Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
(Tulisan ke-2 dari 3 tulisan. Lanjutan dari tulisan sebelumnya: “SYUHADA: DARI BESI TUA SAMPAI MODAL PALU MENUJU PALESTINA”)
Syuhada mulai menetapi Jamaah Muslimin (Hizbullah), pada tahun 1996. Jamaah Muslimin (Hizbullah) adalah sebagian Muslimin yang bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam dengan menganut sistem Khilafah yang mengikuti contoh kenabian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasllam.
Pada 2012 ada acara Taklim Pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) di Cileungsi Bogor. Syuhada berangkat hadir dengan meninggalkan sementara pekerjaan bangunannya di Lampung.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Setelah selesai acara taklim, ada pengumuman peluang untuk mendaftar ke Palestina.
“Waktu itu saya iseng saja, saya tidak ada pengetahuan sama sekali tentang Palestina. Hanya dari dulu saya memiliki keinginan di hati pergi ke luar negeri. Ketika melihat formulir, ternyata yang dibutuhkan ada pada diri saya. Saya mengisi formulir untuk bidang listrik dan plafon. Setelah sudah, saya kembali pulang ke Lampung,” ujar Syuhada.
Setelah itu Syuhada mengaku bersikap cuek, tidak terlalu memikirkan persiapan bahwa dirinya sudah mendaftar untuk ke Palestina. Sepulangnya ke Lampung, karena masih ada kerjaan yang ditinggal sebelumnya, dia pun kembali menyelesaikan pekerjaan bangunan.
Setelah beberapa minggu, Syuhada ditelepon seseorang bahwa dia diminta ke Cileungsi lagi untuk seleksi berangkat ke Palestina.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Di Cileungsi, tepatnya di Pondok Pesantren Al-Fatah Pusat, Syuhada dan calon relawan lainnya ditegaskan untuk mengurus paspor.
“Bikin paspor juga saya cuek-cuek saja, karena memang pada saat itu, hati saya belum sampai ke Palestina. Dengan alasan saya belum punya uang, saya tenang-tenang saja tidak mengurus paspor,” kata Syuhada.
Waktu dan hari berlalu, masa keberangkatan pun kian dekat. Ir. Abu Fikri yang mengkoordinir para Relawan Al-Fatah, sebutan bagi para relawan, mendesak Syuhada agar segera membuat paspor.
“Demi untuk keantusiasannya, satu-satunya jalan untuk ke Palestina adalah membuat paspor,” kata Abu Fikri melalui telepon.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Syuhada pun jadi bingung. Dia berpikir, untuk membuat paspor harus ada KTP, padahal dalam beberapa tahun terakhir Syuhada tidak memiliki KTP dengan alasan-alasan tertentu, tapi SIM ada.
Saat yang bersamaan, ada juga desakan dari Pak Hery Budianto, tokoh Jamaah Muslimin (Hizbullah) asal Lampung.
“Saya sampaikan alasannya ke Pak Hery. Untuk buat mendesak pun tidak bisa, karena di desa-desa, masyarakat sedang mengurus KTP Elektrik,” kilah Syuhada.
Pak Hery yang memiliki kedekatan dengan berbagai pejabat, akhirnya menelepon Camat untuk meminta bantuan. Hasilnya, urusan pembuatan KTP Syuhada dimudahkan kecamatan. Semuanya pun bisa diurus, dari KK, KTP hingga mengurus paspor.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Mertua Bangga
Awalnya, isteri dan keluarga Syuhada yang lain tidak ada yang tahu tentang rencana keberangkatan ke Gaza Palestina itu.
“Keluarga saya semuanya tidak tahu dari awal termasuk isteri. Saya sengaja diam-diam, karena saya tidak mengira jika pendaftaran saya diterima. Saya baru memberi tahu isteri setelah saya ditegaskan untuk membuat paspor,” ujar Syuhada.
“Kok sampai ke luar negeri segala, sih? Jauh banget,” komentar sang isteri, karena ia juga tidak tahu bahwa Palestina di mana dan daerah seperti apa.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Namun berbeda dengan mertua yang merasakan bangga, sebab ia tahu tujuan dari keberangkatan para relawan adalah pembebasan Masjid Al-Aqsha yang kini dikuasai oleh Zionis Yahudi Israel. Pembangunan rumah sakit hanya batu loncatan.
Aneh ke Luar negeri
Dulu yang namanya naik pesawat itu hanya suatu keinginan di hati seorang Syuhada, namun di hari keberangkatan itu, keinginan itu terwujud nyata.
“Menurut ukuran orang seperti saya, rasanya tidak mungkin untuk naik pesawat. Hidup di desa, kerja bangunan. Setelah proses dan berangkat, setibanya di bandara saja sudah merasa aneh. Banyaknya kagum, banyak bengongnya,” ujar Syuhada.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Ketika di pesawat, Syuhada mengisi kebengongannya hanya dengan dzikir.
“Karena pikir saya, subhanallah, koq saya bisa terbang seperti ini, di atas awang-awang yang tidak menentu arahnya,” katanya.
Begitu pesawat turun transit di Dubai, Syuhada kian terkagum-kagum melihat bangunan yang sangat indah, megah, bangunan yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Hingga detik itu, Syuhada mengaku perasaannya belum menentu, karena ia belum tahu, mau apa di Palestina.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Gaza adalah Hutan
Dalam perjalanannya di Kairo, ibu kota Mesir, Syuhada melihat rumah-rumah yang jarang ada sepanjang perjalanan, ada gunung-gunung, sampai ia bertanya dalam hati, “Kairo kok seperti ini sih? Tidak ada orang di jalan-jalan, sepi. Yang ada cuma mobil.”
“Sebelum memasuki Rafah, gambaran dalam benak saya bahwa Gaza itu adalah hutan,” kata Syuhada.
Perkiraan Syuhada, daerah tempat membangun rumah sakit itu adalah daerah perkebunan, sama seperti daerah Indonesia, seperti daerah di mana ia pernah membangun yang kadang-kadang dikeliling kebun singkong, atau kebun karet, atau kebun sawit.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Namun setibanya di lokasi pembangunan rumah sakit, ternyata ia tidak menyangka sama sekali jika daerah itu ramai oleh bangunan rumah dan warga.
Struktur pembangunan Rumah Sakit (RS) Indonesia sudah jadi, dikerjakan oleh para relawan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) yang memprakarsai pembangunan yang kelak hasil sempurnanya akan dihadiahkan kepada rakyat Palestina dari rakyat Indonesia sebagai wujud bantuan dan cinta mereka.
Karena struktur bangunan RS Indonesia sudah jadi, Syuhada langsung pergi naik ke atas, ke lantai tiga, tapi tidak boleh ke dak yang terakhir.
“Ternyata Gaza luas,” batin Syuhada.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
“Di hari kedua, kami melihat asap di kejauhan yang merupakan akibat serangan bom Israel. Saat itu saya belum tahu pasti bahwa itu serangan bom.”
Ketika tahu bahwa tempat itu setiap saat bisa dibom, Syuhada mengaku awalnya ada rasa takut. Tapi lama kelamaan, rasa takut itu hilang dan justeru menambah keberanian.
“Dalam hati kecil saya, jika saya mampu, saya ingin ikut melawan Israel karena saking gemasnya,” geram Syuhada yang nyatanya tidak bisa berbuat banyak menyaksikan kebrutalan militer Israel terhadap Muslimin di Jalur Gaza.
Masyarakat Gaza di Mata Juru Masak Relawan Indonesia
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Dengan modal bahasa Arab yang nol, mulailah Syuhada menjalani hidup dan amanahnya sebagai relawan pembangunan rumah sakit di tanah Gaza, salah satu bagian dari Bumi Syam yang diberkahi.
Syuhada mengaku cukup banyak ditertawakan di sana, sebab Bahasa Arabnya adalah “bahasa galau”, bahasa Arab buatan sendiri.
“Karena begitu inginnya berbahasa Arab tapi tidak ada dasar,” akunya.
Di tim relawan, Syuhada mendapat tugas pertama di besi, membuat slop selama empat bulan. Setelah itu ia ditarik ke dapur menjadi juru masak sampai pembangunan RS Indonesia selesai seratus persen.
Bagi seorang Syuhada, dalam masyarakat Gaza, banyak keindahan di bidang agama yang belum biasa dilakukan di Indonesia atau di rumah para relawan. Diantaranya adalah budaya menyebarkan salam yang tinggi, memberikan makan, mengagungkan tamu serta kecintaan mereka terhadap Al-Quran.
“Sebegitu tingginya budaya mereka memberi makan, ketika mereka memiliki dua buah permen atau coklat di kantongnya, satu bisa diberikan kepada saya atau relawan yang lain. Ketika menunggu shalat sebelum iqomat, mereka selalu membaca Al-Quran. Mereka selalu memamfaatkan waktu sekecil apa pun untuk membaca Al-Quran, baik anak muda maupun yang tua,” tutur Syuhada.
Selain budaya yang berasal dari syariah Islam, ada juga budaya yang bukan dari ajaran Islam. Seperti dalam pesta pernikahan, mereka menari-nari di atas panggung, namun itu pun tidak setiap pesta, hanya orang-orang tertentu saja.
Dilempar Anak-anak Gaza
Hampir semua relawan mengaku tidak pernah memiliki insiden buruk dengan masyarakat Gaza.
Hanya pernah, cerita Syuhada, ketika beberapa relawan keluar menuju sebuah masjid atau pulang dari masjid pada hari Jumat, mereka sempat merasa terganggu oleh anak-anak Gaza.
Setiap Jumat, para relawan libur, dan mereka memiliki amalan Jumat, yaitu pergi shalat Jumat ke masjid-masjid yang ada di Gaza secara berkeliling. Setiap Jumat mereka shalat di masjid yang berbeda. Itu mereka tempuh dengan berjalan kaki. Sering mereka keluar untuk shalat, dua jam lebih cepat dari waktu shalat karena jarak tempuh yang berkilo-kilo meter.
Anak-anak Gaza begitu antusias jika bertemu dengan tamu asing. Mereka berani, selalu ingin tahu asal warga asing yang mereka jumpai.
“Setelah kami terangkan bahwa kami dari Indoensia, ujung-ujungnya mereka minta Shekel (mata uang di Gaza),” kata Syuhada.
Waktu itu, para relawan tidak melayani, karena belum lama di Gaza, para relawan kurang memahami bahasanya anak-anak Gaza.
Anak-anak Gaza mengikuti para relawan berjalan tidak hanya sekali. Mereka selalu bertanya, bahkan mereka mengikuti sampai beberapa kilometer jauhnya.
“Pernah kami abaikan, tapi mereka terus mendesak dan agak memaksa, sehingga pernah kami sedikit bergaya kejam (agak keras), ternyata mereka lebih kejam,” kata Syuhada.
Anak-anak Gaza melempar para relawan dari jauh dengan apa saja yang mereka dapatkan. (T/P09/R2)
(Bersambung….)