Peringatan 73 Tahun Hari Nakbah di Tengah Serangan Israel

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Peringatan tahun ini pada tanggal 15 Mei 2021 ini ditandai dengan hari-hari berlangsungnya serangan brutal pasukan zionis Israel ke Jalur Gaza.

Peringatan tragedi malapetaka pengusiran (Yaum an-Nakbah) juga diwarnai dengan aksi kekerasan pendudukan terhadap warga di Kawasan Masjdil Aqsa dan sekitarnya, termasuk Kota Tua Yerusalem dan Sheikh Jarrah.

Peristiwa Nakbah, berlangsung sehari setelah Zionis Israel mengumumkan berdirinya negaranya secara sepihak di atas tanah yang didudukinya, 14 Mei 1948.

Sehari kemudian pada tanggal 15 Mei 1948, pasukan Israel dengan segala kekuatan militernya langsung mengadakan pengusiran besar-besaran terhadap warga asli , pemilik sah tanah itu. 

Militer Zionis Israel tak tanggung-tanggung, menghancurkan 531 kota dan desa Palestina dan mengambil kendali atas 774 lainnya. Lebih dari 7.500.000 warga Palestina mengalami pembersihan etnis dan dipaksa menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.

Ratusan ribu warga  pun mengungsi ke wilayah-wilayah yang berbatasan dengan wilayah kampung halaman mereka. Banyak yang menyeberang ke negara tetangga seperti Lebanon, Suriah dan Yordania. Banyak juga yang ke negara yang lebih jauh lagi, ke Irak, Yaman dan sebagainya.

Dalam perkembangan berikutnya, konflik berdarah akibat perang saudara di negeri-negeri kawasan Teluk, mulai dari Irak-Iran, Suriah hingga Yaman, membuat jutaan pengungsi Palestina di pengungsian negara-negara itu, terpaksa harus mengungsi lagi mencari daerah yang dipandang lebih aman. Sebagian meninggal di perjalanan, sebagian lainnya merambah daratan Eropa. Paling banyak ke Turki, negara yang separuhnya terletak di benua Asia, dan sebagian lainnya Eropa.

Aktivis Hak Asasi Manusia menyebut, tindakan Israel ini sebagai pembersihan etnis (etnic cleansing), yang merupakan pelanggaran hak asasi yang terang-terangan di mata dunia internasional. Kondisi 531 kota dan desa tanah air warga Palestina pun, kini telah dihancurkan dan diganti dengan permukiman illegal Yahudi Israel.

Pengungsi Palestina

Menurut Pusat Data Statistik Palestina, jumlah pengungsi Palestina yang tercatat pada Badan PBB untuk Bantuan Pengungsi Palestina UNRWA (United Nations Relief and Works Agency), sampai Januari 2014 saja berjumlah sekitar 5,4 juta pengungsi, atau sekitar 41,2 persen dari penduduk Palestina sekitar 12,1 juta orang. Jumlah ini pun masih merupakan perkiraan terendah jumlah pengungsi Palestina.

Dari jumlah tersebut jumlah pengungsi yang berusia kurang dari 15 tahun mencapai 39,9 % dan usia lansia mulai 60 tahun ke atas, berjumlah 4,2%.

Jumlah ini adalah yang terbanyak dari jumlah pengungsi yang ada di dunia, juga pengungsi ini yang paling lama mengungsi dan terusir dari kampung halamannya.

Di negara-negara penampung, pengungsi Palestina mendapat perlakuan yang berbeda-beda. Ada yang disetarakan dengan warga negara di mana tempat mereka mengungsi, tapi tidak sedikit dari mereka yang menderita, tidak bisa mendapatkan hak untuk bekerja meskipun pengungsi tersebut memiliki kapasitas yang mumpuni, kecuali pekerjaan-pekerjaan kasar.

Hak Kembali

Zionis Israel tidak hanya mengusir, setelah terusir, maka serangkaian undang-undang pun disahkan untuk mencegah warga Palestina kembali ke rumah mereka. Banyak warga Palestina yang direbut kunci rumahnya, padahal kunci itulah yang menjadi simbol dari hak Palestina untuk kembali ke rumah.

PBB sebenarnya telah mengeluarkan Resolusi Nomor 194 tentang hak semua pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka (Haqqul ‘Audah). Hampir 4.000.000 pengungsi yang telah terdaftar di PBB.

Namun resolusi tinggal resolusi. Kepatuhan terhadap resolusi 194 begitu saja diabaikan oleh Zionis Israel. Israel selalu menolak dengan alasan masih terganjal “proses perdamaian”, atau sebenarnya mereka khawatir jika pengungsi Palestina kembali, maka akan membahayakan mayoritas warga Yahudi di sana.

Generasi Palestina

Kini generasi keempat atau kelima Palestina sejak 1948, yang tak mengalami langsung tragedi 1948 itu, tentu akan tetap konsisten untuk mengambil hak mereka untuk kembali (global return) dan memiliki negara merdeka mereka sendiri dengan Yerusalem sebagai ibukota abadi.

Generasi baru Palestina, di dalam dan di luar Palestina, ketika ditanya dari mana mereka berasal, mereka pasti tetap akan menjawab dengan kota atau desa nenek moyang mereka lahir, bukan tempat mereka tinggal sekarang.

“Peringatan yang tidak boleh dilupakan oleh generasi kini,” kata anggota Dewan Revolusi Fatah, Dr. Abdel-Hakim Awad dalam laporan Fatehgaza Media.

“Peringatan Hari Nakbah tiap 15 Mei, adalah hari yang harus selalu diingat dalam kaitan dengan Deklarasi Balfour, yang memberikan hak yang tidak pantas bagi penjajah atas reruntuhan orang tak berdaya yang diusir dari rumah mereka,” katanya.

Nun jauh di ujung negeri, warga Palestina di Amerika Utara, memprotes serangan besar-besaran bak Nakbah, 73 tahun lalu.

“Saat kami memperingati 73 tahun Nakba, kami bergabung bersama untuk menegaskan kembali komitmen kami terhadap perjuangan rakyat Palestina untuk keadilan, pemulangan, dan pembebasan,” bunyi Pernyataan Bersama mereka. Seperti dilaporkan Morocco World News, Kamis (13/5).

Mereka menekankan, komunitas Palestina di mancanegara tidak akan tinggal diam. Mereka segera dan ikut bergerak bergabung dalam berbagai aksi dan acara yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi.

Ini mengingatkan bahwa “adalah kewajiban rakyat Palestina di seluruh dunia untuk mengibarkan panji peperangan menghadapi Zionis, dan inilah saatnya bagi diaspora Palestina untuk merebut kembali peran integralnya dalam perjuangan pembebasan Palestina.”

Warga Palestina di berbagai belahan dunia percaya bahwa mereka akan kembali ke tanah airnya, tanah dan wakaf kaum Muslmin, tidak peduli entah berapa tahun, puluh atau ratusan tahun lagi mereka akan mengambilnya.

Kekuatan keyakinan mereka melebihi keyakinan Yahudi Israel tatkala hendak merebut Palestina sejak 1897 hingga 1948 saat itu.

Kota dan desa boleh saja dihancurkan, kunci-kunci boleh pula dihilangkan, dan tanah pekarangan dan pohon-pohon zaitun bisa saja dibakar.

Namun, semangat perjuangan itu tidak dapat hancur dan tak akan pernah padam. Keinginan untuk kembali mengambil hak milik sendiri warisan tanah Muslimin tidak akan hilang, dan api semangat jihad untuk kemerdekaan bangsa Palestina serta pembebasan Al-Aqsha, Baitul Maqdis, dan Yerusalem dari penjajahan Zionis Israel akan selalu membakar.

Ya, membakar segala bentuk penindasan, kezaliman, kejahatan dan penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Bahan bakar itu kini terus mengalir dari dunia Islam pada khususnya dan internasional pada umumnya atas nama agama dan kemanusiaan.

Sementara jutaan kaum Muslimin dan manusia-manusia yang masih punya jiwa kemanusiaan, bersedia menyokong di belakangnya.

Hari Nakbah adalah kisah dan keadaan nestapa yang berlangsung di Palestina. Namun sekaligus itu juga merupakan motivasi untuk melanjutkan ketabahan dan perlawanan rakyat Palestina sampai merdeka dan berdaulat penuh di tanah airnya sendiri, dengan Al-Quds sebagai ibukota abadinya. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)