Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong menuju Tanah Suci untuk memenuhi panggilan Ilahi. Ritual ini bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang penuh dengan pengorbanan, ketundukan, dan rasa syukur kepada Allah.
Namun, sebelum Islam hadir, ibadah haji telah dikenal di Semenanjung Arab, meskipun dalam bentuk yang jauh menyimpang dari ajaran tauhid. Ada perbedaan mendasar antara pelaksanaan haji pada masa Jahiliyah dan dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Pada masa Jahiliyah, masyarakat Arab sudah mengenal praktik ibadah haji. Tradisi ini diwarisi dari ajaran Nabi Ibrahim AS yang telah membangun Ka’bah bersama putranya, Nabi Ismail AS.
Namun, seiring berjalannya waktu, ajaran tauhid yang murni mengalami penyelewengan. Ka’bah, yang awalnya merupakan rumah Allah untuk menyembah-Nya secara eksklusif, menjadi tempat penyembahan berhala.
Baca Juga: Konferensi Kemenangan Gaza Kembali Bergema di Istanbul
Orang-orang Quraisy dan suku-suku Arab lainnya memenuhi Ka’bah dengan ratusan berhala yang mereka anggap sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Selain itu, berbagai tradisi ibadah haji pada masa Jahiliyah diwarnai dengan praktik yang jauh dari nilai-nilai moral dan spiritual. Beberapa penyimpangan tersebut meliputi:
Penyembahan kepada Berhala: Berhala-berhala dipuja dan dijadikan bagian dari ritual haji. Mereka mempersembahkan sesaji dan melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) dengan memohon keberkahan kepada patung-patung tersebut.
Thawaf Tanpa Busana: Salah satu praktik yang paling mencolok adalah thawaf tanpa busana, yang mereka anggap sebagai simbolisasi penghapusan dosa. Mereka percaya bahwa pakaian mereka telah ternodai oleh dosa dan harus ditinggalkan saat mendekati Ka’bah.
Baca Juga: Hidup Berjama’ah, Kewajiban yang Sering Terlupakan
Persaingan Antar Suku: Ibadah haji seringkali menjadi ajang unjuk kekuatan dan persaingan antar suku. Mereka memperlihatkan kekayaan dan status sosial, sehingga tujuan spiritual ibadah ini tersisihkan oleh ambisi duniawi.
Penyimpangan dalam Wukuf dan Sa’i: Lokasi dan cara pelaksanaan wukuf (berhenti di Arafah) serta sa’i (berlari-lari kecil antara Safa dan Marwah) juga telah menyimpang dari ajaran Ibrahim AS. Orang-orang Jahiliyah melakukan wukuf di Muzdalifah, bukan di Arafah, karena mereka merasa superior dan tidak ingin mengikuti jejak orang-orang dari luar suku Quraisy.
Perubahan yang Dibawa oleh Islam
Ketika Rasulullah SAW diutus, beliau membawa ajaran tauhid yang murni untuk mengembalikan kemuliaan ibadah haji sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS.
Proses ini tidaklah mudah, mengingat kebiasaan masyarakat Arab yang telah mendarah daging selama berabad-abad. Namun, dengan bimbingan wahyu Allah dan keteguhan hati Rasulullah, ibadah haji berhasil diluruskan ke jalur yang benar. Beberapa perubahan penting yang dilakukan Rasulullah antara lain:
Baca Juga: Kepongahan AS akan Hancurkan Yaman 30 Hari Gagal Total
Setelah penaklukan Makkah (Fathu Makkah) pada tahun 8 Hijriah, Rasulullah memerintahkan pembersihan Ka’bah dari berhala. Lebih dari 360 berhala yang menghuni sekitar Ka’bah dihancurkan, menandai kembalinya Ka’bah sebagai rumah Allah yang hanya diperuntukkan untuk menyembah-Nya.
Rasulullah juga memperbaiki semua aspek ibadah haji yang menyimpang. Beliau mengembalikan wukuf ke Arafah, sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Ritual sa’i antara Safa dan Marwah juga dimurnikan dari unsur syirik, dengan menjadikannya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah semata.
Rasulullah melarang thawaf tanpa pakaian. Dalam Islam, berpakaian dengan sopan merupakan syarat sah dalam melaksanakan ibadah, termasuk thawaf. Hal ini mengembalikan rasa kehormatan dan kesucian ibadah haji.
Islam menekankan bahwa semua manusia setara di hadapan Allah, terlepas dari suku, warna kulit, atau status sosial. Ibadah haji menjadi manifestasi nyata dari persatuan umat Islam, di mana semua jamaah mengenakan pakaian ihram yang sederhana tanpa membedakan status duniawi mereka.
Baca Juga: Kebebasan Berbohong, Demokrasi Amerika yang Munafik
Setelah perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah, haji menjadi sebuah ibadah yang penuh dengan makna dan simbolisme tauhid. Setiap ritus, mulai dari ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, hingga lempar jumrah, memiliki nilai spiritual yang mendalam. Jamaah haji diingatkan untuk selalu tunduk kepada Allah dan menghapus segala bentuk kesyirikan dari hati mereka.
Haji juga menjadi ajang refleksi diri bagi umat Islam. Perjalanan ini mengajarkan pengorbanan, kesabaran, dan kepatuhan. Semua aspek kehidupan duniawi ditanggalkan sementara, dan fokus diarahkan kepada Allah semata. Dalam kondisi ini, umat Islam diingatkan bahwa semua manusia sama di hadapan Sang Pencipta.
Ibadah haji adalah simbol keagungan Islam dan manifestasi dari tauhid yang murni. Perjalanan spiritual ini membawa setiap Muslim mendekatkan diri kepada Allah, mengingatkan mereka akan kehidupan akhirat, dan memperkuat persaudaraan di antara sesama Muslim.
Rasulullah SAW, melalui perjuangan yang panjang, berhasil mengembalikan kemuliaan ibadah haji yang telah dinodai oleh praktik-praktik Jahiliyah.
Baca Juga: Senjata, Uang, dan Kekuasaan, Mesin Perang Amerika
Ibadah haji menjadi pengingat abadi akan pentingnya tauhid, persatuan umat, dan ketundukan total kepada Allah. Semoga setiap langkah menuju Tanah Suci menjadi berkah, dan setiap doa yang dipanjatkan di sana diijabah oleh Allah SWT. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pemuda di Tengah Tantangan Zaman