Sebuah koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi melancarkan operasi militer di Yaman tiga tahun lalu, bertujuan membantu pemerintah resmi Yaman yang berjuang melawan pemberontak yang merebut ibu kota Sanaa.
Intervensi ini membantu pemerintah merebut kembali beberapa wilayah, tetapi perang hanya menjadi lebih rumit. Amnesty International mengatakan, kedua pihak berpotensi bertanggung jawab atas kejahatan perang.
Konflik telah menewaskan hampir 10.000 orang di Yaman yang miskin, memicu apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini.
Operasi diluncurkan
Pada Maret 2015, sebuah koalisi sembilan negara Arab yang dipimpin oleh Riyadh memulai operasi. Intervensi itu bertujuan mendukung Presiden Abd-Rabbo Mansour Hadi dengan serangan udara terhadap pemberontak Syiah Houthi, yang mengendalikan Sanaa dan sebagian besar wilayah Yaman utara, tengah dan barat.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Pada bulan Juli 2015, pemerintah yang diperangi mengumumkan telah merebut kembali provinsi selatan Aden dalam keberhasilan pertamanya sejak koalisi turun tangan.
Koalisi melengkapi kekuatan udaranya dengan ratusan pasukan darat. Pada pertengahan Agustus 2015 pasukan loyalis telah merebut kembali lima provinsi selatan.
Pada bulan Oktober 2015, pasukan Pemerintah merebut kembali kendali Selat Bab Al-Mandab, salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia.
“Kejahatan perang”
Selama bulan-bulan berikutnya, koalisi secara teratur dikritik atas serangan udaranya, termasuk penembakan terhadap pasar dan rumah sakit yang menyebabkan korban sipil yang banyak.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Pada September 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi dituduh menembak aula pernikahan di kota pesisir barat daya Mokha dalam serangan udara, menewaskan 131 orang. Namun, koalisi menyangkal bertanggung jawab.
Pada Oktober 2016, serangan udara koalisi mengenai upacara pemakaman di Sanaa yang membunuh 140 orang dan melukai lebih dari 500 lainnya.
Awal bulan Maret 2018, Amnesty mengatakan telah mendokumentasikan 36 serangan koalisi yang menewaskan 513 warga sipil. “Banyak di antaranya mungkin menjadi kejahatan perang.”
Ia juga mengecam pemberontak Houthi karena potensi kejahatan perang, termasuk tembakan artileri sembarangan, penghilangan paksa dan hukuman mati terhadap para pembangkang.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pemberontak membunuh mantan Presiden Saleh
Perpecahan muncul di kubu pemberontak pada tahun 2017, mengakibatkan pembunuhan terhadap mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang mengundurkan diri pada 2011 setelah memerintah Yaman dengan tangan besi selama hampir tiga dekade. Saleh adalah sekutu Houthi dalam memberontak.
Houthi pada bulan Agustus menyebut Saleh sebagai seorang pengkhianat, ketika ia berpidato menawarkan damai kepada Arab Saudi.
Kekerasan meletus antara mantan sekutu pada bulan November di Sanaa, membunuh dan melukai lusinan orang. Saleh dibunuh oleh Houthi pada bulan Desember.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Rudal di Riyadh
Pada November 2017, pemberontak Houthi menembakkan rudal ke arah bandara internasional di Riyadh.
Rudal itu berhasil dihancurkan di udara oleh pertahanan udara Saudi. Itu adalah yang pertama rudal Houthi berhasil mencapai ibu kota Saudi dan membuat marah Riyadh yang menuduh musuh bebuyutannya, Iran, di belakang “agresi militer terang-terangan” tersebut.
Namun, Iran membantah memasok senjata untuk Houthi.
Setelah itu, koalisi pimpinan Saudi mengencangkan kendali atas perbatasan Yaman, hanya sebagian blokade yang diringankan setelah ada peringatan dampak pada pengiriman makanan dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza
Dua rudal lainnya kemudian kembali menargetkan Riyadh yang dikatakan bahwa sasarannya adalah kediaman resmi Raja Salman. Namun kedua rudal pun bisa dicegat di udara.
Ahad ini, 25 Maret 2018, sistem pertahanan Saudi menembak jatuh tujuh rudal balistik Houthi yang menargetkan beberapa kota, termasuk ibu kota Riyadh.
Perpecahan di kubu pemerintah
Pada tanggal 28 Januari 2018, bentrokan sengit meletus di kota pelabuhan Aden, ibu kota de facto pemerintah resmi Yaman, antara unit militer yang setia kepada Hadi dan separatis selatan.
Para separatis yang didukung oleh Uni Emirat Arab, anggota kunci koalisi, merebut sebagian besar kota. (AT/RI-1/P1)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Sumber: AFP
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat