Setiap bulan pada tanggal 25, puluhan wanita berkumpul di Partab Park, di Srinagar, ibu kota musim panas Kashmir yang dikelola India. Mereka adalah keluarga dari korban penghilangan paksa.
Mereka berkumpul dan memegang plakat di tangannya yang bertuliskan tuntutan sekaligus pertanyaan yang sudah lama tertulis, “Di mana orang terkasih?” Sejauh ini, pertanyaan mereka belum dijawab oleh negara India.
Namun, mereka terus melakukan protes tanpa sedikit pun menyerah.
Mereka telah mengadakan demonstrasi duduk selama 24 tahun terakhir setelah mereka berkumpul untuk membentuk Asosiasi Orangtua Orang Hilang (APDP) pada tahun 1994.
Baca Juga: Yordania Siap Daratkan Pesawat Bantuan Kemanusiaan di Gaza Selatan
Pemimpin APDP adalah Parveena Ahanger, seorang wanita berusia 50 tahun. Ia mengumpulkan keluarga korban penghilangan paksa setiap bulan. Anaknya diculik oleh Angkatan Darat India pada tahun 1990.
“Mereka membawa anak saya menjauh dari saya,” keluhnya. “Saya hanya bertanya kepada mereka di mana mereka menyembunyikannya.”
Parveena Ahanager sekarang adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang terkenal di Kashmir. Dia dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2015 dan telah dianugerahi banyak penghargaan lainnya selama ini. Baru-baru ini dia dianugerahi penghargaan Rafto Prize 2017 dari Norwegia untuk kampanye hak asasi manusia yang ekstensif.
Meski mendapat penghargaan, perjuangannya penuh dengan banyak bahaya.
Baca Juga: Argentina Jadi Negara Pertama yang Tarik Pasukannya dari UNIFIL
Rasa sakit seorang ibu
Javid Ahmed Ahanager adalah murid kelas 11 saat dia diculik oleh Angkatan Darat India. Dia dibawa dari rumahnya di Batamallo, Srinagar.
“Setelah saya mengetahui tentang penculikannya, saya pikir dia akan segera dibebaskan dan kembali ke rumah,” kata ibunya, Parveena. “Tapi sejak itu saya sudah menunggu, sekarang penantian saya sudah memasuki tahun ke-27.”
Baca Juga: Inggris Tunda Penangguhan Ekspor Suku Cadang F-35 ke Israel
Parveena mengajukan pengaduan “orang hilang” ke kantor polisi setempat sesaat setelah anaknya menghilang. Petugas meyakinkannya bahwa mereka (orang yang menangkapnya) akan segera membebaskannya. Namun setelah sembilan hari, polisi mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak berdaya untuk melakukan apa pun.
Kemudian Parveena mulai melakukan demonstrasi di depan kantor polisi yang memaksa Inspektur Senior saat itu untuk mencatatnya. Inspektur akhirnya memberitahunya bahwa mereka telah melacak anaknya.
“Dia mengatakan kepada saya bahwa anak saya berada di Rumah Sakit Kanton BB, sebuah rumah sakit yang dikelola oleh Angkatan Darat India di Srinagar, dia meminta saya untuk pergi ke sana dan menemuinya, dia memberi saya izin masuk ke rumah sakit,” kenangnya.
Saat sampai di rumah sakit, petugas militer menunjukkan seorang asing kepada Parveena, seseorang yang bukan anaknya.
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Bosan dengan “kebohongan” polisi tersebut, Parveena mengajukan sebuah kasus yang melawan tentara di Pengadilan Tinggi Jammu Kashmir pada 1991. Ia menuntut untuk diberitahu keberadaan anaknya.
Pengadilan membentuk sebuah komisi investigasi yang kemudian menemukan bahwa tentara telah membawa anaknya, tapi sekarang tidak tahu di mana dia berada.
Terkejut tapi tidak kalah, Parveena mengajukan petisi lain ke pengadilan. Kali ini, pengadilan mengambil waktu lima tahun untuk memeriksa keluhan tersebut. Akhirnya kasus tersebut dikirim ke Kementerian Dalam Negeri di New Delhi untuk mendapatkan sanksi. Tapi sejak saat itu, kasus tersebut tak pernah disekesaikan..
“Inilah saat saya kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan India. Mereka semua berbohong,” kata Parveena.
Baca Juga: DK PBB Berikan Suara untuk Rancangan Resolusi Gencatan Genjata Gaza
Selain berjuang dalam pertempuran hukum, dia juga memulai mencari anaknya sendiri. Dia mengunjungi kamp tentara India, bertemu dengan perwakilan pemerintah daerah dan anggota parlemen India, meminta bantuan mereka untuk melacak anaknya.
“Tapi tidak ada hasilnya, mereka meyakinkan saya bahwa mereka akan menemukan anak saya, tapi mereka tidak melakukan apapun,” katanya.
Baca Juga: 20 Staf Gedung Putih: Biden Gagal Atasi Gaza
Sebuah perjuangan bersama
Selama kunjungan ke kamp-kamp tentara, pusat penyiksaan dan kantor pejabat pemerintah, dia bertemu dengan orang-orang lain yang mengalami nasib yang sama. Dia mendengar cerita tak berujung tentang anak laki-laki, suami dan ayah yang telah diculik dan “tanpa sadar hilang”.
Selama kunjungan-kunjungannya itu ia berpikir, jika para keluarga korban berjuang bersama, tentu hasilnya akan berbeda.
Mulailah Parveena mengunjungi distrik lembah Kashmir yang jauh, tempat ratusan orang dilaporkan “hilang”. Dia bertemu dengan anggota keluarga korban dan mulai mencatat nama mereka dan nama korbannya. Dia mulai mengumpulkan pengakuan saksi. Dia juga mulai mengumpulkan potongan koran laporan tentang penghilangan paksa.
Baca Juga: Komunitas Arab di Inggris Desak PM Keir Starmer Hentikan Genosida di Gaza
Setelah menempuh perjalanan sepanjang tahun yang melelahkan melintasi Kashmir, Parveena mengumpulkan sekitar lima puluh orang yang anggota keluarganya “hilang”.
Para keluarga kemudian bertemu di kediaman Parveena dan mendiskusikannya, kemudian melakukan sebuah prosesi di gerbang Pengadilan Tinggi atau duduk di pinggir jalan sambil memegang foto anak-anaknya, menuntut untuk mengetahui di mana keluarga mereka “yang hilang” berada.
Pada tahun 1994, mereka membentuk APDP dan mulai mengadakan demonstrasi duduk di depan gerbang Pengadilan Tinggi Jammu dan Kashmir.
Kekerasan polisi
Baca Juga: Di KTT G20 Brasil, Erdogan Tegaskan Pentingnya Gencatan Senjata di Gaza
Begitu negara mulai memperhatikan demonstrasi mereka, petugas keamanan membungkam mereka dengan kekerasan. Polisi setempat datang dan memukuli mereka. Polisi bahkan menyeret mereka dari pintu gerbang pengadilan dan memasukkan mereka ke penjara.
“Tapi kami tidak terhalangi. Kami terus merangkai dan memprotes,” kata Parveena.
Mereka lalu beraksi di jalanan Srinagar, tapi dikejar lagi.
Kini, semakin banyak keluarga yang bergabung dengan APDP, mencari keberadaan putra, suami dan ayah mereka. Seiring bertambahnya jumlah keluarga, Parveena memutuskan untuk mengadakan demonstrasi di taman umum setempat untuk mendapatkan perhatian media.
Baca Juga: AS Sanksi Organisasi dan Perusahaan Israel Pendukung Kolonialisme
Mereka akan berkumpul di SMC Park pada tanggal 25 setiap bulannya. Kemudian, karena serangan brutal oleh petugas keamanan negara, mereka mengubah tempat tersebut menjadi Partab Park, di jantung kota.
Dalam usahanya memperjuangkan keadilan bagi anak laki-lakinya dan korban lainnya di Kashmir, Parveena pada mulanya sendirian. Keluarganya menolak mendukungnya.
Kerabatnya dulu menyuruh ia berhenti, mereka takut ia terbunuh. Tiga anaknya yang kecil terpengaruh oleh ketidakhadiran ibunya di rumah. Suaminya berkali-kali mengatakan kepadanya untuk fokus di rumah menjalani kehidupan rumah tangga. Namun, Parveena mengatakan bahwa kehilangan anaknya tidak mengizinkannya duduk di rumah.
“Saya menyuruh suami saya untuk menjalankan rumah dan saya akan mencari anak saya dan berjuang,” katanya.
Baca Juga: Turkiye Konfirmasi Tolak Akses Wilayah Udara untuk Presiden Israel
Ribuan orang “menghilang”
Penghilangan paksa hanya satu dalam daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia yang dituduhkan kepada negara bagian dan militer di Kashmir.
Setelah gerakan bersenjata pribumi untuk hak penentuan nasib sendiri pecah di Kashmir pada 1987, negara bagian India dituduh melakukan sebuah operasi penyiksaan, pemerkosaan massal, dan penghilangan paksa terhadap penduduk sipil.
Menurut berbagai sumber independen dan berbagai kelompok hak asasi manusia lokal dan internasional, setidaknya 8.000-10.000 orang Kashmir dikhawatirkan telah dikenai hukuman paksa oleh negara India.
Buried Evidence, sebuah laporan tahun 2009 yang diterbitkan oleh Pengadilan Rakyat Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan Keadilan di Kashmir yang dikelola India (IPTK), juga melaporkan jumlahnya menjadi “8.000 plus”.
Pemerintah Kashmir yang pro-India berturut-turut telah mengakui adanya penghilangan paksa. Namun, mereka dengan sengaja tidak mau mengungkapkan jumlah korban yang terkena dampak.
Namun, tidak pernah ada upaya untuk membiarkan undang-undang diberlakukan dan melakukan penyelidikan independen terhadap kasus tersebut. Dari tahun 1993, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan telah ditolak masuk ke lembah Kashmir oleh pemerintah India. Pemerintah India pun tidak mau menerima rekomendasi dari PBB.
Parveena Ahanager melihat tidak ada harapan untuk mendapatkan keadilan dalam waktu dekat, tapi dia akan terus berjuang. Dan dia akan terus menunggu anaknya. (A/RI-1/RS1)
Sumber: tulisan Nayeem Rather di The New Arab. Penulis adalah seorang jurnalis lepas yang tinggal di Srinagar, Kashmir.
Mi’raj News Agency (MINA)