Jakarta, 2 Sya’ban 1434/ 11 Juni 2013 (MINA) – Koordinator Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (JARI-PPTKLN), Nurus S Mufidah mengatakan, pemerintah harus lebih memprioritaskan penanganan pelayanan KBRI di Jeddah, Arab Saudi.
“Pemerintah Indonesia harus memprioritaskan perlindungan buruh migran dengan memberikan pelayanan yang layak serta melakukan pembenahan dalam sistem perlindungan dengan menangani buruh migran Indonesia,” kata Mufidah.
Dalam siaran Pers JARI PPTKLN yang diterima kantor berita Islam MINA (Mi’raj News Agency), Mufidah menyampaikan bahwa perhatian pemerintah masih sangat minim terhadap pelayanan pekerja migran yang mengurus dokumen di KBRI.
Dia juga menyampaikan keprihatinannya terhadap tanggapan-tanggapan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menilai permasalahan kerusuhan di KBRI Jeddah hanya permasalahan kecil saja.
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan
Menurutnya, kerusuhan KBRI di Jeddah merupakan buntut dari buruknya pelayanan perwakilan pemerintah dalam mengurus dokumen perjalanan Buruh Migran Indonesia yang overstay (tinggal terlalu lama).
Membludaknya Buruh Migran Indonesia yang ingin mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP), Ahad (9/6) lalu. Rilis Konsulat Jeddah menyebutkan, baru-baru ini terjadi lonjakan WNI yang mengurus dokumen keimigrasian semenjak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi secara resmi mengumumkan pemberlakuan kebijakan amnesti/pemutihan bagi seluruh warga negara asing di Arab Saudi yang tidak memiliki izin tinggal.
Kebijakan tersebut berlaku mulai minggu kedua bulan Mei 2013 hingga 3 Juli 2013.
Sementara itu, dalam rilis Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) saat rapat dengar pendapat Komis IX DPR RI, Senin sore (10/6), Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat menjelaskan, amnesti itu tidak dikoordinasikan dengan KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah sehingga membuat para petugas KJRI Jeddah kurang siap memberikan pelayanan, karena yang dilayani jumlahnya mencapai puluhan ribu orang sedangkan setiap hari biasanya melayani 500 sampai 1.000 orang.
Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama
“Namun pemerintah berupaya maksimal membantu secara teknis kepada Perwakilan RI di Arab Saudi,” kata Jumhur.
Jumhur menambahkan, sudah ada sekitar 50.000 WNI overstayers yang sudah mengurus dokumennya ke KJRI Jeddah. 12.000 WNI di antaranya yang sudah diterbitkan Paspor dan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP), serta menyusul 6.000 lagi pada Senin ini (10/6) sedang dalam proases penyelesaian.
Jumhur menampik kabar pembakaran Kantor KJRI di Jeddah. Dari keterangan KBRI Riyadh, pembakaran itu terjadi di luar Kantor KJRI Jeddah berupa pembakaran sampah dan plastik pembatas jalan.
“Sekarang situasinya sudah terkendali dan kondusif. Mari kita ciptakan situasi yang teduh. Proses pemutihan terhadap TKI overstayers di Arab Saudi jangan diprovokasi, sehingga kemudian membuat kegaduhan dan kepanikan pada para TKI,” tambahnya.
Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak
Sedangkan seorang TKI overstayers, Marwah binti Hasan (56 tahun), asal Bangkalan, Jawa Timur, meninggal pada Ahad (9/6) karena kelelahan dan jenazahnya dalam proses pemulangan.
Pelayanan Tidak Memadai
Selain itu, Koordinator JJARI-PPTKLN, Nurus S Mufidah juga menilai persoalan overstay di Jeddah, menunjukan pelayanan yang dilakukan pemerintah dalam rangka menjamin hak warga negaranya tidak memadai. Tak hanya itu, pelayanan yang diberikan juga tidak manusiawi mengingat 12 ribu orang harus antre dalam waktu lama untuk mengurus dokumen mereka.
Ia menekankan, seharusnya permasalahan ini menjadi pembelajaran bersama bahwa penanganan Buruh Migran tidak seharusnya dilakukan dengan reaksioner. Pemerintah harusnya mempunyai sistem penanganan yang tertata dan saling berkoordinasi untuk menyelesaikan setiap permasalahan buruh migrant.
Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina
“Setiap warga Negara memiliki hak atas pekerjaan. Banyak warga Negara yang harus menempuh berbagai kerentanan untuk bekerja di luar negeri, lantaran kegagalan Negara dalam menjamin kesejahteraan dan hak atas pekerjaan bagi warga negaranya di dalam negeri,“ tambahnya.
Mufidah menjelaskan, Secara umum, kondisi yang dialami Buruh Migran di Jeddah juga menjadi gambaran dari paradigma pemerintah yang belum melihat perlindungan Buruh Migran sebagai prioritas. Buruh Migran hanya dilihat sebagai komoditas ekonomi yang remitansinya ditargetkan setiap tahun. Bahkan tahun ini remitansi Buruh Migran diperkirakan mencapai Rp 100 triliun.
“Hal ini terlihat jelas dari draft UU revisi UU No. 39 Tahun 2004 yang masih mengedepankan penempatan daripada perlindungan. RUU yang ada, versi pemerintah maupun DPR, masih memberikan peran besar bagi pihak swasta, untuk peran-peran vital yang seharusnya diselengarakan oleh Negara. Sehingga, draft tersebut tidak menyelesaikan persoalan kekerasan dan pelanggaran buruh migran yang mendasar,” ujarnya.
Untuk itu, JARI-PPTKLN mengharapkan, presiden turun langsung untuk mengkoordinasikan pelayanan pengurusan dokumen bagi pekerja migran di Arab Saudi. Lembaga itu juga menambahkan, pemerintah harus lebih serius memikirkan perlindungan pekerja migran Indonesia dan melakukan koordinasi dengan semua pihak untuk penyelesaian dokumen pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Pemerintah melakukan pembenahan menyeluruh terhadap sistem perlindungan. (T/P10/P02)
Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”
Mi’raj News Agency (MINA)