Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peringatan Nakba: Simbol Perlawanan dan Hak Kembali Bangsa Palestina

sajadi Editor : Widi Kusnadi - 22 detik yang lalu

22 detik yang lalu

1 Views

Mudalala Akel, 86, telah hidup sebagai pengungsi di Gaza sejak keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Palestina selama Nakbah tahun 1948. Akel masih memegang kunci rumah keluarganya, Mei 2008. (Wissam Nassar/MaanImages)

SETIAP tanggal 15 Mei, bangsa Palestina dan para pendukung perjuangannya di seluruh dunia memperingati Hari Nakba. Kata “Nakba” dalam bahasa Arab berarti “malapetaka” atau “bencana besar”.

Istilah ini merujuk pada peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 1948, ketika lebih dari 750.000 warga Palestina diusir secara paksa dari tanah kelahiran mereka seiring dengan berdirinya secara sepihak negara penjajah Israel.

Antara 1947 dan 1949 terjadi pengusiran massal di mana lebih dari 750.000 warga Palestina dari populasi sekitar 1,9 juta orang dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh milisi Zionis Israel. Beberapa sejarawan memperkirakan jumlahnya melebihi 800.000 orang.

Institute for Middle East Understanding (IMEU) menyebutkan angka antara 750.000 hingga 1 juta orang yang berarti sekitar 75 persen dari seluruh warga Palestina.

Baca Juga: Kunjungan Trump ke Saudi, antara Normalisasi, Investasi dan Pemetaan Kawasan

“Segera setelah rencana pembagian disahkan, pengusiran warga Palestina oleh milisi Zionis sudah dimulai, bahkan sebelum tentara negara-negara Arab masuk. Ketika milisi tersebut dan tentara Israel baru menyelesaikan misinya, negara baru Israel telah menguasai 78% wilayah Palestina. Sisanya, yaitu Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza, kemudian dikuasai Yordania dan Mesir. Dalam Perang 1967, wilayah-wilayah ini kemudian diduduki militer Israel, dan mulai dijajah,” kata IMEU dalam situsnya.

Pada tahun-tahun tersebut milisi Zionis menyerang kota dan desa besar Palestina, menghancurkan sedikitnya 530 desa, dan melakukan puluhan pembantaian yang menewaskan sekitar 15.000 orang.

Beberapa di antaranya termasuk, pembantaian Baldat al-Sheikh pada 31 Desember 1947 yang menewaskan hingga 70 warga Palestina, pembantaian Sa’sa’ pada 14 Februari 1948 di mana 16 rumah diledakkan dan 60 orang tewas, serta pembantaian Deir Yassin pada 9 April 1948, menurut Al Jazeera.

Pasukan paramiliter Zionis menyerbu desa Deir Yassin dekat Yerusalem dari berbagai arah dan membantai sedikitnya 107 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak.

Baca Juga: 77 Tahun Hari Nakbah, Genosida Harus Dihentikan

Dalam bukunya The Ethnic Cleansing of Palestine (2006), sejarawan Ilan Pappé menulis bahwa “Rencana sistematis Plan Dalet terlihat jelas dalam kasus Deir Yassin, sebuah desa yang damai dan bahkan telah menjalin perjanjian damai dengan Haganah di Yerusalem, namun tetap dihancurkan karena masuk dalam wilayah yang harus ‘dibersihkan’ menurut rencana tersebut.”

Plan Dalet digambarkan sebagai cetak biru operasi militer Israel yang dimulai pada Maret 1948, dan memainkan peran sentral dalam peristiwa Nakba.

Sepekan setelah Israel mendeklarasikan negara, desa nelayan Tantura, rumah bagi sekitar 1.500 warga Palestina, diserang. Jumlah pasti korban tidak diketahui, namun laporan menunjukkan puluhan hingga 200 orang tewas, dan sedikitnya tiga kuburan massal ditemukan di sana.

Film dokumenter Tantura tahun 2022 mengupas bukti yang ditemukan oleh peneliti Israel, Teddy Katz, mengenai pembantaian tersebut. Lembaga Forensic Architecture juga menyajikan informasi rinci tentang kejadian ini.

Baca Juga: Menangkap Pesan Kuat Hamas di Balik Pembebasan Sandera AS

Menurut Badil Resource Center for Palestinian Residency and Refugee Rights, lebih dari 30 pembantaian terdokumentasi dilakukan pasukan Zionis selama perang 1948.

“Ini termasuk 24 pembantaian di wilayah utara (Galilea), 5 di wilayah tengah Palestina, dan 5 lainnya di wilayah selatan,” tulis Badil di situsnya.

“Antara 80 hingga 100 pria, wanita, dan anak-anak dibunuh di desa Dawayma pada 29 Oktober 1948 setelah pasukan Israel masuk ke desa tersebut. Beberapa sumber bahkan menyebutkan korban mencapai 300 orang,” tambahnya.

Pembantaian masih terjadi hingga kini, seperti yang terlihat dalam agresi militer Zionis Israel ke Gaza sejak Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari 52.000 orang dan melukai lebih dari 118.000 lainnya, dengan lebih dari 14.000 orang masih hilang.

Baca Juga: Air Haji: Benarkah Air Zamzam yang Dibawa Pulang dari Tanah Suci? Ini Penjelasan Lengkapnya

Peringatan Nakba tidak hanya mengenang tragedi 1948, tetapi juga mencerminkan kenyataan bahwa penderitaan Palestina belum berakhir. Blokade di Gaza, perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat, kekerasan militer, dan diskriminasi struktural terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan menunjukkan bahwa bentuk-bentuk baru dari Nakba masih berlangsung hingga hari ini.

Ini disebut sebagai “Nakba yang berkelanjutan” (ongoing Nakba), karena pengusiran, penindasan, dan perampasan tanah terus terjadi.

Tepi Barat, tempat tinggal sekitar 3,3 juta warga Palestina, terus diduduki Israel, dengan pembangunan permukiman ilegal dan perampasan tanah yang terus berlangsung. Sekitar 700.000 pemukim Israel tinggal di tanah Palestina yang dicaplok.

Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kehadiran Israel di wilayah Palestina yang diduduki adalah ilegal dan harus dihentikan “secepat mungkin.”

Baca Juga: Haji Maqbul dan Mabrur

Pengadilan juga memutuskan bahwa Israel wajib “segera menghentikan semua pembangunan permukiman baru dan mengevakuasi seluruh pemukim” dari tanah yang diduduki.

“Permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur serta rezim yang mengelilinginya dibentuk dan dipertahankan secara melawan hukum internasional,” ujar panel 15 hakim tersebut.

Menurut LSM Israel, Peace Now, pada tahun 2024, sebanyak 24.258 dunam tanah dinyatakan sebagai “tanah negara” dan “hampir setengah dari total tanah yang dinyatakan sebagai tanah negara sejak Perjanjian Oslo.”

Hak Kembali yang Diabaikan

Baca Juga: Masjid Al-Aqsa Semakin Mengkhawatirkan

Hak para pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah mereka telah dijamin oleh Resolusi 194 Majelis Umum PBB tahun 1948. Namun lebih dari tujuh dekade kemudian, hak itu belum pernah dipenuhi.

Generasi demi generasi warga Palestina tumbuh dalam pengasingan, membawa kunci rumah yang mereka tinggalkan sebagai simbol harapan dan perlawanan.

Kunci ini menjadi ikon yang sering terlihat dalam peringatan Nakba, melambangkan tekad untuk suatu hari kembali ke tanah air mereka.

Simbol Perlawanan dan Identitas Nasional

Baca Juga: Krisis Kemanusiaan di Palestina: Solusi dan Tantangan Global

Bagi rakyat Palestina, Hari Nakba adalah simbol keteguhan dalam memperjuangkan hak dan martabat. Ini adalah bentuk penolakan terhadap pelupaan sejarah dan upaya penghapusan identitas nasional Palestina.

Setiap tahun, demonstrasi, pawai, pertunjukan budaya, dan doa dilakukan untuk menegaskan bahwa Palestina tetap hidup dalam hati jutaan rakyatnya.

Melalui seni, pendidikan, dan aktivisme, narasi Nakba terus disampaikan sebagai bagian penting dari perlawanan budaya.

Peringatan Nakba juga menjadi pengingat bagi komunitas internasional tentang pentingnya menegakkan keadilan, hukum internasional, dan hak asasi manusia.

Baca Juga: Bergabung dalam Perlawanan Palestina Melalui Hari Keffiyeh Sedunia 

Dunia ditantang untuk tidak lagi bersikap netral atau diam dalam menghadapi pelanggaran hak-hak rakyat Palestina.

Dukungan moral, diplomatik, dan kemanusiaan perlu terus digalakkan untuk mendorong penyelesaian yang adil dan bermartabat bagi para korban pengusiran dan keturunan mereka. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Harapan Perdamaian di Palestina, Realita atau Mimpi?

Rekomendasi untuk Anda