Oleh Ahmed Abdul Malik, Profesor Madya pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
MANTAN Menteri Kehakiman Israel sekaligus arsitek Perjanjian Oslo, Yossi Beilin mengatakan kepada Netanyahu dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi Arab: “Jalan menuju perdamaian melewati Palestina, dan perdamaian tidak akan terwujud tanpa adanya negara Palestina.”
Yossi Beilin menambahkan, “Penolakan Netanyahu terhadap pendirian negara Palestina merupakan hambatan bagi kemajuan politik.”
Memang benar, pentingnya perdamaian dalam masyarakat terletak pada perannya sebagai syarat utama bagi stabilitas, kemakmuran, serta pembangunan ekonomi dan sosial. Perdamaian juga memungkinkan terbentuknya peradaban yang berkelanjutan dan melindungi hak asasi manusia melalui terciptanya lingkungan yang aman yang mendukung perkembangan budaya dan intelektual.
Baca Juga: Tahanan Palestina Abu Moussa Pulang, tapi Gaza telah Hancur dan Keluarganya telah Gugur
Selain itu, perdamaian merupakan landasan dalam penyelesaian konflik secara damai, memperkuat kerja sama dan toleransi antara individu dan kelompok, serta mewujudkan keadilan dan kesetaraan.
Proses perdamaian dalam konflik Israel-Palestina merujuk pada serangkaian perundingan yang berlangsung secara terputus-putus di tengah kekerasan yang terus terjadi sejak awal konflik tersebut.
Sejak tahun 1970-an, telah dilakukan berbagai upaya paralel untuk menemukan kesepakatan mengenai syarat-syarat perdamaian, baik dalam konteks konflik Arab-Israel maupun konflik Palestina-Israel.
Selama beberapa dekade, pendudukan Israel atas Palestina terus berlangsung, sarat dengan konflik bersenjata dan peperangan yang berulang. Setiap kali perang terjadi, selalu muncul seruan untuk mencapai “perdamaian abadi” antara bangsa Arab dan “Israel”. Namun, perdamaian itu tidak pernah terwujud, bahkan tidak ada tanda-tanda nyata yang menunjukkan kemungkinan tercapainya.
Baca Juga: Muka Tembok: Netanyahu dan Ambisi di Atas Darah
Alasan utamanya adalah bahwa pihak yang melakukan agresi tidak memiliki hubungan dengan perdamaian dan tidak pernah menanggapi seruan apa pun, dari mana pun asalnya. Sejak dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Keamanan PBB beberapa bulan setelah perang tahun 1967, kemudian “Proyek Rogers” pada tahun 1970, hingga Resolusi 338 yang muncul setelah perang tahun 1973 — seruan untuk “perdamaian abadi” selalu jelas dalam setiap inisiatif tersebut, tetapi tidak pernah menghasilkan apa pun.
Setiap kali perang berakhir, pihak pendudukan biasanya mulai merencanakan perang berikutnya. Itulah yang dipahami oleh para penguasa Israel dan pemerintahan Amerika Serikat yang silih berganti.
Selama pasukan pendudukan merasa unggul secara militer dibanding pihak Arab dan mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat — serta mengingat sifat agresif mereka sejak pendudukan Palestina 75 tahun lalu — mereka tidak akan memiliki keinginan untuk berhenti melakukan agresi.
Apakah ada yang bisa mengharapkan “Israel” bersedia bernegosiasi secara setara dengan rakyat Palestina setelah mereka menghancurkan Gaza, mengusir penduduknya, dan menjadikannya puing-puing?
Baca Juga: [POPULER MINA] Israel Langgar Gencatan Senjata di Gaza dan Pertukaran Tahanan
Ada keyakinan yang kuat bahwa entitas ini (Israel) berdiri di atas dasar perang dan konflik, serta meyakini bahwa perdamaian yang sejati akan menyebabkan kehancurannya.
Oleh karena itu, setiap kali muncul seruan untuk apa yang disebut “perdamaian abadi”, hal itu mencerminkan tingkat naivitas (kesederhanaan berpikir) dari pihak yang menyerukannya — atau menunjukkan bahwa seruan tersebut hanyalah manuver politik, bukan keinginan tulus untuk menggantikan perang dengan perdamaian.
Pertempuran “Thufan Al-Aqsa” atau “Perang Pedang Besi”, juga dikenal sebagai “perang Palestina–Israel” atau “agresi Israel terhadap Gaza”, adalah konflik militer bersenjata yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 antara faksi-faksi perlawanan Palestina yang dipimpin oleh Gerakan Hamas di satu pihak, dan tentara Israel di pihak lain, yang terjadi di Jalur Gaza dan wilayah Israel.
Pertempuran ini telah membuka mata masyarakat internasional dan menggerakkan hati bangsa-bangsa merdeka yang menolak untuk melihat kezaliman disamarkan dengan kedok keadilan, serta penindas dipoles hingga tampak sebagai pihak tertindas — sehingga akhirnya mendorong dunia untuk bersatu dalam satu keputusan, yaitu mengakui kemerdekaan Palestina.
Baca Juga: Taaruf Dunia Konstruksi: Hikmah Robohnya Mushala Pesantren Al Khozini
Pada saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara tegas menolak pembentukan negara Palestina, suara-suara dari dalam Israel sendiri semakin menyerukan perdamaian dan solusi dua negara.
Di antara tokoh-tokoh yang menonjol adalah mantan Menteri Kehakiman Israel sekaligus arsitek Perjanjian Oslo, Yossi Beilin, yang berpendapat bahwa berakhirnya perang Gaza melalui mediasi Amerika Serikat mencerminkan melemahnya peran Israel dalam menentukan arah perang dan perdamaian.
Beilin menegaskan bahwa ketiadaan inisiatif nyata dari pihak Israel untuk mencapai perdamaian menjadikan kesepakatan terkait Gaza sebagai ujian berat bagi kelangsungan kubu pendukung perdamaian, serta memperingatkan bahwa kelanjutan pendekatan politik saat ini akan menyeret kawasan ke dalam siklus kekerasan baru.
Saya berpendapat bahwa satu-satunya jalan menuju perdamaian adalah memberi tekanan kepada entitas Israel agar melaksanakan keputusan-keputusan internasional yang mengakui kemerdekaan dan kebebasan Palestina sebagai langkah menuju keamanan kawasan.
Baca Juga: Dari Polemik Trans7 Menuju Etika Media yang Beradab
Adapun seruan untuk membubarkan organisasi-organisasi perlawanan Palestina, yang terkemuka di antaranya adalah “Hamas”, adalah seruan yang remeh dan tak bermakna di sisi kebenaran, dan tidaklah pantas diucapkan oleh orang yang adil; selain itu, seruan semacam itu tidak akan menjadi solusi bagi konflik antara Israel dan Palestina.
Siapakah para pembuat perang dan siapa pula para pembuat damai? Yang pasti, penduduk asli bumi ini tidak menginginkan perang—mereka justru bermimpi kembali ke tanah dan rumah mereka untuk hidup dalam keamanan dan damai, seperti bangsa-bangsa lain.
Karena itu, orang Palestina biasa tidak selalu membawa senjata, sementara para pemukim memiliki senjata mematikan yang sering digunakan terhadap orang-orang yang mencoba mempertahankan tanahnya. Selama tiga perempat abad, perang berlangsung sepihak—didukung oleh negara-negara Barat dan diarahkan melawan rakyat Palestina.
Perlu diketahui bahwa Pertempuran Thufan al-Aqsa adalah perjuangan yang sah yang bertujuan membebaskan Palestina dari pendudukan zionis, dan segala pemberian yang kurang dari kemerdekaan tidak akan menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina. Benar, perdamaian tidak akan terwujud tanpa negara Palestina. []
Baca Juga: Trans7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren
Mi’raj News Agency (MINA)