PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump mengatakan dalam kunjungan ke Timur Tengah beberapa hari lalu, “kita harus membantu” warga Palestina.
Akan tetapi hingga kembali ke negaranya, sampai saat ini hanya tidak ada kemajuan dalam mengakhiri genosida Israel di Jalur Gaza.
Pasukan Israel tetap saja melancarkan serangan darat baru terhadap di Gaza.Bahkan saat kunjungan empat hari Trump ke Timtengtersebut.
Dalam kunjungannya, Trump melakukan serangkaian kegiatan, mulai dari kesepakatan perdagangan bernilai miliaran dolar, pertemuan dengan presiden baru Suriah, dan upaya diplomatik untuk menyelesaikan kebuntuan nuklir dengan Iran.
Baca Juga: Hijrah Bukan Tren, Tapi Jalan Pulang yang Hakiki
Di sisi lain, nasib rakyat Palestina dan perang di Gaza, tempat korban tewas terus bertambah dalam beberapa hari terakhir akibat serangan Israel, tidak mendapat perhatian serius.
Trump mengakhiri kunjungannya ke Teluk Persia pada hari Jumat (16/5), dengan memuji kemampuannya sebagai pembuat kesepakatan, dengan membuat perjanjian perdagangan senilai ratusan miliar dolar dengan Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
Namun, terlepas dari desakannya berulang kali bahwa hanya dia yang dapat mengakhiri masalah dunia yang sulit diatasi dengan damai — dan mengatakan pada hari Jumat bahwa “kita harus membantu” Palestina — tidak ada terobosan dalam genosida di Gaza. Trump mengulangi sarannya tentang keterlibatan AS di Jalur Gaza.
Mencermati kerusakan yang meluas di wilayah tersebut, Trump berkata, “Saya punya konsep untuk Gaza yang menurut saya sangat bagus, jadikan itu zona kebebasan. Biarkan Amerika Serikat terlibat dan jadikan itu zona kebebasan saja.”
Baca Juga: Haji Berkali-kali, Tapi Tetap Sombong dan Kikir?
Komentar Trump muncul saat militer Israel memulai tahap pertama dari serangan darat yang disebutnya “Operasi Kereta Perang Gideon”.
Operasi itu meru0akan pemenuhan ancaman Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu awal bulan Mei bahwa ia akan melancarkan serangan ke Gaza untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan tahanan.
Menanggapi tidak adanya langkah serius Trump terhadap masalah Gaza, Mouin Rabbani, seorang peneliti nonresiden di Pusat Studi Konflik dan Kemanusiaan, yang berbasis di Qatar mengatakan, “mengakhiri perang Gaza tidak memberikan manfaat ekonomi bagi AS, dan tidak berisiko melibatkan pasukan Amerika dalam perang baru.”
Serangan Tetap Berlangsung
Baca Juga: Topeng Demokrasi Amerika Roboh di Tepi Gaza
Menjelang perjalanan Trump, ada beberapa langkah yang telah meningkatkan harapan akan adanya gencatan senjata atau mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, di tengah peringatan organisasi kemanusiaan akan datangnya bencana kelaparan.
Padahal, sebelumnya, pada tanggal 12 Mei, Hamas telah membebaskan Edan Alexander, seorang tentara dengan dua kewarganegaraan Israel-AS dan tahanan Amerika terakhir yang berada di tangannya, sebagai isyarat niat baik kepada Trump, dan ada rumor tentang pertemuan antara Trump dan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.
Namun, pertemuan itu tidak pernah terjadi, dan alih-alih gencatan senjata, Israel malah melancarkan serangan yang menurut otoritas kesehatan di daerah kantong itu telah menewaskan sedikitnya 250 orang dalam beberapa hari terakhir, 45 di antaranya adalah anak-anak, menurut UNICEF.
Operasi militer Israel sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 53.000 orang di Gaza, sebagian besar adalah warga sipil dari kalangan wanita dan anak-anak, menurut otoritas kesehatan di Gaza.
Baca Juga: Tarian Tanpa Hijab di Depan Trump: Potret Jahiliyah Modern di Negeri Muslim
Gencatan senjata yang ditengahi oleh pemerintahan Trump yang baru pada bulan Januari gagal pada pertengahan Maret setelah Israel menolak untuk melanjutkan negosiasi tahap kedua.
“Kami memperkirakan pemerintah AS akan memberikan tekanan lebih lanjut pada pemerintah Benjamin Netanyahu untuk membuka penyeberangan dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar segera ke rumah sakit di Jalur Gaza,” kata Taher El-Nounou, penasihat media Hamas, dalam sebuah wawancara dengan media.
Ia menambahkan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari kesepahaman yang dicapai dengan utusan AS selama pertemuan terakhir, di mana Hamas membebaskan Alexander.
Namun, hanya ada sedikit tanda-tanda tekanan itu, meskipun ada kekhawatiran di kalangan Israel bahwa tindakan Trump sebelum dan selama perjalanannya ke Timur Tengah tanpa mampir ke Israel, merupakan penghinaan terhadap Netanyahu.
Baca Juga: Masjid Al-Aqsa, Doa dan Harapan
Berbicara kepada wartawan di Air Force One saat ia meninggalkan ibu kota Emirat, Abu Dhabi, Trump menghindari pertanyaan tentang serangan Israel yang baru, dengan mengatakan, “Saya pikir banyak hal baik akan terjadi selama bulan depan, dan kita akan lihat.”
Pada hari pertama perjalanan Trump ke Timur Tengah, di Arab Saudi, ia mengumumkan bahwa AS akan mengakhiri sanksi terhadap Suriah, yang sekarang dipimpin oleh Ahmad Al-Sharaa yang menggulingkan diktator lama Bashar Assad pada bulan Desember.
Trump bertemu dengan Presiden sementara Suriah Ahmad al-Sharaa dan memujinya sebagai “orang tangguh” dan “pejuang.”
Israel sendiri memandang pemerintah Al-Sharaa sebagai ancaman dan telah melakukan serangan ke wilayahnya sejak jatuhnya Assad, dan meluncurkan kampanye serangan udara yang mematikan untuk melemahkan pasukan pemerintah yang masih muda itu.
Baca Juga: Peringatan Nakba: Simbol Perlawanan dan Hak Kembali Bangsa Palestina
Ketika ditanya apakah ia tahu Israel menentang pencabutan sanksi, Trump berkata, “Saya tidak tahu, saya tidak bertanya kepada mereka tentang itu.”
Gaza Prioritas Rendah bagi Trump
Para komentator mengatakan bahwa meskipun pengaruh Washington terhadap Israel seharusnya membuat gencatan senjata Gaza lebih mudah bagi pemerintahan Trump yang berusaha menampilkan dirinya sebagai pembawa damai yang efektif, konflik di sana tetap menjadi prioritas rendah bagi Trump.
“Gaza mungkin tampak seperti buah yang mudah dipetik di permukaan, tetapi juga merupakan hasil politik yang rendah, bagaimana tindakan tegas terhadap Gaza menguntungkan Trump? Tidak,” kata Khaled Elgindy, seorang peneliti tamu di Pusat Studi Arab Kontemporer Universitas Georgetown.
Baca Juga: Kunjungan Trump ke Saudi, antara Normalisasi, Investasi dan Pemetaan Kawasan
Ia menambahkan bahwa mendukung Netanyahu akan lebih sejalan dengan visi Trump untuk memiliki dan membangun kembali Gaza. Sementara mengenai Iran, Suriah, dan Houthi di Yaman, masuk akal untuk memisahkan kepentingan AS dari Israel. []
Sumber : Los Angeles Times
Mi’raj News Agency (MINA)