Oleh: Asoc. Prof. Dr. Abdurrahman Haqqi, Dosen di Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISA) Brunei Darussalam asal Bogor Indonesia
Ada satu kisah dalam Al-Quran yang wajib kita imani. Ia kisah tentang seorang nabi dan rasul yaitu Nabi Ayyub AS yang dikisahkan mengidap penyakit aneh luar biasa kerena ulah perbuatan syaitan. Mari kita baca ayatnya yang artinya:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. (Surah Sad ayat 40-41)
Seandainya Allah menghendaki baginda pasti sembuh tidak usah ada perintah ‘hatamkanlah’ tetapi karena Allah ingin mengajarkan tawakal dengan ikhtiyar melakukan sesuatu maka diperintahkanlah ‘hantamkanlah kakimu’.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Nabi Ayub sudah bertawakal sekian lama dalam menunjukkan kesabaran baginda sehingga baginda menjadi contoh tauladan untuk orang-orang sabar.
Haqqi (1997) menulis “Dalam Al-Quran banyak kita jumpai ayat yang menganjurkan kita bertawakal dan bahawa kekuasaan mutlak hanyalah milik Allah. Ini bermakna setiap manusia mestilah sentiasa bergantung kepada-Nya dan tunduk kepada ketentuan-Nya.”
Ibn Taimiyah (w. 728H) berkata: “Barang siapa yang mengharapkan kekuatannya atau amal perbuatannya atau ilmunya atau keadaan hatinya atau kepada temannya, kerabatnya, gurunya, miliknya, harta bendanya tanpa melihat kepada Allah, ia termasuk orang yang bertawakal kepada sebab. Tidak ada seorangpun yang mengharapkan kepada makhluk atau menyerahkan diri kepada makhluk kecuali sia-sialah apa yang diharapkannya.” (Majmu’ Fatawa, X/657)
Tawakal kepada Allah tidak bererti penyerahan diri secara pasif, tetapi harus disertai usaha dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-20] Tentang Istiqamah
Karena inti ajaran agama Islam terletak kepada dua perkara yang tak boleh dipisahkan, yaitu iyyaka na’budu atau hanya kepada-Mu kami menyembah dan iyyaka nasta’in atau hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Dengan menerjemahkan kedua-dua ajaran ini kebahagiaan dan kenikmatan duniawi dan ukhrawi akan kita capai.
Ibn Taimiyah juga menulis: “Apabila orang merasakan hakikat keikhlasan dalam beragama yang terkandung dalam
iyyaka na’budu dan merasakan hakikat tawakal yang terkandung dalam iyyaka nasta’in, maka tidak ada lagi baginya kenikmatan yang di atasnya.” (Majmu’ Fatawa, X/652)
Allah SWT berfirman maksudnya “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (Surah al-Talaq: 2-3)
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Ibn Katsir mengulas ayat ini “barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar pada setiap permasalahan hidup yang dihadapinya dan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, maksudnya dari arah yang tidak terbayangkan dalam benak fikirannya. Dan tawakal merupakan salah satu sebab yang mendatangkan manfaat dan menolak bala.”
Tawakal mengandung pengertian besar bahwa memasrahkan kepada Allah sebelum terjadi apa yang ditakdirkan Allah dan rida setelah terjadinya apa yang ditakdirkan-Nya.
Sebaliknya tawakal (توكل ) adalah tawakul (تواكل) yang berarti sikap meninggalkan tawakal.
Seorang hamba yang tidak menjadikan tawakal sebagai sikap hidupnya, maka berarti telah menodai tauhidnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Adapun seorang hamba yang tidak melakukan ikhtiar (usaha sebelum bertawakal) adalah kebodohan seperti dalam kisah seorang Badwi yang bertanya tentang untanya sehingga Nabi SAW mengarahkan ‘Ikat unta itu kemudian bertawakallah’. (HR al-Tirmizi)
Ikhtiar yang dilakukan seorang hamba adalah hal wajib walaupun kecil dan sederhana, sehingga Allah memberkahinya dan menjadikan usahanya itu sebagai hal yang bernilai positif.
Kita sememangnya memerlukan nilai agama sebagai kekuatan moral-spiritual dalam melawan COVID 19.
Kita mesti berikhtiyar untuk melakukan apa saja sebagaimana dilakukan pihak berkuasa dan jenteranya.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Kita mesti bertawakal agar sentiasa diberikan jalan oleh Allah dan jangan bertawakul dimana kita akan mendapat kebinasaan.
Wallahu a’lam.
(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu