Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Media-media dunia hampir tak pernah mengalihkan pandangannya dari konflik Suriah dan nasib rakyatnya, baik yang ada di dalam negeri atau yang sudah menyebar ke seluruh dunia melakukan pengembaraan ke negeri yang lebih menjanjikan harapan.
Di dalam negeri, rakyat Suriah secara teratur terancam oleh bom dari serangan udara pasukan pemerintah dan sekutunya Rusia, atau dari serangan kelompok-kelompok militan yang selalu bertujuan menguasai setiap wilayah negeri itu.
Di luar negeri, mereka pun harus berjuang menerobos perbatasan-perbatasan negeri bangsa lain yang tidak akan begitu saja mau membuka pintunya. Mereka pun harus bertahan di titik-titik kamp pengungsian yang kondisinya serba kurang dan sulit.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Nyaris sulit ditemukan berita menggembirakan dari apa yang dialami oleh rakyat Suriah. Termasuk ketika mengupas kisah-kisah kehidupan dari pengungsi Suriah, tidak lepas dari cerita sedih, pilu dan keputus-asaan. Meski ada sebagian kecil dari pengungsi Suriah yang pada akhirnya bisa memperoleh keberuntungan di negeri orang. Salah satunya adalah Lama Alkassas.
Lama adalah wanita Suriah dari kota Homs, Suriah, yang sekarang tinggal di Swedia.
Ketika masih berada di Homs, memburuknya situasi membuat Lama takut ditangkap.
Militer pemerintah melakukan pelecehan terhadapnya saat dia pindah dari satu daerah ke daerah lain. Tujuan ia pergi hanya untuk menyelamatkan diri dari bom.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Setelah rumahnya hancur, Lama memutuskan melakukan perjalanan berbahaya di laut untuk mencapai Benua Eropa.
Mendengar suaminya sudah berada di Swedia, ia menyeberang ke Turki dan melakukan perjalanan menembus tujuh negara lainnya sebelum mencapai sebuah kota kecil di Swedia selatan yang bernama Avesta.
“Ketika saya datang ke sini untuk pertama kalinya saya berpikir ini (Avesta) sangat indah,” katanya kepada wartawan Anadolu Agency. “Saya berkata kepada suami saya, ‘Di mana semua orang?’ Rasanya begitu kosong. Di Suriah kami terbiasa di jalan-jalan sangat ramai, tapi di Avesta saya pikir mereka perlu lebih banyak orang. Kadang-kadang kami pergi ke sungai dan kami duduk di sana hanya kita sendiri. ”
Wanita Suriah berusia 40-an tahun ini kemudian bertemu dengan perempuan pengungsi lain di pusat penampungan untuk pendatang baru yang menunggu untuk ditugaskan belajar bahasa Swedia.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Meskipun tidak tahu kepastian tentang aplikasi suaka mereka akan diberikan atau tidak, Lama dan suaminya selalu mencari kegiatan dan cara-cara lain untuk bisa berintegrasi ke dalam masyarakat Swedia.
Suatu hari, manajer museum Verket di Avesta muncul. Dia memberikan informasi bahwa ada sebuah proyek yang melibatkan seniman Polandia Agata Oleksiak, profesional yang dikenal dengan nama panggilan Olek. Manajer museum ingin membawa keterampilan merenda Olek yang terkenal untuk rumah wanita kontemporer.
Seminggu kemudian, Olek bertemu dengan perempuan pengungsi untuk mulai bekerja pada sebuah proyek pameran seni tahunan di museum Verket, yaitu pameran Avesta Art.
Namun, Olek merasa sulit untuk menciptakan sesuatu yang tampak “terlalu manis” untuk situasi kehidupan nyata dari perempuan yang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Cuplikan video dari proyek pertamanya, berjudul In The Blink Of An Eye, menunjukkan rumah yang rumit dihiasi penuh dengan renda yang hancur berantakan di tengah suara kaca pecah dan suara anak-anak.
Namun, Olek kembali dengan keinginannya yang kuat untuk menciptakan sesuatu yang akan memberikan simbol harapan kepada pengungsi untuk mendapatkan sebuah rumah baru, sesuatu yang akan bertahan lebih lama dari karya sebelumnya.
Dia ingin menutupi seluruh rumah dengan renda warna merah muda.
Saat itulah, Lama dan teman-temannya sesama wanita pengungsi dihubungi untuk proyek Our Pink House. Rencana itu akan membuat renda seluas 400 meter persegi untuk menyelubungi sebuah rumah Swedia yang ideal di pusat Avesta.
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah
“Semua ada enam perempuan dari Suriah, dan wanita Ukraina menjadi tim inti. Itu adalah pengalaman yang sangat inspiratif,” kata manajer museum Verket, Kenneth Linder. “Itu juga sangat menyentuh karena beberapa dari mereka awalnya tidak tahu bagaimana cara merenda, tapi mereka belajar dengan melihat video YouTube, semata-mata untuk dapat menjadi bagian dari proyek ini.”
Our Pink House menjadi sebuah proyek tentang harapan, suatu hari, orang-orang yang terpaksa mengungsi akan memiliki rumah baru mereka sendiri.
Proyek ini bertujuan untuk mengingatkan kepada dunia tentang “apa artinya memiliki rumah” dan untuk memberdayakan perempuan pengungsi pada saat yang sama.
Setelah menunjuk sebuah rumah yang sempurna di Avesta, Olek melanjutkan misinya untuk dapat menggunakan rumah tersebut dalam proyeknya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Seperti diceritakan oleh Linder, Olek adalah wanita bersemangat dan persuasif. Setelah bertemu pemilik rumah di Vernissage di Avesta, Olek melanjutkan misinya.
Bersama dengan rekan-rekan Polandia Olek, wanita pengungsi mulai merajut pada Juli 2016 dengan menggunakan bahan yang disumbangkan. Sekitar satu bulan kemudian, mereka mampu menghubungkan semua bagian renda yang berbeda bersama-sama untuk menutupi rumah.
“Olek berbagi banyak pengalaman dengan kami dan dia wanita yang sangat berbakat dan baik,” kata Lama. “Kami memiliki banyak waktu yang menyenangkan saat bersama-sama dan kami semua berharap bahwa kami akan menjadi bagian dari proyek lain bersama Olek.”
Pada bulan Agustus, dewan lokal Avesta membuat sebuah acara untuk merayakan orang-orang yang telah memberikan kontribusi terhadap budaya kota itu. Ini adalah saat yang khusus bagi Lama dan sesama anggota tim, saat mereka disambut di atas panggung untuk menerima ucapan selamat atas kerja keras mereka dalam proyek Our Pink House.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Linder ingat, saat itu Lama dan teman-temannya merasa sangat bangga dan membuatnya sangat terkesan dengan tim.
“Anda melihat seberapa kuat ketika orang datang bersama-sama dan memiliki tujuan yang sama. Pertukaran pengalaman sangat menyentuh dan saya dapat memberitahu bahwa perempuan dari Suriah dan Ukraina sangat bergairah dalam hal ini dan telah merasakan besarnya rasa kebermaknaan,” ujar Linder.
Lama masih merenda di waktu-waktu luangnya. Dia juga mulai bermain tenis dan mengambil pelajaran bahasa Swedia di pagi hari.
Lama telah berada di negara itu lebih dari 10 bulan dan saat ini ia menunggu keputusan dari lembaga migrasi Swedia mengenai aplikasi suakanya.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
“Saya berharap bisa terus bekerja pada proyek-proyek seperti ini dan saya siap untuk membantu di masa yang akan datang,” katanya. “Saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Olek, Dewan Kota Avesta dan warga Swedia karena membantu kami dan mengambil kami baik-baik. Orang di sini sangat baik dan kami sangat menghargai bantuan yang kami terima.” (P001/P2)
Sumber: tulisan Elin Joensson di AA
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata