Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ ٦١ (الانفال [٨]: ٦١)
Baca Juga: Ketika Sumud Flotilla Tak Sampai Gaza
“(Akan tetapi,) jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 61)
Ayat di atas menjadi salah satu dasar etika Islam dalam menghadapi peperangan. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, bila pihak lawan menunjukkan keinginan damai, maka kaum Muslimin wajib menyambutnya karena Islam adalah agama keselamatan dan rahmat.
Menyepakati perdamaian bukan tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan iman dan kebesaran jiwa. Tujuan perang dalam Islam adalah untuk mewujudkan perdamaian dan menghapus kedzaliman. Karena itu, jika perdamaian dapat menghentikan kedzaliman dan menyelamatkan jiwa manusia, maka ia lebih utama daripada meneruskan peperangan.
Namun beliau juga menegaskan pentingnya kehati-hatian. Jangan sampai terjebak pada taktik musuh yang pura-pura ingin damai untuk mendapatkan keuntungan secara militer, namun merugikan pihak kaum Muslimin.
Baca Juga: Mewaspadai Parasit Bani Israil dalam Tubuh Kaum Muslimin
Kewaspadaan dan kesiapsiagaan tetap menjadi bagian dari ajaran Islam dalam menjaga kehormatan dan keselamatan umat. Setiap langkah kehati-hatian harus dibarengi dengan niat baik, keadilan, dan kesungguhan untuk menghindari pertumpahan darah, sehingga keselamatan umat dan kehormatan hak-hak sesama manusia akan senantiasa terjaga.
Perdamaian sejati harus dibangun di atas prinsip kemaslahatan kemanusiaan. Perdamaian harus diikat dengan keadilan, tidak boleh menjadi alat bagi pihak kuat untuk menekan pihak lemah.
Ayat di atas bukanlah perintah untuk berkompromi dengan musuh, melainkan menjadi hikmah agar umat Islam bersikap bijaksana dalam menentukan setiap langkah, terutama dalam situasi perang.
Asa yang Kembali Menyala Di Antara Puing-puing Gaza
Baca Juga: Global Sumud Flotilla, Napak Tilas Perjuangan Sahabat Bebaskan Masjidil Aqsa
Para pejuang dan rakyat Gaza menerima kesepakatan gencatan senjata merupakan cermin pengamalan ayat di atas. Mereka ingin menunjukkan, bahwa umat Islam tidak menutup pintu damai, tetapi juga tidak menggadaikan kehormatan dan harga diri.
Ketika musuh mengajak damai, Islam memerintahkan agar ajakan itu diterima dengan penuh kewaspadaan, agar darah tak lagi mengalir sia-sia, agar anak-anak dapat kembali merengkuh asa (harapan), agar bumi Gaza bisa kembali menumbuhkan optimisme bagi masa depan.
Warga Gaza telah mengajarkan kepada dunia, bahwa harapan tidak akan pernah mati, bahkan di bawah reruntuhan puing-puing, masih ada nafas dan denyut nadi kehidupan. Mereka menunjukkan kepada kita bahwa ketabahan, kesabaran, dan keimanan bisa menyalakan cahaya di tengah kegelapan.
Gaza, sebidang tanah yang telah berkali-kali hancur akibat hantaman bom dan serbuan peluru, kini mencoba kembali menggeliat penuh harapan. Di antara reruntuhan bangunan, ada kehidupan yang tetap bertahan.
Baca Juga: Nabi Musa Pembebas Bani Israil, Menuju Tanah yang Disucikan
Di bibir para ibu dan anak-anak, masih tersungging senyuman, meski mata mereka menyimpan lelah dan perut yang lapar. Gaza yang kini luluh lantak, namun warganya selalu menemukan cara untuk tetap hidup, seperti bara kecil yang tak padam meski diterpa badai.
Beberapa hari terakhir, dunia menyaksikan momen jeda serangan dalam balutan kalimat gencatan senjata. Setelah berbulan-bulan hujan bom dan jeritan tanpa jeda, kesepakatan antara penjajah Zionis Israel dan pihak pejuang Palestina akhirnya tercapai.
Suatu kalimat yang begitu bermakna bagi warga Gaza, gencatan senjata yang menjadi berita yang menggetarkan hati bagi warga yang masih bertahan. Di kamp-kamp pengungsian, orang-orang menatap langit dengan lisan yang melantunkan bait-bait doa, diiringi tetesan air mata, dengan harapan semoga perang kali ini benar-benar berhenti untuk seterusnya.
Bagi warga Gaza, gencatan senjata bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan napas pertama setelah tenggelam dalam kehancuran terlalu lama. Ia bukan sekadar jeda dari serangan mematikan, tetapi kesempatan untuk menata kembali hidup, mengumpulkan serpihan-serpihan harapan yang berserakan.
Baca Juga: 5 Keutamaan Membaca Shalawat Atas Nabi
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyambut baik kesepakatan gencatan senjata itu. Ia menyebut hal itu menjadi langkah menuju penghentian kekerasan, menyerukan agar semua pihak menahan diri dan mematuhi isi perjanjian.
Mesir dan Qatar – dengan inisiasi Amerika Serikat – menjadi dua negara yang memainkan peran penting dalam mediasi itu menyatakan bahwa gencatan ini adalah hasil kerja keras diplomasi yang melelahkan.
Tantangan dan Masa Depan Perdamaian Gaza
Hal terpenting yang hendaknya menjadi pijakan utama adalah bahwa upaya diplomasi harus didasarkan pada prinsip keadilan, bukan dominasi kekuasaan. Perdamaian sejati hanya dapat tercapai jika semua pihak menghormati hak-hak dasar rakyat Palestina, termasuk hak atas tanah, kebebasan, dan kedaulatan.
Baca Juga: Kesombongan yang Menyamar Jadi Kebaikan
Setiap keputusan politik yang mengabaikan prinsip ini hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat yang telah lama hidup dalam krisis. Perdamaian yang hakiki tidak dapat dibangun di atas tekanan, melainkan dengan penghormatan terhadap hak asasi, dan upaya nyata untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Hanya dengan fondasi ini, gencatan senjata dapat berlanjut menjadi perdamaian yang berkelanjutan. Kesepakatan gencatan senjata akan mampu memberi rakyat Gaza harapan nyata untuk masa depan yang aman, bermartabat, dan keberlanjutan.
Tantangan terbesar setelah kesepakatan gencatan senjata ini adalah memastikan bahwa proses perdamaian tidak hanya berhenti pada tahap itu, tetapi berkembang menjadi kesepakatan yang mencakup rekonstruksi Gaza, pemulihan ekonomi, dan pembentukan pemerintahan Palestina yang berdaulat, tanpa campur tangan pihak asing.
Tanpa langkah-langkah konkret ini, gencatan senjata hanya menjadi jeda sementara yang tidak menyentuh akar masalah. Perdamaian sejati hanya lahir dan berjalan dengan prinsip keadilan. Tanpa keadilan, perdamaian hanyalah ilusi.
Baca Juga: Menempatkan Seseorang Sesuai Bidangnya
Oleh karena itu, semua pihak memiliki tanggung jawab untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam mencapai hak-hak mereka dan memastikan masa depan Gaza dan Palestina seluruhnya menjadi kawasan yang aman dan damai.
Proses ini membutuhkan kesabaran dan kesungguhan yang luar biasa. Setelah bertahun-tahun mengalami blokade, serangan, dan penderitaan, rakyat Gaza telah belajar bahwa setiap langkah kecil menuju perdamaian adalah kemenangan penuh makna.
Dunia internasional memiliki peran penting dalam menjaga momentum ini. Bantuan kemanusiaan harus segera masuk ke Gaza dan dipegang oleh pihak-pihak yang amanah, dengan penyaluran yang tepat sasaran, bukan sebagai langkah politis untuk mencari keuntungan.
Masyarakat dunia harus terus menekan Zionis Israel agar menghormati hak-hak rakyat Palestina, termasuk dapat kembali ke rumah-rumah mereka masing-masing dan bergerak bebas di tanah air mereka yang sah.
Baca Juga: Al-Aqsa Episentrum Peradaban Umat Islam
Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi UNWRA menekankan, “Setiap hari tanpa akses ke kebutuhan dasar adalah hari penderitaan tambahan bagi rakyat Gaza. Solusi jangka panjang hanya mungkin bila hak-hak dasar warga Gaza dihormati.”
Gencatan senjata yang baru saja tercapai bukan sekadar jeda dari kekerasan, tetapi hendaknya menjadi titik awal bagi proses panjang membangun kembali Gaza, menegakkan keadilan, dan menata masa depan yang damai bagi generasi yang akan datang.
Masyarakat dunia tidak boleh hanya menjadi penonton, melainkan harus menjadi pemdukung dan saksi bagi mereka yang hidup di antara reruntuhan, memastikan bahwa setiap doa dan usaha akan menjadi bagian dari upaya membangun perdamaian dan masa depan yang cerah.
Rakyat Gaza seolah mengingatkan kita bahwa perdamaian bukan sekadar kata-kata di atas kertas, tetapi hasil dari tindakan nyata yang menghormati hak-hak dasar manusia. Dari debu dan reruntuhan, lahirlah pelajaran berharga, bahwa perjuangan untuk perdamaian dan keadilan selalu membutuhkan keberanian, kesabaran, serta keteguhan hati.
Baca Juga: 3 Warisan Nabi Adam untuk Menghidupkan Iman dan Perjuangan
Gencatan Senjata Tak Hapus Dosa-dosa Zionis
Gencatan senjata di Gaza tidak serta-merta menghapus dosa-dosa kejahatan rezim pimpinan Benyamin Netanyahu. Genosida yang mereka lakukan telah membuat penderitaan tak terkira bagi rakyat Palestina, khususnya warga Gaza.
Tidak hanya Palestina, rezim Zionis itu juga menyerang negara-negara sekitarnya. Lebanon, Suriah, Yaman, Iran, Tunisia dan terakhir Qatar pada 9 September 2025 lalu dengan jumlah korban jiwa dan materi yang tidak sedikit.
Sementara Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Benyamin Netanyahu dan beberapa pejabat militer Zionis Israel karena kejahatan perang yang mereka lakukan.
Baca Juga: Sam’i wa Thaat: Kultur Mulia dalam Kehidupan Al-Jama’ah
Langkah bersejarah ini menjadi titik balik dalam upaya menegakkan keadilan, terutama bagi rakyat Palestina yang selama ini menjadi korban agresi dan blokade tanpa henti. Keputusan itu juga membuka harapan baru bagi masyarakat global bahwa pelaku genosida, pelanggaran berat HAM dan kejahatan kemanusiaan akan diseret di meja hukum.
Sejak dimulainya agresi militer pada 7 Oktober 2023, serangan udara Israel ke Jalur Gaza berlangsung dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan laporan resmi Pemerintah Palestina di Gaza pada Juli 2025, Zionis Israel telah menjatuhkan sekitar 125.000-ton bahan peledak ke wilayah Gaza sempit itu.
Angka tersebut menunjukkan bahwa intensitas bombardir di Gaza setara dengan lebih dari 10 kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 silam untuk mengakhiri Perang Dunia II.
Sementara laporan satelit UNOSAT mengonfirmasi bahwa sekitar 66 persen bangunan di seluruh Gaza mengalami kerusakan, dengan lebih dari 175.000 bangunan rusak dan 8.500 hancur total.
Kerusakan masif juga melanda tempat ibadah dan fasilitas publik. Kementerian Wakaf Palestina menyebut total 814 masjid dan 3 gereja hancur. Selain itu, WHO mencatat 697 serangan terhadap fasilitas kesehatan, menyebabkan hanya 36 rumah sakit rusak berat.
والله أعلمُ بالـصـواب
Mi’raj News Agency (MINA)