baru itu mengusung Naftali Bennett menjadi Perdana Menteri menggantikan Netanyahu sampai dengan 27 Agustus 2023 dan berakhirnya masa jabatan parlemen Israel (Knesset) pada November 2025.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Koalisi baru ini juga berhasil menguasai dukungan 61 dari 120 anggota Parlemen Israel (Knesset). Meski posisi ini tidak begitu kuat karena jika salah satu anggota mengundurkan diri bisa jatuh juga koalisi tersebut.
Lantas poinnya adalah bagaimana membaca Israel di bawah pemerintahan Bennet akan berubah terhadap kebijakannya pada Palestina?
Diketahui bahwa Bennet adalah pemimpin yang masuk pada klasifikasi politik sayap kanan (right wing). Dalam politik Israel, sayap kanan memiliki kecenderungan menolak two state solution dan pro (lebih keras) pada penghapusan negara Palestina berarti mengakui Al-Quds yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa adalah milik Israel.
Hanya kali ini, partai-partai yang biasanya berbeda haluan politik harus bergandengan untuk jatuhkan Netanyahu. Meski ada beberapa partai lain tidak pro pada Netanyahu juga tidak mau bergabung dengan koalisi.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Sejauh ini penulis melihat kabar terbentuknya pemerintahan baru Israel yang dibangun oleh tiga partai koalisi bukanlah kabar gembira bagi Palestina, Bennet yang memiliki latar belakang politik lebih keras pada Palestina, maka bagi Palestina bak keluar lubang buaya dan masuk ke mulut harimau.
Palestina dan Peran Iran
Perang Palestina – Israel kemarin memberikan bekas dan dampak yang signifikan, bukan hanya dilihat dari jumlah korban syahid yang berguguran tapi menyingkap kontelasi geopilitik kawasan Timur Tengah, khususnya negara-negara yang berperan dalam membantu gerakan perlawanan menghadapi Israel.
Di antara negara-negara yang berebut pengaruh tersebut negara mayoitas Muslim adalah Arab Saudi, Iran dan Turki.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Arab Saudi merasa paling berhak diberikan mandat sebagai pemimpin negara Islam lantaran di sana ada kiblat sekaligus dua kota suci, yakni Makkah dan Madinah. Turki merasa lebih layak dengan kalim titisan Kesultanan Utsmaniyah diyakini umat Islam saat ini sebagai sebuah khilafah.
Namun, rupanya untuk urusan perlawanan Palestina, Iran unggul dari kedua negara tersebut. Setidaknya pengakuan atas jasa-jasa kongkret Iran diakui secara terbuka oleh pemimpin Hamas dan Jihad Islam di Jalur Gaza.
Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyah yang menetap di Doha Qatar berterima kasih kepada Iran atas dukungan uang, senjata, dan teknis kepada Hamas sehingga mampu berperang menghadapi Israel.
“Kami berterima kasih kepada Republik Islam Iran yang tidak menahan bantuan dana, persenjataan, dan teknisnya,” katanya, seperti dikutip Jerusalem Post.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Juga Sekretaris Jenderal Jihad Islam Ziad an-Nakhlah yang menetap di Beirut, Libanon, menyurati pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Juga buat mengapresiasi sokongan dana, senjata, dan pelatihan dari Iran.
Bagi negara Mullah merupakan pusat teologi Syiah dunia itu, meski berbeda dalam hal ideologi, membantu Hamas dan Jihad Islam berpaham Sunni didasari oleh kesamaan tujuan, yakni membebaskan Palestina, termasuk Yerusalem Timur dan Masjid Al-Aqsa, dari penjajahan Israel. Karena itulah, Iran bisa lebih fleksibel dalam memberikan bantuan tanpa melihat perbedaan paham.
Arab Saudi sudah menetapkan Hamas dan organisasi Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris dan terlarang. Kebijakan ini sama dengan posisi diambil Israel dan Amerika Serikat.
Dalam beberapa sumber tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, Arab Saudi ingin mengambil alih pengurusan Masjid Al-Aqsa dan situs agama bersejarah lainnya di Yerusalem Timur dari tangan Yordania.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Modus yang saa dimiliki Turki. Turki aktif dalam memperluas pengaruhnya di Al-Quds, banyak organisasi kemanusiaan mendapat sokongan dana dari Turki beroperasi di kota Al-Quds.
Tapi posisi Turki tertinggal dari Iran, Turki mengakui Israel tahun 1949, dalam perang terakhir ini terlihat begitu garangnya Presiden Erdogan mengecam Israel tapi hubungan diplomatik Turki-Iran tetap
Tapi lagi-lagi posisi Turki ketinggalan dari Iran. Turki menjadi negara muslim pertama mengakui eksistensi Israel pada 1949. Bahkan, meski Presiden Recep Tayyip Erdogan kelihatan garang mengecam Israel saat Perang Gaza 10-20 Mei lalu, ternyata Kedutaan Besar Turki di Ibu Kota Tel Aviv masih buka dan Kedutaan Israel di Ankara tetap beroperasi.
Kontribusi utama Iran terhadap Hamas dan Jihad Islam sehingga mampu berperang menghadapi Israel dibenarkan oleh negara Zionis itu.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
“Tidak satu pun perang terjadi di Timur Tengah tanpa sepengetahuan, dukungan dana, keahlian, dan keterlibatan langsung dari Iran di lapangan,” ujar juru bicara militer Israel Jonathan Conricus kepada Jerusalem post. (A/A-1/RS3)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel