Yaman hancur dan terpecah belah oleh peperangan. Namun satu hal yang menyatukan warga Yaman di Sana’a yang dikuasai pemberontak dan Aden yang dikendalikan pemerintah: orang-orang ingin melihat perdamaian.
Konflik dan peperangan empat tahun di Yaman telah memicu krisis kemanusiaan yang tragis.
Bagi penduduk negara miskin itu, ada sedikit manfaat dari propaganda harian dan pidato berapi-api pihak yang bertikai yang mendesak pendukung mereka untuk memerangi “musuh”.
Konflik tersebar di mana-mana, mulai dari orang-orang bersenjata yang mengenakan pakaian militer yang sedang berjalan di sekitar gang-gang sempit di pasar jalanan hingga dinding yang ditempeli poster para pejuang “martir”.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Tetapi banyak orang Yaman yang merasa lelah dengan semua itu.
Baik di pihak pemberontak Houthi yang beraliansi dengan Iran atau pemerintah yang didukung Saudi, Yaman terus berjuang untuk bertahan dari perang yang telah mendorong negara termiskin di dunia Arab ke jurang kelaparan.
“Tidak ada belas kasih dalam perang. Itu menggerogoti semua sendi kehidupan, ”kata Amine Mohammed di Pasar Bab Al-Sabah, Sana’a.
“Yemenis reguler bersemangat menunggu saat akhir perang diumumkan.”
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Di pasar ibukota, para pedagang duduk di dekat toko mereka menunggu pelanggan seperti Mohammad – keduanya berusaha menjalani kehidupan normal mereka.
‘Kami lelah’
Namun di media dan di masjid-masjid di seluruh kota, pemberontak Houthi Yaman menyerukan kepada orang-orang untuk melawan pemerintah dan aliansi yang didukung Saudi.
Stasiun televisi Al-Masirah milik Houthi terus menyiarkan operasi militer dan lagu perjuangan mereka untuk mendorong penduduk setempat bergabung dengan barisan mereka.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
“Tanah ini adalah tanah kita, dan perang ini adalah perang kita,” kata salah satu slogan populer Houthi.
Tapi Hassan Abdel Kareem tidak peduli. Perhatian terbesar pengemudi bus ini adalah bagaimana memberi makan tujuh anaknya.
“Kami lelah dengan perang, darah dan pembunuhan,” kata pria berusia 39 tahun itu seperti dilansir Saudi Gazette yang dikutip MINA, Senin.
“Semua itu harus disudahi. Sudah waktunya untuk mulai membangun kembali Yaman, dan Yaman membutuhkan setiap orang untuk dibangun kembali, ”kata penduduk Sana’a itu.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Sekitar 300 km selatan dari Sana’a, di Aden yang dikendalikan pemerintah, Khulood Al-Akel berbagi perasaan dengan Abdel Kareem.
“Kami sangat lelah dengan perang,” kata Khulood.
“Kami berjuang dalam kondisi kekurangan gas, air, dan makanan. Tidak ada yang kami,”
tuturnya. “Itulah mengapa kami berharap peperangan ini berakhir.”
‘Kelaparan, penyakit, dan kemiskinan’
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Aden, ibu kota de facto pemerintah sejak pemberontak mengambil alih Sana’a pada tahun 2014, telah dilanda protes selama setahun terakhir karena meningkatnya biaya hidup dan ekonomi yang runtuh.
Mata uang riyal Yaman telah kehilangan lebih dari dua pertiga nilainya terhadap dolar sejak 2015, ketika Arab Saudi dan sekutunya bergabung dengan perang.
“Empat tahun dari situasi ini … orang-orang menderita kelaparan, penyakit dan kemiskinan,” kata penduduk Aden Murad Mohammed.
“Kami berharap dari lubuk hati kami bahwa ada gencatan senjata … sudahi tragedi,” tambahnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Upaya diplomatik untuk mengakhiri perang semakin gencar pekan lalu setelah bentrokan meningkat di kota Laut Merah, Hodeida, yang pelabuhannya berfungsi sebagai pintu masuk untuk hampir semua impor komersial dan bantuan kemanusiaan di negara itu.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres telah memperingatkan penghancuran pelabuhan Hodeida dapat memicu situasi “bencana” di negara tempat 14 juta orang terancam kelaparan.
Kelompok-kelompok bantuan telah mendesak kedua pihak yang berkonflik untuk membiarkan jalan tetap terbuka agar warga sipil dapat melarikan diri dan bantuan bisa diangkut melalui pelabuhan yang dikuasai pemberontak. (AT/R11/RS1)
Mi’raj News Agency (MINA)