Jakarta, 15 Rabi’ul Akhir 1437/25 Januari 2016 (MINA) – Niat pemerintah Indonesia seperti yang dinyatakan Presiden Joko Widodo, untuk bergabung ke dalam perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPP) perlu ditinjau ulang. Pasalnya rezim perdagangan ini dinilai akan menghambat akses terhadap akses obat-obatan generik.
TPP, yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) dan melibatkan 12 negara, dinilai mengandung pasal-pasal hak kekayaan intelektual yang memperkuat monopoli perusahaan farmasi dan bisa membatasi akses masyarakat terhadap obat-obatan murah.
Demikian benang merah diskusi bertajuk “TPP, Jangan Korbankan Obat Murah” di Indonesia for Global Justice (IGJ), Jakarta, Senin (25/1), seperti keterangan yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Dalam paparannya, Maria Guevara, perwakilan regional Dokter Lintas Batas (MSF) untuk kawasan Asia, mengatakan, “MSF sangat khawatir TPP akan memperburuk krisis obat-obatan di dunia. Pasal mengenai hak kekayaan intelektual dalam perjanjian TPP akan memperpanjang, memperkuat, dan memperluas monopoli perusahaan farmasi melebihi apa yang sudah diatur dalam ketentuan perdagangan internasional yang telah ada sebelumnya.”
Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online
Sebagai contoh, TPP akan mempermudah perusahaan farmasi mendapatan paten untuk obat lama yang hanya sedikit dimodifikasi. Praktik ini disebut peremajaan paten atau patent evergreening.
Sindi Putri, Staf Advokasi dari Indonesia Aids Coalition (IAC) yang merintis Koalisi Obat Murah Indonesia, mengatakan TPP akan membawa kemunduran dalam perjuangan akses obat-obatan murah.
Saat ini pihaknya sedang mendorong revisi UU Paten agar lebih memihak kesehatan masyarakat, “TPP akan memaksa negara untuk mengikuti aturan-aturan yang tidak memihak pada kepentingan kesehatan masyarakat,” tegas Sindi.
Selain itu, perjanjian perdagangan TPP juga dinilai mengandung pasal yang problematis terkait investasi asing.
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
Lutfiyah Hanim, peneliti dari Third World Network (TWN), menyoroti pasal terkait investasi yang memberikan wewenang kepada perusahaan untuk menuntut negara apabila dinilai menerapkan kebijakan-kebijakan yang merugikan perusahaan.
Pasal ini berkaitan dengan bab Investasi di dalam Perjanjian TPP yang memang memasukan ketentuan Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang dalam praktiknya berdampak terhadap hilangnya ‘policy space’ negara untuk dapat membuat kebijakan yang melindungi kepentingan publik.
IGJ selaku perwakilan civil society Indonesia terus melakukan advokasi agar pemerintah menelaah isi perjanjian TPP secara hati-hati dan meninjau ulang rencana untuk bergabung.
Rachmi Hertanti, Research & Monitoring Manager IGJ mengatakan, “Pembukaan akses terhadap investor asing di sektor farmasi dalam revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dilakukan oleh Pemerintah tidak akan memberikan jaminan bahwa industry farmasi di Indonesia bisa berkembang dan bisa mengakses bahan baku obat-obatan yang hingga kini masih dimonopoli oleh perusahaan asing melalui Hak Paten. Sehingga jangan mimpi Indonesia punya Industri Farmasi besar kalau kita gabung dengan TPP.”
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
Sejauh ini sudah 12 negara yang telah menandatangani traktat TPP, yaitu Amerika Serikat, Brunei, Chili, Selandia Baru, Singapura, Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Vienam. (P022/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas