Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur, Pembina Aqsa Working Group (AWG)
Krisis di bumi Palestina akibat penjajahan dan pendudukan Zionis Israel di bumi Timur Tengah sudah terjadi sejak puluhan tahun silam, tepatnya ketika Deklarasi Balfour (1917) diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial Inggris. Sejak itulah, gelombang imigran yang mengklaim dirinya Zionis Yahudi melakukan eksodus ke bumi Palestina.
Sejak keberadaan Zionis Yahudi di bumi Palestina, mereka merampas, mengusir dan membunuh ratusan ribu, bahkan jutaan warga Palestina. Kaum Zionis Yahudi mengklaim secara sepihak bahwa bumi Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Meskipun hingga hari ini, mereka tidak bisa memberikan bukti-bukti ilmiah tentang klaim tersebut.
Penderitaan rakyat Palestina semakin memuncak setelah Zionis Israel mendeklarasikan lahirnya negara haram Zionis Israel di atas tanah milik Palestina pada 1948. Gelombang pembantaian, pengusiran dan pembunuhan semakin massif dilakukan Zionis Israel sehingga membuat sedikitnya 800 ribu rakyat Palestina harus keluar dari negerinya. Tragedi itu kemudian dikenal dengan “Nakbah.”
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Menghadapi krisis itu, rakyat Palestina berjuang membela dan mempertahankan tanah airnya dengan berbagai cara. Mulai dari perlawanan bersenjata, hingga menjalankan diplomasi di meja perundingan. Dalam perjuangan diplomasi, mereka mempercayakan United Nations (PBB) sebagai lembaga internasional yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis tersebut.
Negara-negara Arab juga telah membantu Palestina. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatan mereka dalam beberapa kali peperangan dengan Zionis Israel. Namun, Zionis Israel unggul karena bantuan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, ditambah dengan perpecahan internal para pemimpin Arab sehingga mereka menderita kekalahan. Maka, mereka kemudian menyerahkan urusan Palestina kepada PBB.
PBB adalah lembaga internasional kumpulan dari negara-negara di seluruh dunia. Sebagaimana dalam deklarasinya, fungsi utama lembaga itu adalah memelihara perdamaian dunia, menjadi mediator dan diplomasi serta mengembangkan hubungan internasional antar negara.
Namun, dalam penyelesaian krisis di Palestina, lembaga tersebut selalu “mandul,” tidak mampu melakukan tugas dan fungsinya, jika sudah berhadapan dengan Zionis Israel. Melihat realita tersebut, muncul pertanyaan, “Mungkinkah perjuangan Palestina di forum PBB akan membuahkan hasil?”
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Resolusi 181
Resolusi pertama PBB mengenai Palestina adalah Resolusi 181, yang dikeluarkan pada 29 November 1947. Resolusi tersebut mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua wilayah, yakni wilayah untuk Arab Palestina dan Yahudi, dengan Yerusalem sebagai entitas terpisah di bawah pengawasan internasional.
Resolusi ini dibuat oleh Komite Khusus PBB untuk Palestina (UNSCOP), yang terdiri dari anggota dari 11 negara. Negara-negara tersebut adalah Australia, Kanada, Cekoslowakia, Guatemala, India, Iran, Belanda, Peru, Swedia, Uruguay dan Yugoslavia.
Usulan dalam resolusi tersebut sangat merugikan rakyat Palestina. Bagaimana mungkin pihak yang datang secara ilegal, merampas, mengusir dan membunuh penduduk asli, kemudian diberi bagian tanah dan diminta hidup berdampingan dengan pemilik sah tanah tersebut.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Resolusi 242 dan 338
Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 242 yang menyerukan penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki dan pengakuan hak semua negara di kawasan tersebut untuk hidup damai. Namun resolusi tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh Zionis Israel.
Sementara Resolusi 338 diadopsi setelah Perang Yom Kippur pada tahun 1973, menegaskan kembali prinsip-prinsip Resolusi 242 dan menyerukan gencatan senjata segera, ketika negara-negaraArab berada di ambang kemenangan dan Zionis Israel sudah hampir kalah.
Sejak 1967 hingga saat ini, Dewan Keamanan (DK) PBB telah mengadopsi lebih dari 130 resolusi yang berhubungan dengan Palestina. Salah satu resolusi terbaru yang diadopsi pada September 2024 menyerukan agar Israel mengakhiri pendudukannya di wilayah Palestina dalam waktu satu tahun.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Resolusi tersebut juga kembali tidak dipatuhi Zionis Israel. Mereka terus saja menduduki wilayah Palestina, bahkan melakukan aksi genosida di Gaza dan melancarkan agresi brutal ke wilayah-wilayah Lebanon yang menyebabkan ribuan orang gugur, sementara puluhan ribu lainnya luka-luka.
Di sisi lain, PBB memberikan bantuan kemanusiaan melalui berbagai badan seperti UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). UNRWA menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan darurat bagi pengungsi Palestina. Badan-badan PBB lainnya, seperti UNICEF dan WHO, juga aktif dalam memberikan bantuan di wilayah konflik, termasuk di Palestina.
Peran PBB dalam Pembentukan Negara Zionis Israel
PBB memainkan peran penting dalam pembentukan negara Israel. Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang membagi Palestina menjadi dua wilayah, satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab Palestina. Hal itu menjadi dasar bagi deklarasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948.
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Dalam perjalanannya, PBB selalu menyokong kepentingan dan melindungi keberadaan Zionis Israel di tanah Palestina. Meskipun ada banyak resolusi PBB yang mengkritik tindakan Israel, implementasinya sering kali tidak terlaksana.
Salah satu contohnya, resolusi PBB no. 2334 yang terbit pada 23 Desember 2016 yang menyerukan penghentian pembangunan permukiman Israel di wilayah Palestina. Hingga saat ini, hal itu tidak diimplementasikan. Bahkan, permukiman ilegal terus dibangun dengan merampas tanah milik rakyat Palestina.
Amerika Serikat (AS) sebagai pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB selalu mendukung kepentingan Israel. Tidak peduli salah dan benar, AS selalu menjadi pendukung setia negara penjajah itu dalam setiap pertemuan-pertemuan di forum PBB.
Setiap resolusi yang mengganggu kepentingan Zionis Israel selalu diveto oleh AS sehingga secara otomatis keputusannya tidak bisa dijalankan. Model inilah yang dikritik oleh Pemimpin Turkiye Recep Tayib Erdogan dan para pemimpin dunia lainnya, karena diskriminatif dan tidak mewaliki kepentingan internasional, terutama Dunia Islam.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram
Tidak bisa dipungkiri, lobi Yahudi di AS memang sangat kuat karena mereka menguasai sektor-sektor vital negara itu, mulai dari ekonomi hingga militer. Berbagai kebijakan, baik dalam negeri, apalagi luar negerinya pasti digunakan untuk mendukung kepentingan Zionis. Bahkan Pemimpin tertinggi negeri itu tidak akan bisa naik, kecuali atas “restu” Yahudi.
Maka, jika melihat kondisi di atas, perjuangan Palestina di PBB untuk mendapatkan kemerdekaan, rasanya akan menemui banyak hambatan dan sulit mencapai hasil yang diharapkan.
Indonesia Keluar dari PBB
Dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Baca Juga: Perlindungan terhadap Jurnalis di Gaza
Dari kalimat di atas dapat dipahami bahwa negeri manapun yang masih berada dalam penjajahan dan penindasan oleh pihak lain harus dibela dan dibebaskan hingga mendapatkan kemerdekaan dan kebebasannya. Maka, siapapun pemimpin negeri ini, mereka senantiasa menjalankan mandat dalam UUD 1945 tersebut.
Presiden pertama RI, Bung Karno pernah menyatakan ketegasannya terhadap PBB. Di bawah kepemimpinannya, pada 1965, Indonesia keluar dari lembaga itu. Selain karena konflik dengan Malaysia, alasan Ir. Soekarno adalah karena PBB selalu menyokong kepentingan Zionis Israel dan mengabaikan hak-hak bangsa Palestina.
Tidak hanya itu, Presiden Soekarno juga membuat gerakan non-Blok, menginisiasi Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan upaya-upaya lainnya demi menggalang dukungan internasional untuk perjuangan Palestina. Setelah era pemerintahan Ir. Soekarno, hingga saat ini, dukungan RI kepada Palestina terus dilakukan.
Pada 19 Oktober 1989 Indonesia secara resmi membukan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. Setelah adanya hubungan diplomatik itu, Indonesia dapat memberikan bantuan kemanusiaan berupa bantuan medis, pangan, dan keuangan untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Palestina.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Indonesia juga telah memberikan pelatihan kepada lebih dari 2.000 warga Palestina untuk mempersiapkan mereka dalam membangun negara yang merdeka. Berbagai beasiswa juga diberikan kepada mahasiswa Palestina agar mereka bisa mengembangkan SDM dan SDAnya di kemudian hari.
Untuk menunjukkan dukungannya kepada Palestina, delegasi Indonesia bersama negara-negara lain melakukan aksi walk out ketika pemimpin Zionis Israel Benyamin Netanyahu di Sidang Umum PBB pada 27 September 2024 lalu. Hal itu sebagai bentuk protes agresi Zionis Israel ke Gaza dan Lebanon.
OKI Sebuah Harapan
Perjuangan Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan bukan hal yang mudah. Diperlukan konsistensi, determinasi dan dukungan masyarakat internasional untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
Baca Juga: Bukan Sekadar Pencari Nafkah: Inilah Peran Besar Ayah dalam Islam yang Sering Terlupakan!
Perjuangan Palestina di forum PBB sulit diharapkan keberhasilannya, kecuali jika hak veto dihilangkan, karena memang sudah tidak lagi relevan dalam mengatasi krisis global. Namun demikian, lembaga tersebut tetap memiliki peran dalam upaya menggalang dukungan internasional dan pengembangan kerjasama diplomasi.
Umat Islam sesungguhnya menaruh harapan besar kepada negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Pendirian organisasi tersebut memang pada awalnya dimaksudkan untuk pembelaan terhadap Masjidil Aqsa yang dibakar oleh seorang ekstremis Zionis, Dennis Michael Rohan.
OKI didirikan dengan tujuan untuk memperkuat solidaritas Islam, mengoordinasikan kerja sama antar negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam dan mendukung perjuangan Palestina.
OKI sebenarnya memiliki kapasitas untuk membela Palestina jika para pemimpinnya bersatu, bebas dari kepentingan pribadi (self interest), serta terbebas dari segala bentuk intervensi pihak asing. []
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Mi’raj News Agency (MINA)