Perpustakaan Jendela Peradaban

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Pembina Tahfidzul Quran, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Pakar sosiologi, peletak dasar filsafat sejarah dan perintis ilmu ekonomi, Ibnu Khaldun (1332-1406 M) mengatakan, adalah jendela .

Ibnu Khaldun, tokoh penting dalam peradaban Islam abad ke-14, yang juga penggagas teori politik Islam kelahiran Tunis, penyusun kitab Muqaddimah yang ditermahkan Prolegomena, mengatakan subtansi peradaban adalah ilmu pengetahuan. Dalam sejarah keemasan peradaban umat Islam, terbukti bahwa mereka memberikan penghormatan sangat besar terhadap karya-karya ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan itu ada pada .

Ilmuwan Amerika Serikat, Philip K Hitti sampai menegaskan kontribusi besar Ibnu Khaldun dengan mengatakan bahwa belum pernah ada sebelum dia, baik itu Arab apalagi Eropa, yang memiliki pandangan komprehensif dan filosofis mengenai sejarah. Ibnu Khaldun merupakan filsuf-sejarah yang paling brilian yang pernah dihasilkan Dunia Islam. Dia termasuk yang paling besar sepanjang sejarah.

Sejarah telah mencatat, ada beberapa perpustakaan besar dalam sejarah umat Islam sebagai bukti paling riil bahwa peradaban Islam pernah eksis dalam dinamika peradaban dunia. Melalui perpustakaan, peradaban Islam bukan saja menjadi soko guru peradaban dunia kala itu. Namun juga menjadi jendela bagi bangsa-bangsa lain yang menginginkan peradaban tinggi.

Pada era kejayaan Islam, ulama-ulama dan ilmuan muslim menaruh penghormatan besar kepada buku.

Buku merupakan  kebun raya,  penyambung lidah bagi orang yang mati dan menjadi juru bicara bagi yang hidup.

Buku akan diam selama pembaca membutuhkan kesunyian; akan fasih berbicara jika pembaca butuh wacana; tidak pernah menyela pembaca saat berbicara; saat pembaca kesepian. Buku bisa menjadi rekan yang baik; sebagai teman yang tidak pernah mencurangi atau memuji pembaca; sekaligus sebagai teman yang tak membosankan.

Maka tidak mengherankan jika, dalam sejarah peradaban umat Islam banyak didirikan perpustakaan yang menghimpun berbagai buku bermutu tinggi.

Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, di kota, di rumah sakit, apalagi di lembaga-lembaga pendidikan.

Beberapa macam perpustakaan itu sebagai bukti kecintaan umat Islam kala itu terhadap ilmu dan buku.

Pada masa Dinasti Abbasiyah saat Islam menjadi kiblat peradaban dunia, ketika Barat dan belahan dunia lainnya masih dirundung konflik, Baghdad telah menjelma menjadi kota paling metropolitan di dunia. Taman-taman indah menghiasi setiap sudut kota, lampu penerang bertebaran, bangunan-bangunan cantik dengan arsitektur mengagumkan berdiri di sekeliling kota.

Penyebabnya bukan karena luas wilayah kerajaan yang mencapai 2/3 dunia, tapi karena penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak ada tandingannya.

Pada masa ini seniman, teknokrat, ilmuwan, pujangga, filsuf, dan saudagar berkontribusi terhadap perkembangan di bidangnya masing-masing. Ilmu agama, kesenian, industri, hukum, literatur, navigasi, filsafat, sains, sosiologi, dan teknik mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa ini juga lahir sebuah institusi keilmuan modern pertama di dunia yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan ini, Perpustakaan Baitul Hikmah.

Perpustakaan Baitul Hikmah (House of Wisdom) didirikan oleh Khalifah Harun Ar Rasyid pada tahun 813 M dan terletak di jantung kota Bahgdad.

Gustav Le Bon dalam Histrory of Islamic and Arab Civilization, mencatat bahwa di Perpustakaan Baitul Hikmah Baghdad ini tersimpan tidak kurang dari 4 juta judul kitab/buku. Sangat menakjubkan, karena perpustakaan terbesar di dunia Barat kala itu hanya memiliki koleksi ratusan buku saja. Bahkan, hingga abad ke-14 M, perpustakaan di Universitas Paris, yang saat itu menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan paling ramai di Eropa, hanya memiliki sekitar 2.000 buku.

Baitul Hikmah awalnya adalah sebuah perpustakaan. Namun tidak seperti umumnya perpustakaan, lebih menyerupai sebuah perguruan tinggi.

Perpustakaan ini adalah tempat pertemuan para intelektual, pusat kajian dan diskusi, sanggar terjemah, laboratorium penelitian, dan tempat penerbitan buku.

Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika.

Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang.

Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian ulama yang belajar di Perpustakaan Baitul Hikmah.

Merekalah yang berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga Barat dan Eropa.

Setelah meninggalnya Khalifah Harun Ar-Rasyid, pemeliharan Baitul Hikmah kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Khalifah Al-Ma’mun.

Pada masa Khalifah Al-Makmun, Perpustakaan Baitul Hikmah terus mengalami kemajuan. Al-Makmun mengundang para ilmuwan di seluruh dunia Islam untuk berbagi ide, informasi, dan pengetahuan di perpustakaan ini.

Sebelum Baghdad, ada Perpustakaan Al-Umawiyah di Andalusia, yang memiliki koleksi 100.000 kitab/buku.

Seorang orientalis, Julian Ribera, benar-benar kagum dengan kecintaan umat Islam Andalusia akan buku. Ia takjub bagaimana kaum Muslimin saat itu berjalan dari barat ke timur hanya untuk mengoleksi buku baru. Kaum Muslimin terus menambah ilmu pengetahuan mereka dengan membaca buku. Sehingga Cordoba menjadi kota para pemikir, para ahli, dan para ilmuan.

Membaca kitab/buku sudah menjadi tradisi umat Islam kala itu. Belajar dan mengkaji ilmu sudah menjadi bagian dari sejarah kaum Muslimin.

Era berikutnya, ada juga Perpustakaan Dar al-‘Ilm, di kompleks Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Pelopornya adalah Dinasti Fatimiyyah.

Perpustakaan tersebut dibuka untuk umum, dengan katalog bertahun 435 hijriah (1045 M) menunjukkan koleksinya sebanyak 6.500 buku bertema astronomi, arsitektur, dan filsafat.

Era kekinian, tahun 1973 diresmikan Perpustakaan King Abdul Aziz di Madinah di bawah pengelolaan Kementerian Urusan Islam, Wakaf dan Dakwah.

Di perpustakaan yang terletak di Jalan Al-Manakhah memanjang hingga ke halaman Masjid An-Nabawi sebelah barat, berisi manuskrip, buku-buku, serta ruang untuk riset atau penelitian ilmiah. Dilengkapi pula dengan perpustakaan khusus anak-anak, perpustakaan wanita dan aula pertemuan.

Di perpustakaan ini terdapat manuskrip mushaf al-Qur’an kuno sekitar tahun 488 dan 549 Hijriah, serta lebih dari 13 ribu manuskrip yang masih otentik (asli).

Juga tersimpan kitab-kitab yang tergolong langka dalam ruangan tersendiri, yang jumlahnya mencapai kurang lebih 25 ribu eksemplar. Sedangkan kitab-kitab yang tergolong baru dan kontemporer jumlahnya sekitar 40 ribu eksemplar, yang memenuhi seluruh ruagan tingkat dua. Termasuk karya-karya tesis maupun disertasi doktoral juga ada di dalamnya.

Di Makkah ada Library of Al-Masjid Al-Haram berlokasi di Masjid Al-Haram Mekkah pintu 79 lantai 2. Perpustakaan ini diresmikan penggunaannya pada tanggal 1 Juni 2013 oleh gubernur Makkah Khalid Al-Faisal. Dengan luas area sekitar 540 meter persegi.

Di perpustakaan ini terdapat buku cetak, buku digital, buku audio, dan buku langka dengan jumlah sebanyak kurang lebih 30.000 eksemplar buku dan 200 buah cd.

Penutup

Maka, perpustakaan sesederhana apapun menjadi wajib adanya bagi pribadi, sebuah lembaga tarbiyah, dewan masjid, organisasi, maupun lembaga pemerintahan.

Almarhum Imaam Muhyiddin Hamidy jika pergi ke manapun, terutama ke kota-kota besar, baik dalam dan luar negeri, selalu mewajibkan ke toko buku. Belo buku terbaru, dan menyuruh stafnya memilih buku untuk masing-masing. Itu semua kemudian menjadi koleksi perpustakaan pribadi.

Kini, banyak kampanye Gerakan Waqaf Buku yang dicanangkan lembaga-lembaga pendidikan dan sosial.

Ada juga kampanya gerakan “One Day One Book (ODOB)”. Dengan gerakan ODOB ini satu siswa akan membaca sedikitnya 300 buku dalam setahun. Jika ia belajar sepanjang tiga tahun, maka akan ada sekitar seribu buku yang dilahapnya. Bisa dibayangkan isi otaknya, ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dan wawasannya.

Terlebih jika setiap hari ia terjadwal membaca buku. Lalu membuat ikhtisarnya dalam selembar kertas atau sehalaman laptop. Maka dalam setahun akan ada 300 lembar ikhtisar yang akan menjadi buku kumpulan ikhtisarnya. Hasilnya pun dipresentasikan di kelompok-kelompok diskusi, dan videonya dipublish di media sosial.

Di perpustakaan juga tersedia komputer untuk pembaca mengetik ikhtisarnya, dan printer untuk mecetak hasilnya. Karya-karya sesederhana apaun itupun kemudian dijilid dan menjadi koleksi tersendiri bagi perpustakaan.

Dari merekalah, para pegiat perpustakaan, pecinta buku,  kita harapkan muncul generasi penggerak perubahan peradaban, karena mereka telah membuka jendelanya, yaitu perpustakaan. Tinggal melongok keluar dan menebarkan karya-karya terbaiknya untuk peradaban dunia. (A/RS2/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments are closed.