Oleh: Rendi Setiawan, Wartawan MINA
Masih dalam suasana hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus. Adalah menjadi penting untuk mensyukuri kebebasan dari belenggu penjajahan, membuang ego perbedaan dan melebur menjadi satu kesatuan di bawah panji Merah-Putih. Kemerdekaan adalah hak dan penjajahan harus dihapuskan, sebagaimana amanat dalam Pembukaan UUD 1945.
Amanat tersebut lahir bukan dari gagasan satu orang maupun satu kelompok tertentu, bukan lahir dari ide yang muncul begitu saja, bukan pula lahir dari diskusi dalam tempo semalam, tetapi lahir dari perasaan yang sama antarmasyarakat yang hidup di bawah penindasan selama berpuluh tahun lamanya. Mereka tidak memandang berasal dari mana, berbicara menggunakan bahasa apa.
Jika boleh dihitung, kita akan banyak menemui perbedaan ketimbang persamaan yang tersebar di sepanjang garis pantai Sabang hingga Merauke. Kalau ingin mencari perbedaan di Indonesia, akan begitu mudah kita ingat dan catat dalam buku harian. Namun, satu persamaan bisa menanggalkan noda-noda perbedaan yang begitu banyak bisa kita jumpai.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Mengikat persamaan tidaklah mudah, sebab hadirnya bisa menghasilkan sebuah persatuan yang merupakan inti dari kekuatan besar. Masyarakat Indonesia sudah membuktikannya, mulai dari pertempuran Bandung Lautan Api di Jawa Barat, pertempuran lima hari di Semarang, Jawa Tengah, pertempuran enam jam di Jogjakarta, hingga pertempuran tiga pekan di Surabaya. Lalu, insiden berdarah tahun 1965 yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Jika tidak ada ikatan persamaan dalam jiwa pemuda-pemudi, tidak mungkin bisa melahirkan persatuan. Tanpa itu, bukan sesuatu yang mustahil jika Indonesia sudah berakhir berpuluh-puluh tahun lalu. Adanya persatuanlah yang kemudian mendegradasi semua kemungkinan buruk itu. Selama 74 tahun, Indonesia masih bisa berdiri di atas pijakan kakinya sendiri. Patut disyukuri.
Indonesia dengan segala kekayaan alam dan manusia, pulau, suku, agama, ras, dan budayanya, seperti sebilah pisau bermata dua yang begitu tajam di kedua sisinya. Kekayaan itu bisa mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang kuat, berdikari, dan digdaya.
Di sisi lain, kekayaan-kekayaan yang ada bisa menjadi seekor monster besar mengerikan yang setiap saat bisa menerkam majikannya. Kekayaan dari perbedaan itu akan menjadi sebuah kekuatan atau menjadi seekor monster hanya bisa dijawab dari sikap masyarakat dalam menghadapi percikan-percikan api kecil. Sikap masyarakat bisa dibentuk melalui nilai dalam ajaran agama.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Indonesia maju
Ada secercah harapan yang besar bagi kemajuan bangsa. Harapan itu muncul ketika kita menengok segala hal yang ada di negeri ini. Indonesia dengan luas wilayahnya yang mencapai 1,905 juta m2, dan jumlah penduduknya yang mencapai 265 juta jiwa, adalah sebuah kekayaan yang tidak dimiliki negara manapun di dunia ini.
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan “SDM Unggul, Indonesia Maju” sebagai tema besar merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74. Jika menilik segala kekayaan yang dimiliki negeri ini, tema tersebut seharusnya menjadi hal yang mudah untuk diwujudkan dalam beberapa tahun mendatang.
Setiap tahun, Indonesia selalu berbenah dalam rangka mewujudkan kemajuan yang dielu-elukan. Di sisi lain, upaya itu selalu terganjal oleh sikap masyarakat dan pemerintahnya sendiri. Tidak jarang hadir keputusan-keputusan maupaun aturan-aturan baru yang dianggap merugikan masyarakat, sehingga kemudian muncul ketidakpercayaan terhadap pemerintah berkuasa.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Wujud dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah sering munculnya demonstrasi-demonstrasi yang berujung korban jiwa atau pergantian era. Sudah tidak bisa dihitung lagi berapa banyak demonstrasi yang terjadi di negeri ini, meski sudah berganti-ganti era mulai dari demonstrasi di era orde lama, orde baru, hingga orde reformasi.
Sinergi antara masyarakat dengan pemerintah adalah hal yang mutlak ada. Sinergitas itulah yang bisa menghadirkan rekatnya persatuan antara pejabat dengan rakyat berpendidikan, pejabat dengan rakyat biasa, sehingga tidak muncul perbedaan yang kemudian dibesar-besarkan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam ulasannya “Menuju Indonesia Maju melalui SDM Unggul” yang diterbitkan koran Kompas pada Senin, 19 Agustus kemarin, menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 akan difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing di kancah dunia.
Masalah yang dihadapi Indonesia bukan saja sektor perekonomian yang memerlukan perhatian khusus. Indonesia sama sekali tidak kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas untuk bersaing dengan negara-negara lain. Indonesia sangat kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas lagi berakhlak. Di sinilah peran agama sangat dibutuhkan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Sejak awal, agama hadir untuk membentuk manusia yang bermartabat, manusia yang berkualitas, berakhlak dan bermoral, serta manusia yang mengedepankan rasa kemanusiaan, sehingga mereka bisa memahami dampak negatif dari ego perbedaan, mengikat persamaan yang kemudian memantapkan persatuan menuju Indonesia yang maju.
Dirgahayu Indonesia!
(A/R06/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?