PERPECAHAN DALAM ISLAM

Oleh Rifa Arifin, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Umat akan pecah menjadi beberapa golongan jauh sebelum itu sebenarnya sudah dinubuatkan baginda Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam. ini sudah bermula sejak masa sahabat. Fragmentasi kelompok berawal dari konflik politik. Di masa sahabat, gejolak politis mulai muncul dari kasus al-fitnah di masa Khalifah Utsman hingga Perang Jamal dan Perang Shiffin di masa Khalifah Ali.

Pembelahan politis itu kemudian merembet pelan-pelan ke akidah. Lahirlah kaum Khawarij, Murji’ah, lalu Mu’tazilah. Hingga muncul pula kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah, mazhab teologi yang hingga kini masih menjadi mayoritas. Asy’ariyah-Maturidiyah dalam perkembangannya menjadi teologi Ahlus Sunnah wal-Jama’ah (). Sementara Mu’tazilah terintegrasi dan melakukan perkawinan ideologis dengan . Selama beberapa abad, pembelahan sektarian di tubuh Islam diramaikan oleh dua sekte itu: Sunni dan Syiah.

Sunni adalah kelompok yang mayoritas. Tak kurang dari 85 % Muslim dunia adalah Sunni. Sebagai kelompok mayoritas, Sunni punya “kredo mayoritas” sebagai argumen kredonya. Dalilnya: nubuwah dalam hadis bahwa bila umat Islam nanti pecah, maka berpeganglah pada kelompok mayoritas. Hadis itu antara lain, “Alaikum bis-sawâd al-a’zham” (Berpeganglah pada golongan terbesar). Juga hadis, “Talzam jamâ’atal-muslimîn” (Engkau ikuti jamaah umat Islam). Hadis ini kemudian ditambahkan ke dalam label Ahlus Sunnah (wal-Jama’ah). Jamaah adalah perlambang golongan terbesar.

Hadis pendukung mayoritas lainnya adalah, “Inna ummatî la tajtami’ ‘ala dhalâlah” (umatku tak akan bersepakat dalam kesesatan). Hadis yang terakhir ini adalah dasar legalitas ijmak (kesepakatan ulama) dalam dasar-dasar fikih. Hadis ini menjadi semacam “jaminan” bagi mayoritas pasti benar—setidaknya menurut Sunni sendiri.

Lantas, apakah dengan demikian Syiah pasti salah karena ia minoritas. Kesimpulan simpel semacam ini bukan hal yang mudah diambil. Syiah tentu punya argumen sangkalan sendiri terhadap “pernyataan mayoritas” Sunni itu. Salah satunya: ada perbedaan mendasar dalam standar validasi hadis antara Sunni dan Syiah. Oleh karena itu, tak bisa dipungkiri “pernyataan mayoritas” adalah klaim relatif dari Sunni sendiri, bukan pernyataan mutlak.

Bagi saya, “pernyataan mayoritas” ini perlu disikapi dengan arif. Pertama, karena ia rentan diperalat untuk merepresi kelompok minoritas sehingga berubah jadi “tirani mayoritas”. Kedua, logika yang jernih berkesimpulan bahwa yang benar tidak ditentukan oleh jumlah pengikut!

Pada faktanya, di Sunni sendiri ada beraneka orientasi keagamaan, baik dalam perincian kredo, maupun hukum (fikih). Mazhab fikih yang diakui Sunni sebagai arus utama (mainstream) ada empat antara lain; Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Di luar mainstream ada mazhab Ja’fari, Zaidi, Zhahiri, dan Ibadhi. Total 8 mazhab ini diakui oleh Syaikh Wahbah dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islami”.

Di pihak lain, ada pula gerakan “pembaruan” (tajdîd). Gerakan ini juga kerap disebut “kebangkitan” (an-nahdhah). Penggeraknya adalah Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gerakan “tajdid” ini di satu sisi mengupayakan purifikasi (pemurnian), dan di sisi lain mengampanyekan rasionalisasi. Bagi ulama tradisional-konservatif, gerakan “tajdid” ini dianggap melawan ortodoksi. Gerakan tajdid itu dianggap “antek” rasionalisme ala Barat.

Pertentangan berbagai kelompok itu berkembang hingga kini. Saya ingin memfokuskan bahasan ini ke perpecahan di tubuh Sunni sendiri. Ada beberapa istilah yang kerap dipakai untuk mengklasifikasikan “friksi” dalam di tubuh Sunni saat ini.

Ada yang memakai istilah “ortodoksi” sebagai representasi arus utama. Namun istilah ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab bila kita menganggap Sunni-Asy’ari-Maturidi sebagai arus utama, maka ia masih “kurang” ortodoks di banding, misalnya, Salafi dan Taliban. Ini berlaku bila kita memaknai ortodoksi sebagai bentuk penafsiran literal dan copy-paste dari teks wahyu.

Ada pula yang memakai istilah “fundamentalis” dan “radikal” di satu sisi, dan “liberal” dan “progresif” di sisi lain. Istilah ini menurut saya mengandung masalah. Istilah fundamentalis itu berarti berakar pada pondasi. Bahasa Arabnya, “ushuliy”. Tentu saja setiap Muslim mesti mengacu pada pondasi agama, harus punya ushul, sekalipun ia Muslim-liberal. Sebab, jika sudah kehilangan ushul, maka bangunan kepercayaannya akan roboh, tak lagi disebut Islam. Maka setiap Muslim harus fundamentalis, terlepas dari perdebatan tentang apa itu isi “fundamen” itu.

Istilah “radikal” juga bermasalah. Radikal itu berasal dari kata “radict” yang berarti “akar”. Bahasa Arabnya, “judzûriy”. Ini sama dengan fundamentalis. Setiap Muslim tentunya harus radikal, terlepas dari perdebatan apa itu isi “radict”-nya, isi akarnya. Kecuali jika istilah “radikal” dimaknai secara politis, yakni perombakan sistem masyarakat sampai ke akar-akarnya. Di masa kini, yang paling layak disebut radikal adalah Hizbut Tahrir (HT). Sebab, HT ingin mengubah sistem sampai ke akar-akarnya, bahkan bergerak di luar sistem.

Sedang istilah “liberal” juga tak selamanya tepat. Sebab dalam Sunni-Asy’ari -Maturidi yang katakanlah merupakan arus utama, juga mengandung unsur-unsur liberal-progresif. Unsur-unsur itu terletak, antara lain, dalam kasus ketika fikih tak dilaksanakan secara saklek-harfiah sebab mempertimbangkan realitas-historis.

Pesan utama dari tulisan ini: menerapkan peristilahan politik dalam  tubuh umat Islam itu tak mudah. Betapa banyak pertikaian politik di kalangan umat Islam ini yang semakin hari meruncing, maka harus ada kelompok moderat yang memiliki insiatif untuk mengadakan dialog efektif tersebut. Yang penting, pakailah dengan hati-hati, sebab ia rentan menjerumuskan ke jebakan yang overgeneral. (T/P013/R02)

Sumber : 

Al-Milal Wa Al-Nihal, j.1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah) Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Al-Syahrastani.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0