Catatan dakwah Imaam Yakhsyallah Mansur di Papua
Suara azan Subuh menggema di sebuah sudut kota kecil di Papua. Gemuruh takbir bersahut-sahutan memecah gelapnya malam beriring fajar shadiq merah merona menyingsing menyusuri setiap jengkal angkasa Papua. Sayup-sayup terdengar derap langkah para penduduk berduyun-duyun menuju masjid yang mulai ramai dengan suara dzikir para jamaahnya.
Di antara mereka ada yang berjalan bergandengan tangan bersama istri dan anak-anaknya, ada pula yang mendayung sepeda menantang dinginnya udara, ada juga yang berkendara, tampak dari sinar lampu kendaraannya menembus sisa-sisa kabut malam. Di tengah perjalanan, mereka saling bertegur sapa, mengucap salam menebarkan doa keselamatan dan keberkahan dengan ucapan “Assalamu alaikum warah matullahi wabarakatuh”.
Begitulah sepenggal kisah suasana Masjid Al-Jihad yang terletak di pinggiran kota Jayapura, Ibu kota Provinsi Papua. Berbicara tentang Papua, tentu kita akan membayangkan sebuah hamparan pulau nan indah mempesona, berhias hijaunya hutan tropis yang luas, dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, berikut hasil tambang yang terus dieksplorasi seolah tiada habisnya.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Tubuh yang tegap dan kuat, kulit hitam dengan bola mata yang berbinar-binar dikelilingi bulu mata yang lentik, rambut keriting dengan sunggingan senyum yang manis dihiasi deretan gigi yang rapi dan putih bersih. Begitulah ciri khas warga asli Papua yang berintegrasi dengan Indonesia pada 10 September 1969 lalu.
Kata Papua mungkin berasal dari bahasa Melayu, yaitu pua-pua yang berarti keriting. Istilah itu dipakai oleh William Mardsen tahun 1812, dan terdapat dalam salah satu kamus bahasa Melayu-Belanda ditulis oleh Von der Wall tahun 1880, dengan kata ‘Papoewah’ yang berarti orang yang berambut keriting.
Provinsi Papua (dulu bernama Irian Jaya) ditetapkan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang nomor 12 tahun 1969 sebagai provinsi ke-26 dari beberapa provinsi di Indonesia. Hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang disahkan oleh PBB.
Hadirnya para pendatang Muslim dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia ke bumi Papua memang telah menorehkan warna tersendiri bagi perkembangan dakwah Islam, sekaligus geliat ekonomi provinsi itu. Tidak bisa dipungkiri, roda ekonomi masyarakat sangat terbantu dengan kehadiran mereka.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Kehadiran para pendatang, khususnya pandakwah seolah menjadi obat tersendiri dari kegalauan dan kegelisahan penduduk pribumi yang haus akan ilmu agama, sosial sekaligus ekonomi. Dengan bekal ilmu syariat yang mereka pelajari di bangku pondok pesantren dan kuliah, mereka dengan sukarela mengabdi kepada masyarakat, membangun desa bersama warganya.
Tidak hanya mengajarkan ilimu syariat tentang hubungan manusia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi para pendakwah juga menjadi suri tauladan sekaligus pemimpin bagi warga setempat bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat, membangun desa, tidak hanya bangunan dan infrastrukturnya, tapi juga membangun keharmonisan, kerja sama antar warga sehingga tercipta suasana yang nyaman, tenteram, asri dan damai.
Di Provinsi Papua sendiri, tercatat sudah ada sebanyak 900-an masjid yang tersebar di berbagai penjuru dan pelosok desa. Dengan hadirnya Islam di tengah-tengah masyarakat, mereka bisa mengerti bagaimana cara bersuci, berpakaian dengan rapi, santun dan menutup aurat, berkhitan, menikah dengan segenap pedoman akan hak dan kewajiban, hingga berkontribusi dalam membangun negeri tercinta, Indonesia.
Sebagian hasil dari dakwah di bumi Papua itu, sudah banyak putra-putri Papua yang dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah ada 29 orang yang menggondol gelar S-2.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Adalah Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN) yang dikomandani seorang pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan. Ada juga yayasan pendidikan Islam yang sudah satu abad berkiprah di dunia pendidikan yaitu Yayasan Pandidikan Islam (YAPIS).
YAPIS mendirikan lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA di Merauke, Biak, Fakfak, Kaimana, Jayawijaya, Manokwari dan wilayah lain. Sistem pendidikan di YAPIS menggunakan sistem pendidikan nasional dengan memakai kurikulum nasional ditambah mata pelajaran khas YAPIS, yaitu materi pelajaran Agama Islam dan keyapisan.
Di Kota Jayapura, YAPIS memiliki 5 PAUD, 9 SD, 3 SMP, 2 SMA, dan 1 perguruan tinggi (Universitas YAPIS). Meski berstatus sebagai Yayasan Pendidikan Islam, YAPIS tidak hanya menerima siswa dan mahasiswa yang beragama Islam saja. Banyak siswa dan mahasiswa YAPIS yang beragama Kristen dan Katolik.
Dakwah di Papua memang istimewa. Tantangan alam begitu berat. Kultur dan kebiasaan masyarakat pun tak mudah ditaklukkan. Biayanya tinggi. Belum lagi harus berpacu dengan misionaris, yang selama ini sukses mencitrakan Papua identik dengan Kristen. (A/R4/P2)
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Mi’raj News Agency (MINA)