Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjuangan Palestina di Bawah Komandan Yahya Al-Sinwar

Redaksi - Kamis, 8 Agustus 2024 - 08:14 WIB

Kamis, 8 Agustus 2024 - 08:14 WIB

57 Views

Yahya Al-Sinwar (Quds Press)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA, Duta Al-Quds Internasional

Ucapan Ismail Haniyeh beberapa jam sebelum ajalnya tiba, ketika berbincang dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Rohullah Ali Khamenei, di Teheran, terbukti. Ucapannya,  “Jika seorang pemimpin pergi, pemimpin lain akan bangkit.”

Buktinya, penggantinya sebagai Kepala Biro Politik Hamas adalah Yahya Al-Sinwar, yang dipilih dengan suara bulat oleh seluruh pimpinan Hamas, Selasa malam, 6 Agustus 2024.

Imaam Yakhsyallah Mansur, Pembina Lembaga Kepalestinaan Aqsa Working Group (AWG) membuat pernyataan singkat dan tegas, ”Zionis menyesal dan rugi membunuh Ismail Haniyeh, karena penggantinya, Yahya Al-Sinwar pasti akan lebih menyulitkan Zionis.”

Baca Juga: Kepastian Kehancuran Negara Zionis Israel

Imaam Yakhsyallah Mansur menegaskan, benarlah firman Allah, yang menyatakan, yang artinya, “Mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya dan Allah pun membalas tipu daya (mereka). Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Surat Ali Imran ayat 54).

Media pun mengetahui, betapa Yahya Al-Sinwar dikenal sebagai pemimpin sekelompok kader keamanan dan pengawas aparat militer Brigade Izzuddin Al-Qassam, dan di mata petinggi Zionis Israel dianggap sebagai “musuh paling berbahaya dan paling ditakuti”.

Otoritas Israel menggambarkan Al-Sinwar sebagai orang yang keras kepala dan tidak bisa ditundukkan dengan negosiasi. Wajar, kalau Pemerintah Israel pun melihatnya sebagai komandan paling ekstremis, dibandingkan dengan para pemimpin Hamas lainnya.

Amerika Serikat pun memasukkan Al-Sinwar dan dua pemimpin Hamas lainnya ke dalam daftar tokoh teroris internasional. Dua tokoh lainnya adalah  Muhammad Al-Deif, panglima tertinggi Al-Qassam, dan Rawhi Mushtaha, anggota biro politik gerakan Hamas.

Baca Juga: Maulid Nabi dalam Perspektif Rumi dan Interaksionisme Simbolik

Di tengah penyelidikan syahidnya Ismail Haniyeh, Hamas tidak mau berlarut-larut dalam duka. Sepekan kemudian terpilihlah Yahya Al-Sinwar yang dianggap sebagai mujahid keras kepala dalam prinsip, tapi jujur ​​​​terhadap rakyatnya dan perjuangannya.

Sementara pemerintah Iran melalui Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran masih terus menyelidiki kasus terbunuhnya Ismail Haniyeh, di ibu kota Teheran.

IRGC pada awal temuannya mengumumkan, pembunuhan Haniyeh oleh rezim Zionis Israel dilakukan dengan menggunakan proyektil jarak dekat dengan hulu ledak. Demikian IRGC mengumumkan, Sabtu (3/8/2024), tiga hari setelah Haniyeh dibunuh di tempat menginapnya di Teheran utara, beberapa jam setelah menghadiri pelantikan presiden baru Iran, Masoud Pezeshkian.

Investigasi menunjukkan, operasi teroris tersebut dilakukan dengan menembakkan proyektil jarak dekat dengan hulu ledak sekitar 7 kilogram, yang menyebabkan ledakan kuat, kata pengumuman tersebut, Kantor Berita Iran, IRNA melaporkan.

Baca Juga: Setelah 42 Tahun Sabra Shatila, Energi Perlawanan Semakin Kuat

Penyelidikan intensif pun masih terus berlangsung. Bahkan pihak berwenang Iran sampai harus menangkap puluhan perwira intelijen senior dan pejabat militer negaranya. Beberapa sumber, staf pekerja di wisma tamu yang dikelola militer di Teheran, tempat Haniyeh terbunuh, juga ikut ditangkap. Al Arabiya melaporkan, Sabtu (3/8/2024).

Tentu saja, pembunuhan tamu resmi negara itu memberikan pukulan telak bagi aparat keamanan Iran, dan itu mengungkap kerentanan dan menunjukkan penyusupan intelijen asing, kata para pengamat.

Meskipun Israel belum mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan Haniyeh, dan pejabat AS mengatakan bahwa mereka tidak terlibat, intelejen internasional Israel (Mosad) diduga berada di balik pembunuhan itu.

Pribadi dan Peran Haniyeh

Baca Juga: Ini, Sejarah Maulid Nabi dan Daftar Negara Muslim yang Merayakannya

Sebelum kita mengetahui siapa dan bagaimana sepak terjang Yahya Al-Sinwar, kita terlebih dahulu perlu melihat ulang bagaimana pribadi dan peran Ismail Haniyeh dalam perjuangan Palestina, serta hubungan dekatnya dengan Yahya Al-Sinwar.

Beberapa saat setelah  syahidnya Ismail Haniyeh, Enas Haniyeh, menantunya, memberikan komentar mengharukan, tentang kepribadian almarhum.

“Engkau tidak pernah lelah dalam berjuang, dan kematian syahidmu yang terhormat, engkau telah mendapatkannya. Engkau telah bergabung dengan barisan syuhada, orang-orang yang jujur, dan orang-orang beriman dengan darah suci ini,” ujar Enas.

“Aku sangat berduka atas kematian ayahku, pamanku, kekasihku, ubun-ubun kepalaku, dan biji mataku. Ayah Abu Al-Abd Haniyeh. Engkau syuhada yang heroik, pemimpin yang agung dan terhormat. Air mata ini menetes, dan hati berduka, wahai Ayah kami,” lanjutnya lirih.

Baca Juga: Rabi’ul Awwal sebagai Bulan Maulid Nabi

Sementara itu, Sarah Haniyeh, puteri Ismail Haniyeh menulis di akunnya di situs X, “Punggungku telah patah, oh, telah pergi kekasih hati. Demi Allah, engkau tidak kenal lelah dalam berjuang. Engkau memintanya dan engkau mendapatkannya, syahid. Surga, sungguh tempat yang tepat untuk kematianmu, dan demi Allah engkau menyayangi yang tua sebelum yang muda, dan engkau adalah kekasih semua orang, Abi,” ungkapnya dalam duka.

Ya, dialah pemimpin perlawanan Palestina, dengan nama lengkap Ismail Abdul Salam Haniyyah atau ditulis Ismail Haniyah atau Ismail Haniyeh, lahir di kamp pengungsi  Al-Shati, Jalur Gaza, 8 Mei 1963.

Orang tuanya semula tinggal di Ashkelon, kemudian terusir dan tinggal di kamp pengungsi Al-Shati, dalam perang tahun 1948.

Masa sekolah tingkat dasar hingga menengah ia tempuh di sekolah kamp pengungsi yang dikelola PBB, UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East).

Baca Juga: Lima Cara Membangun Keluarga Islami yang Dirindukan Surga

Berikutnya, ia memperoleh gelar sarjana dalam Sastra Arab tahun 1987 dari Universitas Islam Gaza, bertepatan dengan saat pertama kali ia terlibat dengan Gerakan Perlawanan Islam (Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah atau disingkat Hamas).

Haniyeh yang hafidz Quran pun aktif dalam perlawanan menghadapi zionis Israel melalui aksi Intifadah Pertama. Zionis Israel pun menargetnya, dan menyebabkan ia dipenjara selama tiga periode singkat setelah berpartisipasi dalam protes.

Setelah dibebaskan pada tahun 1992, ia diasingkan ke Lebanon, kembali setahun kemudian untuk menjadi dekan di Universitas Islam Gaza. Lalu, Haniyeh ditunjuk untuk mengepalai Kantor Hamas di Jalur Gaza pada tahun 1997.

Kegigihannya dalam membela Palestina membuat Ismail Haniyeh muda mendapat posisi penting di jajaran petinggi Hamas. Hingga ia pun menjadi asisten pendiri Hamas, Syaikh Ahmed Yassin.

Baca Juga: Parenting ala Orangtua Palestina

Pada tahun 2001, Haniyeh ditetapkan sebagai Pemimpin Politik Hamas.

Dalam usia 44 tahun, tahun 2006 Haniyeh meraih kemenangan pemilihan legislatif Hamas atas gerakan Fatah. Ia pun sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Otoritas Palestina. Namun, belum sempat menjalankan pemerintahannya secara efektif, Ismail Haniyeh diberhentikan oleh Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tahun 2007.

Hal ini menjadi awal terbentuknya pemerintahan independen yang dipimpin Hamas di Jalur Gaza. Dia pun pindah dan menetap di Jalur Gaza, dengan tetap memegang komitmen bahwa perjuangannya tidak boleh mengubah konflik internal Palestina lebih luas. Ia hanya berfokus pada melawan pendudukan Zionis Israel.

Kemudian Zionis Israel memblokade Jalur Gaza dari darat, udara dan laut sejak tahun 2007, setelah Hamas memegang kendali penuh atas Jalur Gaza. Hingga tahun 2024 ini berarti Jalur Gaza telah menjadi penjara terbesar di dunia, denganm blokade penuh sepanjang 14 tahun. Namun demikian Jalur Gaza dan para pejuangnya tidak ada matinya.

Baca Juga: Lima Ciri Orang yang Diinginkan Kebaikan oleh Allah

Hingga kemudian tahun 2018, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menetapkan Ismail Haniyeh sebagai teroris, dengan tuduhan ia aktivitasnya dalam perlawanan bersenjata.

Namun demikian, Ismail Haniyeh tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk berjuang melalui Hamas dalam “membebaskan seluruh Palestina dari sungai ke laut”, seperti tercantum dalam deklarasi pendirian Hamas tahun 1987.

Kedekatannya dengan Yahya Al-Sinwar

Selain perjuangan bersenjata di lapangan, Ismail Haniyeh sejak menjabat sebagai Kepala Biro Politik Hamas  tahun 2017, dan terpilih kembali untuk masa jabatan kedua tahun 2021, berupaya melakukan rekonsiliasi dengan Gerakan Fatah dan faksi-faksi lainnya.

Baca Juga: Omong Doang: Janji Palsu yang Merusak Kepercayaan

Beberapa pertemuan rekonsiliasi pun ia ikuti atau ia kirim delegasi demi menjaga persatuan internal Palestina untuk kemerdekaan nasional Palestina. Mulai dari pertemuan di Gaza, Kairo, Makkah, Istanbul, Doha hingga terkini di Beijing.

Sejumlah 14 faksi Palestina pun sepakat memperkuat rekonsiliasi persatuan Palestina dengan menandatangani Deklarasi Beijing pada Selasa, 23 Juli 2024, di Beijing, China. Para pemimpin faksi terbesar Fatah dan Hamas dan lainnya bertemu dengan media menyampaikan hal itu, didampingi Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi.

Upacara dihadiri oleh perwakilan 14 faksi besar Palestina, serta utusan atau perwakilan dari mancanegara, yaitu: Mesir, Aljazair, Arab Saudi, Qatar, Yordania, Suriah, Lebanon, Rusia, dan Turkiye.

Adapun kedekatan Haniyeh dan Al-Sinwar terjalin sejak awal keduanya sama-sama aktif di barisan Hamas dalam kepemimpinan Syaikh Ahmad Yasin tahun 1990-an. (Hamas berdiri 1987).

Baca Juga: Pilkada 2024 Ajang Merajut Persaudaraan

Koordinasi keduanya secara organisasi semakin kuat ketika Ismail Haniyeh terpilih untuk kedua kalinya sebagai Ketua Hamas atau lebih dikenal Kepala Biro Politik Hamas secara aklamasi, untuk masa jabatan 2021-2025. Dalam waktu bersamaan Yahya Al-Sinwar juga terpilih sebagai Ketua Hamas di Gaza untuk masa kedua kalinya.

Haniyeh membawahi Ketua Hamas di tiga tempat, yaitu Gaza (Yahya Al-Sinwar), Tepi Barat (Saleh Al-Arouri) dan Luar Negeri (Khaled Meshaal).

Termasuk dalam Operasi Badai Al-Aqsa yang dimulai 7 Oktober 2023, kebijakan umum ada pada Ismail Haniyeh, sedangkan otak serangan ada pada Yahya Al-Sinwar. Keduanya tak terpisahkan.

Hamas dan Pembebasan Al-Aqsa

Tentu perjuangan Ismail Haniyeh, Yahya Al-Sinwar, dan para tokoh Hamas lainnya tak lepas dari perjuangan meraih kemerdekaan Palestina secara keseluruhan dan pembebasan Masjid Al-Aqsa sebagai tempat ibadah mutlak milik umat Islam.

Hamas singkatan dari Harakah al-Muqawwama al-Islamiyyah, artinya Gerakan Perlawanan Islam, dalam Piagam Pendiriannya oleh Syaikh Ahmad Yassin tahun 1987 menyebutkan adalah gerakan Islam Sunni dan nasionalisme  Palestina yang menentang pendudukan Zionis di wilayah Palestina.

Gerakan Hamas meyakini bahwa kebangkitan perlawanan adalah titik masuk utama untuk tujuannya, yakni “membebaskan seluruh Palestina dari sungai ke laut”.

Dalam mewujudkan aksi perlawanannya, Hamas membentuk sayap militer Brigade Izzuddin Al-Qassam tahun 1991. Brigade Al-Qassam telah melakukan berbagai serangan mematikan terhadap pendudukan Zionis Israel. Dua operasi terbesar adalah Operasi Pedang Al-Quds tahun 2021, dan Operasi Badai Al-Aqsa (sejak 7 Oktober 2023).

Dalam berbagai pernyataan tegasnya, Hamas menegaskan bahwa Masjid Al-Aqsa adalah garis merah (khathun ahmaru), dan setiap serangan terhadapnya akan menghadapi perlawanan heroik rakyat Palestina.

Dalam Operasi Badai Al-Aqsa Hamas dalam laporan berjudul “Naratif Kami Operasi Badai Al-Aqsa”, menyatakan Operasi Badai Al-Aqsa merupakan langkah yang diperlukan dan reaksi alami terhadap rencana pendudukan Zionis Israel untuk menghapus isu Palestina, merebut keseluruhan tanah Palestina, meyahudikan tanah Palestina, dan mendirikan kendali penuh atas Masjid Al-Aqsa dan situs suci.

Dalam mengawal penjagaan terhadap Masjid Al-Aqsa, Hamas pun memperkuat gerakan perlawanan bahkan bersenjata di Tepi Barat yang diduduki Zionis Israel.

Menurut Rami Khouri, peneliti terkemuka di American University of Beirut, posisi perlawanan yang menguat di Tepi Barat akhir-akhir ini mengkhawatirkan militer Israel akan adanya front baru dalam perang di Gaza.

Karena itu, ujarnya, serangan militer Zionis ke Tepi Barat, yang memecah serangan ke Gaza, merupakan konfirmasi bahwa militer Israel bergerak untuk mencegah Tepi Barat yang diduduki meletus dalam konfrontasi melawan Israel di tengah perang di Gaza.

Belum lagi, aksi perlawanan bersenjata yang hampir sama oleh gerakan perlawanan Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan kelompok bersenjata yang lebih kecil di Irak dan Suriah, serta ancaman Iran, serta dukungan kuat Qatar dan Turkiye.

Masa Depan Perjuangan Palestina

Kalau ditanya masa depan perjuangan Palestina, maka para pejuang perlawanan dan rakyat Palestina akan menjawab dengan kalimat yang senada, “optimis menang dengan tekad yang kuat”.

Tentang optimisme perjuangan Palestina, disebutkan oleh Dr. Mahmoud Samir Al-Rantisi, seorang peneliti Palestina yang berspesialisasi dalam urusan Turki, yang mengatakan bahwa sejarah telah membuktikan tekad yang kuat memainkan peran penting dalam jalan pembebasan masyarakat.

Sepanjang sejarah, masyarakat telah menyadari bahwa menyingkirkan penjajahan dan tirani memerlukan tekad yang kuat dan pantang menyerah untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan.

“Tidak ada kekuatan di dunia manapun yang dapat mengalahkan keinginan kuat masyarakat,” ujarnya, seperti dilansir TRT Araby, 5 Februari 2024.

Rumusan ini telah diucapkan oleh banyak pemikir, filosof, dan aktivis sepanjang sejarah, dan dari wilayah geografis yang berbeda, seperti Jacques Rousseau, Martin Luther King, Mahatma Gandhi, dan lainnya.

Termasuk di tingkat Palestina, Dr. Mahmoud Samir Al-Rantisi  mengutip pernyataan Mufti Palestina terdahulu, Syaikh Amin al-Husseini yang menegaskan, “Al-Quds adalah ibu kota abadi Palestina dan akan tetap demikian selamanya. Membebaskan Palestina adalah hak sah dan kewajiban nasional kami, dan janji yang kami buat pada diri kami sendiri untuk tidak meninggalkan Palestina, dan rakyat Palestina tidak akan menyerah dan tidak akan menerima ketidakadilan dan kezaliman.”

Pernyataan Syaikh Al-Husseini dan para pemimpin proyek pembebasan Palestina lainnya mampu memotivasi generasi muda untuk bergabung dalam perlawanan menghadapi pendudukan, dan untuk terus mengobarkan semangat rakyat Palestina hingga mereka bisa menentukan nasib sendiri.

Demikian pula tekad Syaikh Ahmed Yassin, pendiri gerakan Hamas, yang mengatakan bahwa jalan pembebasan Palestina memang sulit dan membutuhkan pengorbanan dan kesabaran, namun masa depan adalah milik rakyat Palestina.

Pidatonya yang terkenal bergema di telinga para pejuang perlawanan di Palestina, “Jalan kita memang sulit, tapi yang paling penting kemauan dan tekad kita tidak pernah patah.”

Apalagi situasi global saat ini mengarah pada perlawanan global atau Intifadhah Internasional melawan kejahatan zionis Israel. Hal ini antara lain ditandai dengan aksi-aksi solidaritas Palestina lintas generasi, profesi, organisasi dan agama di kota-kota besar di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin.

Situasi diplomatik dalam sidang-sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun demikian, telah memojokkan Israel dan Amerika Serikat tanpa kawan dalam voting gencatan senjata misalnya. Belum lagi semakin banyak negara-negara yang mulai mengakui secara de facto keberadaan Negara Palestina.

Walhasil, masa depan perjuangan kemerdekaan Palestina dan pembebasan Al-Aqsa akan tetap optimis, sesuai juga dengan janji Allah yang pasti terlaksana (wakaana wa’dam maf’uulaa), Surat Al-Isra ayat 5. Allahu Akbar, Al-Aqsa Haqquna! []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda