Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peran Strategis Keluarga dalam Pengembangan Literasi Umat Menuju Masyarakat Madani

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 37 detik yang lalu

37 detik yang lalu

0 Views

Aat Surya Safaat, Wartawan Senior.(Foto: Doc. MINA)

Oleh Aat Surya Safaat, Wartawan Senior*

Ketika Bung Hatta (Mohammad Hatta) ditahan penjajah Belanda dalam waktu yang relatif lama di penjara Boven Digul Irian (sekarang Papua), ia menulis sebuah buku yang fenomenal dengan judul “Mendayung Antara Dua Karang”. Buku tersebut kemudian menjadi “basic” untuk pelaksanaan poltik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.

Sementara itu ketika Bung Karno (Sukarno) ditahan di penjara Sukamiskin Bandung yang juga dalam waktu relatif lama, ia pun menulis sebuah buku yang fenomenal dengan judul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Buku tersebut menginspirasi generasi muda dengan nilai-nilai luhur perjuangan.

Saat ditanya apa motivasi “Founding Fathers” itu dalam membuat karya tulis yang kemudian menjadi “legacy”(warisan) bersejarah tersebut? Keduanya menjawab dengan lantang bahwa “bangsa Indonesia ke depan harus menjadi lebih baik!”.

Baca Juga: Kejahatan Zionis di Era Digital

Kedua contoh karya besar bersejarah dari para pendiri bangsa itu saya kemukakan untuk memberikan motivasi bagi generasi muda bahwa menulis merupakan aktualisasi diri yang membawa idealisme untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Perlu juga kita pahami bahwa tidak ada istilah terlambat dalam menulis. Andrea Hirata yang bukunya menjadi “best seller”, misalnya, mulai menulis pada usia 42 tahun. Bukunya yang banyak bercerita tentang nilai-nilai luhur dan perjuangan anak bangsa di Belitong kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul “Laskar Pelangi.”

Bagi Civitas Academica, banyaknya tulisan yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah adalah salah satu indikator bahwa perguruan tinggi yang bersangkutan memiliki kualitas yang dibanggakan, bahkan berkelas dunia kalau tulisan para dosen dan mahasiswanya banyak dimuat di jurnal-jurnal ilmiah internasional.

Dalam upaya meningkatkan budaya menulis secara cerdas dan kreatif, para mahasiswa khususnya harus bisa melatih diri untuk secara terus-menerus membuat tulisan. Sementara pada saat ini masih banyak mahasiswa yang menggunakan sebagian besar waktunya untuk hal-hal yang kurang bermakna.

Baca Juga: Menjaga Kesehatan Saat Menghadiri Tabligh Akbar: Ini 7 Kiatnya

Budaya menulis pada dasarnya adalah budaya yang sudah ada sejak zaman prasejarah, dan kita sebagai kaum terpelajar di negeri ini harus bisa meningkatkan dan mengembangkan budaya tersebut agar tercipta generasi cerdas dan kreatif.

Bung Karno dan Bung Hatta bisa membuat tulisan yang bernilai sejarah, karena karya tulis mereka memberikan inspirasi, motivasi, dan harapan bagi banyak orang, khususnya generasi muda di negeri ini, justru ketika kedua proklamator itu dipenjara serta berada dalam banyak keterbatasan.

Permasalahan

Tulisan (writing) itu sendiri dapat digolongkan pada dua kategori, yakni tulisan ilmiah dan tulisan ilmiah populer. Tulisan ilmiah banyak muncul di jurnal-jurnal ilmiah, sementara tulisan ilmiah populer disiarkan oleh media massa.

Baca Juga: Silaturahim Membuka Pintu Keberkahan

Persoalannya, masih banyak mahasiswa dan dosen di Indonesia yang merasa kesulitan untuk membuat tulisan ilmiah, apalagi tulisan ilmiah populer. Bahkan dosen yang sudah maraih gelar doktor dan menjadi guru besar yang tulisannya banyak dimuat di jurnal ilmiah pun masih menghadapi kesulitan untuk mengubah tulisan ilmiahnya menjadi tulisan ilmiah populer.

Akibatnya, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian terkesan seperti “Menara Gading”. Karya besar mereka hanya bisa dibaca oleh kalangan Civitas Academica sendiri, sementara publik tidak mendapatkan manfaat dari karya tulis kalangan kampus itu.

Lain halnya kalau mereka juga bisa menulis di media massa, yakni dengan “mengubah” gaya karya tulis ilmiah mereka menjadi karya tulis ilmiah populer, sehingga masyarakat umum pun bisa mengambil manfaat dari buah pemikiran kalangan berpendidikan tinggi itu.

Dalam bahasa Inggris, “writing” itu sendiri pada hakekatnya merujuk kepada dua hal, yaitu sebagai kata benda (tulisan) dan sebagai kata kerja (menulis). Kegiatan menulis yang kemudian menghasilkan tulisan adalah proses pembentukan kata-kata pada sebuah media, sehingga lahirlah teks-teks.

Baca Juga: Ini Dia Para Pembicara Tabligh Akbar dari Luar Negeri

Writing” adalah representasi bahasa pada media tekstual dengan menggunakan beberapa tanda atau simbol. Pada masa milenium ke-4 sebelum masehi, kompleksitas perdagangan dan perkembangan administrasi membutuhkan kapasitas memori yang lumayan banyak, dan tulisan pada akhirnya menjadi salah satu metode perekaman terpercaya yang permanen.

Berdasarkan paparan tersebut, secara singkat dapat disimpulkan bahwa budaya menulis perlu dikembangkan, bukan hanya sejak seseorang masuk ke perguraun tinggi, melainkan secara ekstrim bahkan sedini mungkin, yakni sejak seorang anak mengerti tentang baca-tulis.

Budaya menulis dan membaca sangat membantu proses belajar dan mengajar di sekolah pada khususnya, dan di masyarakat pada umumnya. Kita belajar untuk menjadi pandai tidak lepas dari kegiatan membaca dan menulis, meskipun banyak metode lain yang juga bisa digunakan agar seseorang menjadi pandai dan cerdas.

Budaya menulis bahkan sangat membantu memperlancar hubungan dan interaksi sosial antar-individu dan kelompok masyarakat, sehingga akan dapat memperlancar hubungan kerjasama dalam menyelesaikan segala persoalan, termasuk bahkan menyelesaikan sengketa antar-bangsa.

Baca Juga: Panitia Nyatakan Siap Gelar Tabligh Akbar, Layani Jamaah dengan Sepenuh Hati

Melalui tulisanlah kita bisa memberikan sumbangan kepada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan sebagainya demi peningkatan kesejahteran hidup masyarakat. Pada era teknologi informasi yang maju pesat dewasa ini pun tulisan tetap merupakan media komunikasi yang diandalkan.

Long life learners

Dalam teks Al-Qur’an secara kontekstual juga dapat dipahami bahwa menulis merupakan “kewajiban” dengan adanya perintah kewajiban membaca. Tulisan, bagaimanapun, demikian berguna bagi kehidupan masyarakat secara luas. Maka, budaya membaca dan menulis sejatinya harus dimulai sejak dini, yakni di lingkungan keluarga.

Keluarga menjadi lingkungan terbaik dalam membentuk kebiasaan membaca dan menulis. Literasi keluarga memiliki makna penting, karena kegiatan apapun yang dilakukan seseorang biasanya dimulai dari keluarga.

Baca Juga: Pentingnya Tabligh Akbar dalam Dakwah Islam

Literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga melibatkan rangkaian keterampilan yang essensial dalam kehidupan sehari-hari, dan keluarga merupakan pusat pendidikan utama yang memainkan peran penting dalam membentuk karakter anak-anak.

Dalam kaitan ini, tidak dapat disangkal bahwa Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Karno dan Bung Hatta sejatinya berasal dari keluarga yang berpendidikan dan gemar membaca.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi itu sendiri adalah kemampuan menulis dan membaca. Literasi juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup dalam bidang tertentu.

Pembudayaan literasi di tingkat keluarga juga sangat penting sebagai langkah awal menuju Masyarakat Madani. Masyarakat Madani itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Kata madani sendiri berasal dari bahasa arab yang artinya civil atau civilized.

Baca Juga: Melek Literasi dalam Jama’ah: Fondasi Kuat untuk Kemajuan Umat

Pengertian lain dari masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih di era digital saat ini, termasuk dalam rangka peningkatan pengamalan syari’ah dan partisipasi umat dalam Perjuangan Bela Baitul Maqdis.

Jika umat ingin maju, maka tidak dapat dipungkiri bahwa tekonlogi, khususnya teknologi informasi harus kita kuasai, dan saat ini kita bahkan sudah masuk ke era teknologi Artificial intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan.

Penguasaan bidang apapun termasuk teknologi informasi jelas tidak gampang, tapi kita harus optimistik bahwa kita bisa. Kita tidak boleh berhenti belajar dan harus menjadi “long life learners” alias pembelajar sepanjang masa. Ilmuwan Albert Einstein bahkan pernah berkata: “Once you stop learning, you start dying” (Begitu anda berhenti belajar, anda mulai sekarat).

Dalam kaitan ini pemikir Islam terkemuka Imam Ghazali menyatakan, “Manakala yang dicita-citakan itu baik serta mulia, maka pasti akan sulit ditempuh serta panjang jalannya”.

Baca Juga: Inilah 10 Kebiasaan yang Dilarang dalam Islam tapi Dianggap Biasa

Beliau pun pernah mengingatkan bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun”.[]

 

Mi’raj News Agency (MINA)

* Aat Surya Safaat adalah Wartawan Senior. Pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA New York (1993-1998) dan Direktur Pemberitaan ANTARA (2016).

Baca Juga: Adab Bertamu dan Menerima Tamu Menurut Syariat Islam

**Artikel ini disampaikan penulis dalam puncak Tabligh Akbar 1446 H di Pondok Pesantren Al-Fatah, Cileungsi, Bogor, Ahad, 23 Februari 2025.

 

Baca Juga: Bukti-bukti Kekalahan Zionis Israel dalam Perang di Gaza

Rekomendasi untuk Anda