Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional
Perang Mu’tah (Ghazwah Mu’tah) terjadi pada tahun 8 H./629 M di dekat kampung yang bernama Mu’tah, sebelah timur Sungai Yordan dan Al-Karak. Saat itu pasukan Rasulullah berjumlah 3.000 orang, menghadapi tentara Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) 200.000 orang.
Terjadinya Perang Muktah bermula dari usai Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum Kafir Quraisy, Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan surat-surat dakwah kepada para penguasa negeri yang berbatasan dengan Jazirah Arab, termasuk kepada Kaisar Romawi Timur Hiraklius (610–641).
Rasulullah menugaskan Al-Harits bin Umair untuk mengirimkan surat dakwah kepada Gubernur Syam (Suriah) bernama Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yang baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Dalam perjalanan, di daerah sekitar Mu’tah, Al-Harits dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Pada tahun yang sama Utusan Rasulullah kepada Banu Sulayman dan Dhat al Talh daerah di sekitar negeri Syam (Irak) juga dibunuh oleh penguasa sekitar.
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka yang telah berbuat anaiaya kepada kaum Muslimin. Apalagi ini utusan resmi yang secara adat kebiasaan pun, dilarang untuk dibunuh. Lalu, Rasulullah pun mencanangkan Perang Muktah dan mempersiapkan pasukan militernya.
Pada Perang Mu’tah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk tiga orang sahabat utama, sekaligus untuk mengemban amanah komandan secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan. Para panglima tersebut adalah Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘Anhum.
Dalam pertempuran, panglima pertama Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘Anhu menghadang pasukan musuh gugur sebagai syuhada.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Bendera Ghazwah pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun berperang sampai gugur syahid. Selanjutnya pasukan dipimpin panglima ‘Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘Anhu pun.
Ketika pasukan kaum Muslimin terus terdesak, dan Abdullah bin Rawahah sendiri melihat sahabat-sahabatnya mulai turun mental, dia mengobarkan semangat juang para sahabat dengan perkataannya, “Demi Allah, sesungguhnya perkara yang kalian tidak sukai ini adalah perkara yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahid. Kita itu tidak berjuang karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”
Setelah menerjang musuh, beliau pun gugur syahid.
Dalam kondisi genting, pasukan kaum Muslimin memilih Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘Anhu sebagai panglima perang. Awalnya, Khalid tidak bersedia, karena masih mualaf, belum lama masuk Islam. Tapi para sahabat yang ada tetap memilihnya, mengingat pengalaman perangnya di lapangan.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Akhirnya dalam situasi genting seperti itu, Khalid pun menerimanya. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan strategi, pasukan kaum Muslimin pun kemudian berhasil memukul pasukan Romawi hingga musuh mengalami kerugian yang banyak.
Kemenangan ini menjadi langkah awal dalam pembebasan Al-Aqsa dan kawasan Baitul Maqdis yang saat itu dalam penguasaan Kekaisaran Romawi.
Inilah Perang Mu’tah, awal dari strategi pembebasan wilayah Syam, tempat Masjid Al-Aqsa berada, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Perang Mu’tah juga menjadi kontak fisik pertama pasukan Muslimin melawan pasukan Romawi yang kala itu masih menguasai negeri Syam.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Setahun kemudian, setelah Pembebasan Makkah (Fath Makkah), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali mengirimkan ekspedisi ke daerah perbatasan Palestina, yakni Tabuk.
Ekspedisi ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap begitu pentingnya untuk membebaskan tanah Syam, yang terdapat Masjid Al-Aqsa di dalamnya, dari cengkeraman Kekaisiran Romawi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan