Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perlunya Mitigasi Jangka Panjang Hadapi Perubahan Iklim

Rana Setiawan - Jumat, 9 April 2021 - 17:45 WIB

Jumat, 9 April 2021 - 17:45 WIB

8 Views

Jakarta, MINA – Profesor di bidang meteorologi dan klimatologi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prof. Edvin Aldrian, perlunya strategi pemulihan kehidupan masyarakat yang terdampak bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim yang telah nyata mengancam seluruh aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Dia juga mendesak mitigasi bencana dilakukan oleh semua pihak untuk menghadapi perubahan iklim yang berdampak terhadap kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu dan permukaan air laut.

Siklon tropis Seroja di NTT adalah bukti dampak perubahan iklim karena terjadi di area yang tidak semestinya. Siklon tropis seharusnya terjadi di daerah di atas 10 derajat lintang utara dan 10 derajat lintang selatan. Sementara, NTT terletak di garis 8 derajat lintang selatan,” jelas Prof Edvin dalam keterangan pers yang diterima MINA di Jakarta, Jumat (9/4).

Pernyataan Prof Edvin disampaikan menyikapi peristiwa bencana banjir dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terjadi pada Ahad (4/4) dini yang diakibatkan oleh badai Siklon Tropis Seroja mengakibatkan kerugian material dan nonmateril bagi masyarakat setempat.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Tebal Jumat Ini, Sebagian Hujan

Data BNPB mencatat, sedikitnya 128 orang meninggal, 8.424 warga mengungsi dan 2.683 warga terdampak.

Profesor riset meteorologi pertama di Indonesia itu juga menjelaskan, sebagai negara yang terletak di khatulistiwa, Indonesia cenderung tidak dilintasi oleh siklon.

Seperti halnya anomali siklon tropis Varney yang terjadi di Batam pada 2001 lalu, kejadian ini nyatanya tidak diikuti oleh bencana lanjutan karena sifat siklon yang akan menjauh dari daerah tropis. Namun, tetap saja kita harus menyiapkan kesiapsiagaan khusus terhadap fenomena anomali siklon tropis lainnya, mengingat Indonesia bukan termasuk jalur siklon.
Edvin menambahkan kemunculan siklon tropis Seroja juga tidak terlepas dari peningkatnya suhu di permukaan laut yang lebih hangat sebagai akibat dari pemanasan global.

“Heat Capacity yaitu kemampuan laut menyerap panas berkurang, sehingga tidak mampu meredam siklon yang sudah di atas ambang batas kapasitas. Di daerah tropis, heat capacity ada di batas 300 celcius,” ujarnya.

Baca Juga: Kemenag Kerahkan 50 Ribu Penyuluh Agama untuk Cegah Judi Online

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, maka manusia bisa mengurangi pemanasan bumi dari hal-hal yang bersumber dari diri mereka sendiri. Misalnya berhemat energi, mulai dari pemakaian transportasi, listrik dan energi lainnya.

“Energi hanya bisa berubah bentuk dan berpindah tempat saja. Maka manusia sebaiknya memakai energi sesuai kebutuhan, bukan berdasarkan keinginan,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Riset Ekonomi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Dr. Alin Halimatussadiah mengatakan, mitigasi bencana yang bersifat anomali akibat perubahan iklim, seperti yang terjadi di NTT, perlu dilakukan oleh semua pihak.

Terlebih NTT memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi di atas tingkat nasional. Artinya, jika terkena bencana, maka kondisi masyarakat di daerah tersebut akan semakin terpuruk.

Baca Juga: Indonesia Sesalkan Kegagalan DK PBB Adopsi Resolusi Gencatan Senjata di Gaza

“Dampak siklon tropis Seroja di NTT sangat berat karena bersifat katastropik. Masyarakat kehilangan rumah, ladang, ternak dan keluarga. Mereka membutuhan waktu pemulihan yang lama, terlebih perlindungan sosial yang sekarang tersedia belum cukup adaptif bagi mereka yang jatuh miskin akibat bencana,” tambahnya.

Untuk itu, lanjut dia, peristiwa anomali bencana seperti ini menjadi sebuah momentum perlunya perencanaan matang untuk mitigasi bencana baik yang bisa diprediksi sebelumnya maupun tidak.

“Salah satunya adalah memasukan mitigasi bencana ke dalam RPJMD masing-masing daerah, sehingga pemerintah minimal sudah memiliki upaya untuk memitigasi bencana,” jelasnya.

Lebih lanjut, mitigasi harus dipersepsikan sebagai sebuah investasi jangka panjang yang wajib dilakukan, sehingga pengeluaran anggaran akibat bencana di masa depan menjadi lebih rendah.

Baca Juga: Lomba Cerdas Cermat dan Pidato tentang Palestina Jadi Puncak Festival Baitul Maqdis Samarinda

Mitigasi yang dapat dilakukan antara lain dengan pembuatan spatial planning dan early warning system untuk mengurangi risiko kerugian yang lebih besar, baik aspek sosial maupun ekonomi yang mempengaruhi keseimbangan fiskal suatu daerah.

Sebuah studi yang sedang dilakukan LPEM FEB UI terkait infrastruktur tahan bencana dan perubahan iklim di Indonesia, diharapkan bisa menjadi salah satu rujukan gagasan dalam membuat rencana mitigasi jangka panjang terhadap bencana.

Saat ini, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur naik secara signifikan dari Rp154,6 triliun (USD 13 miliar) pada 2014 menjadi Rp394,1 triliun (USD 27,2 miliar) pada 2019, atau kurang lebih bertambah sebesar 254,9% (LPEM UI, 2021).

Dr. Alin menegaskan seiring dengan rencana progresif pemerintah untuk memperbaiki konektivitas antar wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing melalui pembangunan infrastruktur, perlu juga untuk merancang infrastruktur di masa depan yang bisa lebih tahan terhadap bencana terutama akibat perubahan iklim.(L/R1/P2)

Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Asia
Letusan Gunung Lewotobi Laki-laki NTT (foto: BNPB)
Indonesia
MINA Health
Indonesia
Asia