Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peringatan ke-76 Tahun Nakbah: Antara Realitas dan Harapan

Rana Setiawan - Rabu, 15 Mei 2024 - 14:43 WIB

Rabu, 15 Mei 2024 - 14:43 WIB

3 Views

Oleh Rana Setiawan, Kepala Peliputan Kantor Berita MINA

Pada tanggal 15 Mei setiap tahun, dunia memperingati Nakbah untuk mengenang pengusiran dan penderitaan lebih dari 700.000 rakyat Palestina pada 1948, ketika negara kolonial Israel didirikan.

Sejak 76 tahun lalu, warga Palestina menderita trauma yang mendalam dan berkepanjangan, ketika banyak keluarga diusir secara paksa dari tanah leluhur mereka oleh milisi Zionis, desa-desa dihancurkan, dan komunitas-komunitas dipecah belah untuk mendirikan negara kolonial Israel, yang dideklarasikan sehari sebelumnya, pada 14 Mei 1948

Menurut data dari United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), lebih dari 5 juta pengungsi Palestina masih tersebar di berbagai negara hingga hari ini, menunggu kesempatan untuk kembali pulang ke tanah air mereka.

Baca Juga: Palestina Pasca “Deklarasi Beijing”

Nakbah, yang berarti “bencana” dalam bahasa Arab, bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah luka yang terus menganga di hati rakyat Palestina.

Nakba tidak hanya mewakili peristiwa bersejarah namun juga realitas yang sedang berlangsung, karena Nakbah meletakkan dasar bagi berlanjutnya kolonisasi dan pendudukan tanah Palestina oleh Israel.

Memperingati tragedi ini bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang realitas masa kini yang masih berlangsung. Di Gaza, Tepi Barat, dan kamp-kamp pengungsi di berbagai belahan dunia, rakyat Palestina terus hidup dalam ketidakpastian dan penderitaan. Mereka dihadapkan pada blokade, serangan militer, dan kebijakan diskriminatif yang menambah panjang daftar penderitaan mereka.

Melalui penolakan terhadap hak pengungsi Palestina untuk kembali, pendirian permukiman ilegal Yahudi, pembangunan tembok pemisah dan pos pemeriksaan militer, serta penerapan kebijakan apartheid, Israel berupaya untuk semakin memecah belah dan merampas hak milik rakyat Palestina.

Baca Juga: Nobar Film Hayya, Solidaritas dari Ponpes Al-Fatah Lampung untuk Palestina

Genosida yang kita saksikan di Gaza saat ini pun merupakan kelanjutan dari proyek kolonial Zionis. Hingga saat ini, agresi tanpa henti militer pendudukan Israel di Jalur Gaza melalui darat, laut, dan udara memasuki hari ke-221 berturut-turut

Nakbah Kedua

Saat ini, banyak warga Palestina yang khawatir akan terulangnya sejarah menyakitkan mereka dalam skala yang lebih dahsyat.

Sejak 7 Oktober 2023 hingga saat ini, agresi dan serangan militer Israel terhadap warga Palestina merupakan serangan yang paling keji, biadab, dan brutal dalam sejarah konflik Israel dan Palestina.

Baca Juga: Selamat atas Rekonsilisasi Antar Faksi Palestina

Israel telah melancarkan salah satu operasi militer paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah baru-baru ini di Gaza, menjatuhkan bom seberat 900kg di daerah padat penduduk.

Otoritas kesehatan Palestina di Gaza mengkonfirmasi jumlah korban tewas warga Palestina akibat serangan Israel telah meningkat menjadi 35.091 korban jiwa, dengan tambahan 78.827 orang menderita luka-luka. Mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak.

Sementara itu, tim ambulans dan penyelamat masih belum dapat menjangkau banyak korban dan mayat yang terperangkap di bawah reruntuhan atau tersebar di jalan-jalan di daerah yang dilanda perang tersebut, karena pasukan pendudukan Israel terus menghalangi pergerakannya.

Sekitar 1,7 juta warga Palestina, tiga perempat dari populasi daerah kantong yang terblokade itu, terpaksa meninggalkan rumah mereka, sebagian besar dari mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka berkali-kali. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat jumlah orang yang melarikan diri sebelum dan selama perang tahun 1948.

Baca Juga: Pengaruh Amal Saleh 

Lebih miris lagi, sebagian besar Jalur Gaza telah menjadi puing-puing terlantar dan jalan-jalan yang dibajak, banyak di antaranya wilayah di sana dipenuhi dengan rudal dan bom yang belum meledak.

Sekalipun warga Palestina tidak diusir dari Gaza secara massal, banyak yang khawatir bahwa mereka tidak akan pernah bisa kembali ke rumah mereka atau kehancuran yang terjadi di wilayah tersebut akan membuat mereka tidak mungkin lagi tinggal di sana. Perkiraan PBB baru-baru ini mengatakan diperlukan waktu hingga tahun 2040 untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur di daerah tersebut.

Bank Dunia memperkirakan kerugian yang ditimbulkan sebesar $18,5 miliar, setara dengan produk domestik bruto seluruh wilayah Palestina pada 2022. Dan itu terjadi pada Januari 2024, pada hari-hari awal operasi darat Israel yang menghancurkan di Khan Younis dan sebelum militer Israel memasuki Rafah, Gaza Selatan.

Selain itu, pasokan makanan dan bantuan kemanusiaan ke Palestina diawasi dan dibatasi secara ketat oleh tentara Israel, sehingga kelaparan menjadi pemandangan yang sangat memilukan.

Baca Juga: Deklarasi Beijing Untuk Rekonsiliasi Nasional Palestina

Ironisnya, tindakan yang dilakukan Israel terhadap Palestina justru mendapat pembiaran dan dukungan dari negara-negara seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.

Sejarah Ketabahan

Sejarah Nakbah adalah sejarah ketabahan. Di tengah segala penderitaan, rakyat Palestina menunjukkan semangat juang yang tak pernah padam. Mereka tidak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan pena, suara, dan seni.

Setiap tahun, ribuan orang berkumpul dalam demonstrasi damai, mengingatkan dunia bahwa mereka masih ada dan masih berjuang untuk hak-hak mereka. Seperti yang diungkapkan oleh penyair Palestina terkenal, Mahmoud Darwish, “Kami memiliki sesuatu di tanah ini dari apa yang membuat hidup layak dijalani.”

Baca Juga: Memahami Konsep Hijrah Zaman Now

Dalam syair lainnya, “Kami tidak melihat ke belakang untuk menggali bukti kejahatan di masa lalu, karena Nakbah adalah masa kini yang menjanjikan akan terus berlanjut di masa depan.” (Mahmoud Darwish, 2001).

Nakbah adalah akar dari bencana yang dialami Palestina, namun juga menjadi simbol ketabahan dan perjuangan mereka. Nakbah telah dan tetap menjadi simbol kuat ketekunan dan perlawanan Palestina, yang membuka jalan bagi pembebasan, keadilan, dan penentuan nasib sendiri.

Peringatan Nakbah, dengan sendirinya, merupakan tindakan perlawanan terhadap penjajahan dan genosida, karena hukum dan kebijakan Israel berupaya untuk menekan dan menyembunyikan narasi sejarah ini.

Perjuangan ini juga menyentuh hati banyak orang di seluruh dunia. Banyak aktivis internasional yang bergabung dalam kampanye untuk mengakhiri pendudukan dan mengembalikan hak-hak rakyat Palestina.

Baca Juga: Perlindungan Anak dalam Perspektif Agama Islam

Organisasi seperti Aqsa Working Group (AWG), Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dan banyak organisasi kemanusiaan lainnya terus menyerukan keadilan dan hak asasi manusia bagi Palestina.

Menurut laporan Human Rights Watch, tindakan Israel di Tepi Barat dan Gaza telah mencapai titik di mana mereka dianggap sebagai apartheid, sebuah tuduhan serius yang memerlukan tindakan nyata dari komunitas internasional.

Menurut laporan Amnesty International, sistem apartheid yang diberlakukan oleh Israel mencakup berbagai kebijakan diskriminatif, termasuk pembatasan pergerakan, penangkapan tanpa pengadilan, dan perampasan tanah. Laporan ini menekankan bahwa kebijakan ini bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga melanggar hukum internasional.

Terbaru, Israel telah diseret ke Mahkamah Internasional (ICJ) oleh Afrika Selatan dengan tuduhan melakukan genosida.

Baca Juga: Islam Mengatur Peperangan, Membangun Perdamaian

Keputusan sementara ICJ pada Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan genosida dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza. Namun perintah itu diabaikan oleh penjajah entitas Zionis itu.

Aksi Solidaritas

Setiap peringatan Nakbah bukan hanya mengingatkan kita akan penderitaan yang lalu, tetapi juga memanggil kita untuk bertindak demi masa depan yang lebih baik. Sebagai bagian dari komunitas global, kita harus terus menggalang dukungan dan solidaritas untuk saudara-saudara kita di Palestina.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Pertama, kita bisa mulai dengan edukasi. Memahami sejarah dan situasi terkini di Palestina adalah langkah pertama yang penting. Kedua, kita bisa mendukung organisasi yang bekerja untuk keadilan dan hak asasi manusia untuk Palestina. Ketiga, kita bisa menggunakan suara kita untuk berbicara menentang ketidakadilan, baik melalui media sosial, petisi, maupun aksi damai.

Baca Juga: Itrek, Organisasi yang Membiayai Perjalanan Oknum Nahdliyin ke Israel

Solidaritas bukan hanya tentang simpati, tetapi juga tentang tindakan nyata. Misalnya, kita bisa mendonasikan dana untuk mendukung pendidikan anak-anak Palestina, membangun rumah sakit ibu dan anak, atau berpartisipasi dalam kampanye internasional yang menyerukan diakhirinya blokade Gaza.

Selama bertahun-tahun, warga Palestina telah mendokumentasikan kisah Nakbah 1948. Di Gaza hari ini, Nakbah lainnya telah dapat disaksikan secara langsung, memicu mobilisasi gelombang protes dan aksi boikot global, termasuk demonstrasi massal anti-genosida dari mahasiswa yang terjadi di kampus-kampus universitas ternama dunia yang dimulai di Amerika Serikat, termasuk mahasiswa di Indonesia.

Terakhir, mari kita serukan solidaritas untuk Palestina. Mari kita berbuat lebih banyak untuk mendukung mereka yang masih menderita dan hidup dalam kondisi yang sangat sulit.

Bersama, kita bisa membuat perubahan. Mari kita berjuang bersama untuk keadilan, untuk kemerdekaan, dan untuk perdamaian abadi bagi Palestina. []

Baca Juga: Perhatian Terhadap Yatim Piatu di Lingkup Nasional dan Internasional

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda