Oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America, Inc.
Ketika kita berada dalam suasana tertentu seringkali rasa sensitifitas manusia meninggi. Aksi dan reaksi terhadap sebuah isu seringkali tidak terkontrol. Termasuk tentunya ketika kita sedang berada dalam musim kampanye. Amerika Serikat dalam hal ini tidak terkecuali. Demikian pula rencana pemilihan Gubernur DKI Jakarta di tahun 2017 mendatang.
Pernyataan Ahok tentang Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu adalah satu bukti bahwa sikap itu menunjukkan “sensitifitas” yang tinggi. Diakui atau tidak kegerahan umat Islam atas berbagai sikap dan pernyataannya selama ini mulai disadari “mengancam” posisinya pada pemilihan yang akan datang.
Perasaan terancam inilah yang menjadikannya melontarkan ungkapan yang seharusnya sensitif karena menyangkut emosi orang banyak. Menyatakan bahwa umat Islam dibohongi oleh Kitab Sucinya adalah pernyataan konyol, angkuh, dan merendahkan.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Ada dua kemungkinan kenapa Ahok harus menyampaikan pernyataan seperti itu. Pertama, mungkin karena itu memang karakternya. Di mana dia selalu berbicara tanpa memikirkan sensitifitas orang lain. Kedua, apa yang dia sampaikan merupakan penggambaran apa yang ada dalam hatinya.
Dan sudah pasti keduanya adalah kepribadian yang sangat tidak pantas bagi seorang pemimpin publik. Seorang pemimpin publik harus sensitif dengan lingkungan sekitarnya. Dia tidak bisa menutup mata terhadap realita yang sensitif, termasuk isu agama. Dan kalau ternyata dalam hati Ahok ada kebencian kepada keyakinan rakyat mayoritas yang dipimpinnya maka ini juga sangat berbahaya.
SARA itu pasti. Setiap orang punya tendensi untuk memposisikan diri pada posisi kelompok terdekatnya. Artinya seorang etnis Bugis alaminya ingin melihat etnis Bugis berhasil. Atau dalam konteks pemilihan ingin melihat yang terpilih dari kalangan etnisnya. Itu sunnatullah, hukum alam yang tidak dapat dipungkiri.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Kelompok agama juga demikian. Di mana saja setiap orang ingin melihat kelompoknya berhasil. Betapa banyak umat Islam ingin melihat suatu hari seorang Muslim menjadi Walikota New York misalnya. Salahkah ini? Tidak sama sekali karena itulah yang disebut “solidaritas sosial” manusia.
Yang salah adalah keinginan kelompok kita menang itu menjadi dasar untuk membenci orang lain. Dalam Islam keinginan untuk kelompok kita berhasil itu tidak dilakukan dengan cara negatif. Misalnya dengan kebencian, menjelekkan, apalagi dengan kekerasan. Sebaliknya dilakukan dengan cara positif. Yaitu melalui “kompetisi sehat” untuk menampilkan calon dan program terbaiknya.
Oleh karenanya pernyataan Ahok itu di satu sisi salah. Tapi di sisi lain justeru memberikan ruang kepada umat ini untuk melakukan introspeksi. Kembali mempertanyakan di mana solidaritas sosial yang harusnya terbangun di atas asas “innamal mu’minuuna ikhwah”?
Isu Dewan Gereja New York
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Hampir dua tahun ini beredar tulisan atas nama saya jika Ahok dipersiapkan oleh Dewan Gereja Dunia untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia. Saya pun dibanjiri pertanyaan apakah itu tulisan saya?
Saya sudah mengklarifikasi minimal tiga kali bahwa tulisan yang beredar itu bukan tulisan saya. Tapi tulisan orang yang mengatasnamakan saya. Walaupun saya akui adanya sebagian dari tulisan saya, dan juga menjadi bagian dari substansi dari tulisan yang pernah saya tulis.
Pernyataan atau tepatnya harapan Ketua Dewan Gereja New York untuk Ahok menjadi pemimpin Indonesia itu benar adanya. Saya mendengar langsung dalam acara penganugerahan penghargaan kepada beberapa orang yang dianggap berjasa dalam dunia gereja.
Tapi salahkan pernyataan dan harapan itu? Tidak sama sekali. Itulah tendensi SARA yang menginginkan kelompoknya untuk berhasil. Yang justeru aneh adalah ketika pemimpin gereja menghendaki sebuah negara mayoritas Kristen dipimpin oleh seorang Muslim. Tentu sikap seperti ini layak dipertanyakan oleh khalayak ramai komunitasnya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Yang saya sayangkan dari beberapa pihak di tanah air adalah mengubah tulisan saya, mempoles dan menambah, lalu menyebarkan tanpa seizin dari saya. Saya menilai ini ketidakjujuran atas nama perjuangan. Bahkan saya melihatnya sebagai pengkhianatan intelektualitas.
Solidaritas sosial
Sekali lagi sara/">isu SARA itu alami. Karena setiap kelompok manusia memliki kecenderungan membela dan/atau memenangkan kelompoknya. Kisah Musa membela komunitasnya di Mesir dengan memukul seorang warga Mesir asli hingga meninggal satu dari contoh Al-Quran.
Kecenderungan membela kelompok dalam segala nuansanya, keagamaan termasuk di dalamnya, adalah wajar bahkan alami. Saya kira hanya kepura-puraan semata, bahkan kemunafikan, jika ada manusia yang tidak cenderung membela atau menginginkan yang terbaik bagi kelompoknya. Termasuk di dalamnya keinginan untuk kelompoknya menjadi pemimpin bagi keseluruhan manusia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Oleh karena itu, ketika mendengar pernyataan Ketua Dewan Gereja New York itu, saya tidak terkejut, apalagi marah. Karena sejatinya itu adalah hak mereka yang terbangun di atas dasar “solidaritas sosial”.
Justeru yang mengejutkan sekaligus saya pertanyakan adalah ketika ada orang Islam yang lebih cenderung memilih non Muslim di saat ada calon Muslim? Di mana letak solidaritas sosial keagamaannya? Atau dalam bahasa agama di mana letak sentimen “ukhuwah imaniyah” di hatinya?
Pernyataan yang sering kita dengarkan adalah pemimpin non Muslim yang adil lebih baik dari pemimpin Muslim yang tidak adil. Pernyataan ini sangat misleading dan berbahaya. Pertama karena seolah jika calon itu Muslim pasti tidak adil. Dan sebaliknya seolah kalau calon itu non Muslim pasti adil. Kedua seolah di negara ini tidak ada lagi calon Muslim yang baik. Sehingga rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu kehilangan kepercayaan kepada calon-calon dari kalangan mereka.
Oleh karenanya, menyikapi pernyataan Ahok dan menyambut pemilihan Gubernur DkI Jakarta umat harus kembali menyadari dua hal.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Satu, SARA dalam nuansa positifnya, yaitu membangun solidaritas di atas asas kelompok tidaklah salah. Yang salah kalau kecenderungan kepada kelompok itu diekspresikan dalam bentuk kebencian dan kekerasan. Oleh karenanya umat perlu kembali menghayati makna “ukhuwah” dan juga makna “wilayah” yang semuanya merupakan basis solidaritas keumatan kita.
Dalam hal ini saya hormati posisi saudara-saudara Kristiani saya untuk menaruh harapan, doa, bahkan membantu kelompoknya untuk menang. Itu kita lihat di berbagai daerah yang mayoritas Kristen, tentu wajar kalau yang berkuasa adalah orang yang beragama Kristiani.
Dua, Indonesia sudah sepakat mengadopsi demokrasi sebagai sistem kehidupan bermasyarakatnya, dan dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenya hanya ada satu pilihan dalam realita ini. Yaitu siap berkompetisi secara sehat dengan berbagai elemen atau kelompok masyarakat lainnya. Karenanya umat harus mampu mengedepankan yang terbaik bagi DKI, baik calon maupun program yang akan ditawarkan.
Pada akhirnya terlepas dari perbedaan penafsiran tentang ayat-ayat kepemimpinan dalam Al-Quran, tidak ada perbedaan penafsiran tentang “solidaritas sosial” kemanusiaan itu. Karena itu naluri alami manusia. Hanya manusia yang kebal rasa, atau kurang waras, yang tidak ingin kelompoknya berhasil atau menang. Termasuk di dalammnya keberhasilan atau kemenangan politik. Wallahu a’lam!
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
New York, 7 Oktober 2016
(R05/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat