Oleh: Dr Myint Thein/Abdus Salaam
Islam telah berkembang di Myanmar selama berabad-abad sejak abad ke-8 Masehi. Islam tiba di Myanmar terutama melalui tiga rute yaitu:
(1) Dengan jalur laut melalui Arab, Persia dan India,
(2) Dari Yunnan, China, melalui Yunnanese dan Tartar, dan
(3) Dari Bengal (Kerajaan Gaur) dan India (Kerajaan Moghul) melalui Afghanistan, India dan Persia.
Selain itu, ada Muslim Melayu di bagian selatan Myanmar.
Muslim awalnya tiba di Myanmar sebagai pedagang, pelancong, pelaut, tentara, pengelana, ulama, tahanan dan budak, serta tentara bayaran dalam melayani raja Burma dan raja Rakhine di berbagai periode. Mereka menetap dengan baik sebelum 1823 (Perang Anglo-Burma pertama).
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Karena loyalitasnya, Muslim juga diberi posisi tinggi di dinas militer, termasuk pengawal unit khusus raja-raja, dalam pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Selain itu, selama abad ke-13, tiga raja Pathi telah memerintah di Pathein (kota pelabuhan di sungai Pathein, kota terbesar keempat Myanmar). Rakhine-Kamans menjadi raja di Mrauk-U (kota sub-distrik di Switte) periode Rakhine.
Karena komunikasi intim dan perkawinan campuran dengan perempuan lokal non-Muslim dari berbagai kelompok etnis serta antar-pernikahan dari berbagai ras di antara mereka sendiri, masyarakat Muslim yang baru tercipta. Mereka adalah:
(1) Pathi, Myedu, dan Kala-pyo (Muslim Burman) di Kementerian Burma.
(2) Rohingya, Kaman dan Muslim Rakhine di wilayah Rakhine.
(3) Panthay (myanmar/">Muslim Myanmar-China) terutama di sepanjang perbatasan Myanmar-China dan kota-kota utama seperti Yangon dan Mandalay.
(4) Pashu (myanmar/">Muslim Myanmar-Melayu) di wilayah Thaninthayi, wilayah selatan Myanmar, dekat perbatasan Thailand.
Istilah Pathi secara resmi digunakan untuk Muslim Burma pada masa pemerintahan raja-raja Burma.
Selama kekuasaan Inggris, istilah “Zerbadee” digunakan untuk Muslim Burma, baik keturunan Muslim Burma dari zaman raja Burma maupun keturunan perkawinan campuran antara Muslim India dan Burma sejak masa penaklukan Inggris. Data itu menurut sensus penduduk yang diambil di Burma pada 1891, merupakan sensus pertama yang mencakup seluruh Burma.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Namun, umat Islam Burma tidak menyukai istilah Zerbadee dan dengan perjuangan mereka, pada tahun 1941, pemerintah mengumumkan keputusannya dengan Pemberitahuan No.1112, tanggal 9 Agustus 1941, mengabulkan permohonan umat Islam. Istilah Zerbadee diganti dengan nama “Muslim Burman”.
“Burman” mengacu pada kelompok etnis dan “Burma” mengacu pada semua warga Burma serta nama bahasa yang digunakan oleh Birma.
Selama perjuangan kemerdekaan Burma, konvensi LigaKebebasan Rakyat Anti-Fasis (AFPFL) pada Januari 1946 di Rangoon (Yangon), yang dipimpin oleh pemimpin nasional Jenderal Aung San, menegaskan loyalitas Muslim Burma kepada negara, membuat semua orang lain berdiri dan bertepuk tangan untuk Kongres Muslim Burman (BMC) yang dipimpin oleh Sayagyi U Razak.
Konvensi AFPFL menawarkan untuk memberikan hak-hak minoritas nasional kepada Muslim Burma jika diminta sesuai dengan Proposal no.6.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Berdasarkan pasal 10 dari Undang-Undang Dasar Persatuan Burma (1947), ada satu kelas kewarganegaraan di seluruh Persatuan. Menurut ayat (i), (ii) dan (iii) dari pasal 11 Undang-Undang Dasar, myanmar/">Muslim Myanmar dan keturunan Muslim Burma, sejak zaman raja Burma, dan keturunan perkawinan campuran, antara Muslim India dan Burma, sejak periode penaklukan Inggris “sudah menjadi warga Persatuan”.
Kongres Muslim Burma (BMC) memberikan kontribusi pelayanan yang terbaik untuk menyatukan Burma Proper (Mayoritas Burma) dan Wilayah Perbatasan serta menandatangani Perjanjian Panglong pada Februari 1947 untuk membentuk Persatuan Burma.
U Pe Kin dari BMC menjadi negosiator yang paling penting bagi Perjanjian Panglong. Pemilihan nasional untuk Majelis Konstituante diadakan pada April 1947.
AFPFL yang dipimpin oleh Jenderal Aung San, memenangkan mayoritas kursi. Namun, pada 19 Juli, sembilan orang, termasuk Jenderal Aung San dan Sayagyi U Razak, dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata dalam sebuah pertemuan kabinet.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Dari sembilan syuhada negara, Sayagyi U Razak dan Ko Htwe (pengawal Sayagyi U Razak) adalah Muslim.
Persatuan Burma menjadi negara merdeka pada 4 Januari 1948 dan U Nu menjadi Perdana Menteri pertama. Setelah terbentuknya Konstitusi Burma 1947 dan Kemerdekaan pada 1948, ada empat Menteri Muslim dalam kabinet (U Pe Kin, U Khin Maung Lat, U Rasyid, dan Sultan Mahmood), dan banyak jadi Anggota Parlemen, pejabat tinggi pemerintah serta menjadi perwira tinggi militer.
Komunitas Muslim menikmati status, hak dan hak istimewa yang sama seperti semua warga negara Myanmar lainnya.
Pada 29 Desember 1955, selama pertemuan di Balai Kota Rangoon (Yangon) dengan perwakilan Kongres Muslim Burma (BMC), U Nu bersama Perdana Menteri dan pemimpin AFPFL menegaskan dan menjamin, Muslim Burma adalah Burman dengan syarat BMC harus dibubarkan.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Lebih jauh pertemuan itu mendesak, jika Muslim Burma ingin melanjutkan karir politiknya setelah bubarnya BMC, mereka harus bergabung dengan AFPFL sebagai warga negara Burma atau mereka bergabung dengan Dewan Islam Departemen Agama jika mereka ingin melakukan kegiatan keagamaan.
Awal minoritas Myanmar kehilangan haknya
Pada 1962, Jenderal Ne Win melakukan kudeta militer. Sejak saat itu, bukan hanya komunitas Muslim di Burma, tetapi juga semua kelompok etnis minoritas secara bertahap kehilangan status, hak-hak dan hak istimewa mereka.
Ini terjadi karena pemerintah militer Jenderal Ne Win menerapkan ideologi “Jalan Burma menuju Sosialisme” dan “Anti-Federalisme dengan proses Burmanisasi”. Ada konflik jangka panjang, pemberontakan, perang saudara karena pelanggaran rezim Ne Win terhadap hak asasi manusia dan norma-norma internasional.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Menurut Buku Instruksi “Bagaiman cara mengisi formulir” untuk Sensus Penduduk 1973 yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama, Pemerintah Persatuan Burma memiliki 144 ras per 9 Desember 1972, termasuk Rakhine-Chittagong, Muslim Burma, Rakhine-Kaman, Myedu, Burma-India (kecuali Chittagong, Hindustani, Tamil, Talagu, Dainet, India dan Pakistan lainnya), dan Burma-Cina (termasuk Panthay, kecuali Yunan, Canton, Fukan dan Cina lainnya). Rakhine-Chittagong mengacu etnis Rohingya.
Selain itu, surat kabar pemerintah mengutip Departemen Imigrasi dan Tenaga Kerja, ada 143 ras etnis, termasuk yang disebutkan di atas 6 ras etnis yang mengaku Islam sebagai agamanya. Oleh karena itu, umat Islam ini memberikan suaranya untuk konstitusi baru Republik Sosialis Rakyat Persatuan Burma (1974) sebagai ras nasional dan warga Burma.
Namun, di bawah kediktatoran Jenderal Ne Win, Partai Program Sosialis Burma (BSPP) mengecualikan nama ras etnis Muslim, kecuali Rakhine-Kaman dengan mengumumkan UU Kewarganegaraan Burma 1982 dan mengakui hanya 135 kelompok etnis.
UU baru menciptakan tiga kelas warga negara (Citizen, Associate citizen dan Naturalized citizen) dan menyangkal kewarganegaraan banyak warga Muslim. Secara terbuka dinyatakan hanya darah murni yang harus disebut warga negara Burma.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Masyarakat Muslim di Myanmar yang diklaim berdarah campuran, migran saja dan Kalas (warga asing atau India yang tidak diinginkan di Myanmar) dan mereka yang tidak memiliki negara, tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Alasannya, tidak ada ras yang dapat dibentuk berdasarkan agama . Oleh karena itu, mereka bukan bagian dari kelompok etnis nasional Myanmar atau memenuhi syarat untuk menjadi warga negara.
Beberapa pemimpin Burma tanpa disadari mengikuti kata-kata Jenderal Ne Win dan mengidentifikasi diri mereka sebagai ras murni dan mengutuk ras tidak murni.
Para pemimpin militer dan politik Burma merubah sikap mereka terhadap minoritas Muslim dengan mengabaikan fakta-fakta sejarah dan hukum.
Konsep keputusan Kongres Muslim Burman pada 1946 “Muslim Burma adalah Burman” serta penegasan dan jaminan identitas mereka diberikan oleh AFPFL dan Konstitusi Myanmar tahun 1947 dan 1974, tampaknya tidak lagi akan berlaku.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Masyarakat Muslim berjuang bahu membahu bersama saudara-saudara umat Budha Birma dan mengorbankan hak-hak minoritas mereka demi memprioritaskan gerakan kemerdekaan.
Namun setelah Burma mendapatkan kembali kemerdekaannya, mereka tidak hanya kehilangan hak sebagai warga negara secara bertahap, tetapi juga ketidakadilan, bahkan identitas komunitas mereka ditolak.
Saat ini, status hukum sebagian besar umat Islam di Myanmar digambarkan “mencurigakan” oleh petugas imigrasi yang menolak untuk mengeluarkan Kartu Kewarganegaraan untuk mereka, dengan klaim mereka tidak memenuhi syarat menurut UU Kewarganegaraan Burma 1982.
Etnis Rohingya di negara bagian Rakhine (Arakan) sering disebut sebagai “stateless” (tanpa kewarganegaraan), karena mereka umumnya tidak memenuhi syarat untuk Kartu Registrasi Nasional dan bahkan sebagian dari mereka menjadi pengungsi di Bangladesh, Arab Saudi, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Selain itu, Muslim lulusan universitas yang tidak memiliki kartu kewarganegaraan, tidak dapat menerima gelar/sertifikat mereka. Oleh karenanya, mereka menghadapi kesulitan melanjutkan studi dan memperoleh pekerjaan, serta sulit mengajukan paspor untuk bepergian ke luar negeri. Meskipun tidak ada aturan tertulis yang melarang umat Islam dari kesempatan kerja dan promosi dalam pelayanan pemerintah, namun dalam prakteknya itulah yang terjadi.
Selain itu, telah ada gerakan dan kerusuhan anti-Muslim di mana banyak umat Islam kehilangan nyawa dan harta bendanya. Masjid dan madrasah hancur, Al-Quran dibakar atau dihina, banyak orang Islam yang membela diri justeru dipenjara.
Beberapa masjid dan madrasah diizinkan dibangun kembali atau dibuka kembali di tempat lain setelah kerusuhan, tetapi tidak diizinkan dibuka kembali di beberapa tempat, misalnya di Toung-oo dan Chauk.
Kota-kota tertentu di negara bagian Rakhine seperti kota Gwa dan Taung-kote dinyatakan sebagai “zona bebas Muslim” oleh beberapa ekstrimis pada 1983. Muslim tidak lagi diizinkan tinggal di kota-kota tersebut. Man-aung Island (Cheduba) di negara bagian Rakhine dan Kyauk-padaung (Divisi Mandalay) juga tercatat sebagai Zona Bebas Muslim.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Di negara bagian Rakhine, umat Islam sangat sulit melakukan perjalanan, melakukan bisnis, menikah dan belajar jika tanpa kartu identitas. Pemerintah mengatakan, itu untuk alasan keamanan, tetapi umat Islam merasa bahwa itu adalah bentuk pembersihan etnis. (T/P001/P2)
Dr Myint Thein (a) Abdus Salaam
Kepala Al-Azhar Islamic Institute of Myanmar
No.23, 139 Street, Maugone, Tamwe Township, Yangon.
Tel: 0095-9-5134487, Email <[email protected]>
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)