Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌۗ ٧٣ (الانفال [٨]: ٧٣)
Baca Juga: Kemenangan Iran atas Zionis Israel
“Orang-orang yang kufur, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (untuk saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 73)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774 H) menjelaskan ayat di atas, bahwa orang-orang kafir meskipun berlainan agama dan keyakinan, namun mereka semua bisa menjadi kawan setia dan saling membantu dalam memerangi kaum Muslimin. Hal itu dilakukan sejak zaman Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, yakni dalam Perang Ahzab/ Jkandaq hingga saat ini.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah-Nya, yaitu saling tolong-menolong dan saling melindungi anta sesama kaum Muslimin. Umat islam harus berwala’ (bersikap loyal) kepada sesama Muslim dan berlepas diri dari mengambil teman setia dan pemimpin dari kalangan orang-orang Kafir.
Jika kaum Musliin tidak melakukan hal itu (persatuan dan tolong-menolong) maka akan terjadi fitnah yang dahsyat dan kerusakan yang besar di muka bumi.
Baca Juga: Jihad Itu Lokomotif Perubahan Seorang Muslim
Relevansi ayat di atas dalam konteks saat ini, Zinos Israel yang menjajah bangsa Palestina, mereka tidak berdiri sendiri. Zionis mendapat dukungan dari negara-negara besar, khususnya Inggris, Amerika Serikat (AS) serta sekutu-sekutu Barat lainnya.
Dukungan tersebut mencakup bantuan militer, ekonomi, diplomatik, media dan lainnya. Mereka menjalankan prinsip saling membantu dan menolong satu sama lain, sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas (ba’dhukum auliya’u ba’dhin).
Sebaliknya, umat Islam justru tidak bersatu. Mereka terpecah belah oleh konflik internal, perbedaan politik dan madzhab serta nasionalisme yang sempit. Inilah yang menyebabkan lemahnya posisi umat Islam dalam membela bangsa Palestina dan mempertahankan kemuliaan Al-Aqsa, serta menyuarakan kebenaran di tingkat global.
Realitas ini menjadi bukti nyata kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas. Jika kaum Muslimin tidak bersatu, maka akan muncul fitnah dan kerusakan yang besar, seperti penjajahan, penindasan, degradasi moral dan hilangnya wibawa umat Islam sebagaimana kita saksikan hari ini.
Baca Juga: Sedekah Sebelum Terlambat: Tadabbur Qur’an Surat Al-Munafiqun Ayat 10
Urgensi Persatuan dalam Perjuangan Al-Aqsa dan Palestina
Syaik Yusuf Al-Qaradhawi Rahimahullah (w. 2922 M) mengaitkan langsung ayat di atas dengan krisis yang terjadi di Palestina saat ini. Beliau menyebut bahwa perpecahan umat adalah penyakit kronis yang menghambat kemenangan kaum Muslimin.
Menurutnya, tanpa persatuan yang kokoh, perjuangan bangsa Palestina dan pembebasan Al-Aqsa akan mudah dipatahkan oleh kekuatan asing yang memiliki persatuan.
Sementara itu, ulama Nusantara Buya Hamka Rahimahullah juga memberi perhatian mendalam terhadap isu Palestina dan Baitul Maqdis. Beliau menyoroti keberhasilan tokoh pejuang Islam, Shalahuddin Al-Ayubi dalam membebasakan Baitul Maqdis dengan kekuatan iman dan persatuan, bukan semata-mata kekuatan militer.
Baca Juga: Nuklir, Mudharat dan Manfaatnya dalam Perspektif Al-Qur’an
Buya Hamka menegaskan bahwa kekalahan Bangsa Arab atas Israel bukan karena kalah persenjataan dan kecerdasan, melainkan karena umat meninggalkan ajaran Islam, yakni persatuan dan menggantinya dengan nasionalisme dan kapitalisme.
Pada Perang Enam Hari tahun 1967, tujuh negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah, Irak, Saudi, Al-Jazair dan Kuwait) melawan satu entitas, yakni Zionis Israel, mereka tidak berhasil memenagkannya. Walhasil, Tepi Barat, Yarusalem, Gaza, Sinai dan Golan menjadi wilayah yang dikuasai Israel.
Hamka berkeyakinan, Palestina dan Baitul Maqdis akan dibebaskan jika kaum Muslimin kembali mengamalkan ajaran agamanya, yaitu meninggalkan kecintaan terhadap dunia dan bersatu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan para sahabatnya, generasi salafus shalih yang lurus akidahnya.
Perjuangan bangsa Palestina untuk membebaskan tanah air mereka bukan sekadar pertarungan senjata atau diplomasi di meja-meja perundingan. Ia adalah jihad panjang yang menuntut pengorbanan dan kesabaran.
Baca Juga: Peran Orangtua dan Umara dalam Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina
Sebesar apapun potensi dan kekuatan yang dimiliki umat, jika tanpa persatuan, rasanya tidak akan mampu mengalahkan musuh-musuh Islam. Perpecahan menjadi sumber utama yang menyebabkan kelemahan, kekalahan dan kehancuran umat.
Itulah pelajaran sejarah yang akan terus berulang. Persatuan hendaknya menjadi hal yang mendasar dan perlu dibangun dengan kokoh sebelum melangkah lebih jauh dalam menghadapi segala konspirasi dari musuh-musuh umat, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta’ala surah Al-Anfal [8] ayat 46:
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ ٤٦(الانفال [٨]: ٤٦)
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Baca Juga: Hijrah Rasulullah sebagai Langkah Strategis Menuju Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Kehancuran tragis di tiga pusat peradaban besar umat Islam meninggalkan jejak penderitaan mendalam. Di Baghdad, (1258 M), pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan menghancurkan kota itu di masa Khalifah Al-Mu’tashim dari Dinasti Abbasiyah. Ribuan ulama dibunuh, perpustakaan dihancurkan, dan Sungai Tigris menghitam karena tinta kitab yang dibuang dan darah kaum Muslimin yang tumpah.
Di Spanyol (Andalusia), 1492 M, saat Granada jatuh ke tangan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, umat Islam dipaksa masuk Kristen. Mereka disiksa dalam Inkuisisi, atau diusir dari tanah airnya yang telah mereka bangun selama tujuh abad.
Sementara di Turki Utsmani, tahun 1924 M, ketika Mustafa Kemal Ataturk membubarkan Khilafah Islamiyah di bawah Sultan Abdul Majid II, kaum Muslimin kehilangan simbol persatuan dan kepemimpinan dunia Islam; madrasah ditutup, azan diubah bahasanya, dan hukum Islam digantikan sistem Barat, sehingga menyebabkan keterasingan spiritual dan kehancuran identitas umat secara menyeluruh.
Itulah pelajaran sejarah yang akan terus berulang jika kuam Muslimin tidak bersatu. Persatuan haruslah menjadi hal mendasar yang dibangun dengan kokoh, sebelum melangkah lebih jauh dalam menghadapi segala bentuk konspirasi musuh-musuh Islam dan kemanusiaan.
Baca Juga: Berjama’ah Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Persatuan bukan hanya strategi politik, tapi bagian dari keimanan dan perintah Ilahi yang harus dilaksanakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ وَاذْكُرُوْا… (ال عمران [٣]: ١٠٣)
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, secara berjamaah dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imran [3]: 103).
Ayat di atas tidak lahir di ruang hampa, melainkan sebagai peringatan bahwa persatuan adalah kunci kemenangan dan perpecahan adalah jalan menuju kelemahan dan kekalahan.
Baca Juga: Iman, Jihad, dan Hijrah: Tiga Pilar Tegaknya Kalimatullah
Ketika umat terpecah dalam ideologi, fanatisme golongan, dan kepentingan politik praktis, maka musuh-musuh Islam akan leluasa menancapkan kuku-kuku penjajahan dan pengaruhnya di kalangan umat.
Masjid Al-Aqsa dan Palestina tidak hanya bisa dibela hanya dengan kekuatan senjata dan aksi protes di berbagai belahan dunia. Ia harus dibela dengan hati yang bersatu, dengan barisan yang rapat, dengan visi yang sama: pembebasan Al-Aqsa dan kemerdekaan Palestina.
Jalan utama yang perlu ditempuh dalam perjuangan ini adalah dengan menguatkan pondasi persatuan, memperkuat komunikasi dan koordinasi lintas faksi dan pempimpin negara, serta memunculkan satu kepemimpinan syar’i yang bisa menyatukan potensi dan langkah seluruh umat.
Hanya umat yang bersatu, mereka layak mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala dan pantas meraih kemenangan yang dijanjikan-Nya.
Baca Juga: Seluruh Pemeluk Dienul Islam Adalah Muslim
Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam memberi arahan yang singkat, padat dan jelas:
الجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ، وَالفُرْقَةُ عَذَابٌ (رواه احمد)
“Al-Jama’ah (persatuan) adalah rahmat, dan perpecahan adalah adzab.” (HR Ahmad)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Al-Khaththabi Rahimahullah (w. 388 H) dalam kitab Ma’alim as-Sunan, beliau berkata: “Yang dimaksud Al-‘jamaah’ adalah berpegang pada kebenaran, dan bersama orang-orang yang mengikuti sunnah serta tidak menyimpang dari Jama’ah Muslimin.”
Baca Juga: Ukhuwah Islamiyah dan Pembebasan Al-Aqsha
Persatuan, Ruh dalam Perjuangan
Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah pernah berkata, “Tidaklah aku lihat sesuatu yang lebih rusak bagi umat ini daripada perselisihan dan perpecahan.” Persatuan bukan sekadar syariat yang harus dilaksanakan, tetapi ia adalah ruh dalam perjuangan itu sendiri.
Perjuangan Palestina saat ini adalah simbol global perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan. Perjuangan pembebasan Al-Aqa bukan hanya tugas bangsa Palestina saja, tetapi ia menjadi tanggung jawab umat Islam sedunia.
Ulama kontemporer ternama, Prof Dr Yusuf Al-Qaradhawi Rahimahullah menegaskan, “Kemenangan Islam tidak akan terwujud selama umat Islam tercerai-berai. Kunci kebangkitan adalah persatuan.”
Maka dukungan moral dan material dari dunia Islam untuk perjuangan Palestina dan pembebasan Al-Aqsa hendaknya dibarengi seruan kepada para pemimpin: “Bersatulah, dan sadarilah bahwa musuh mempergunakan perpecahan sebagai senjata dalam menghancurkan rakyat Palestina.”
Kini bukan masanya mencari siapa yang paling lantang berkata-kata dalam perjuangan, tapi siapa yang paling ikhlas dalam perjuangan, tidak mementingkan ego pribadi dan golongan. Kemenangan tidak turun kepada mereka yang saling berselisih dan menjatuhkan.
Imam Al-Ghazali Rahimahullah berkata, “Musuh-musuh Islam tidak menang karena kekuatan mereka, tapi karena kelemahan kita, tidak bersatu dalam perjuangan.” Maka, menundukkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah perjuangan.
Maka, sebelum umat Islam mengalahkan musuh-musuhnya di medan laga, persatuan di kalangan umat Islam haruslah terwujud terlebih dahulu. Hal itu bukan sekadar retorika, tapi kesungguhan hati dan keikhlasan, meletakkan kepentingan umat di atas ego pribadi dan golongan.
Realitas dan Tantangan Persatuan
Salah satu tantangan terbesar adalah ego kepemimpinan. Fakta di internal Palestina hingga saat ini menunjukkan, setiap faksi-faksi belum menunjukkan langkah nyata menuju persatuan sebagaimana yang diharapkan.
Akibatnya, rakyat Palestina tidak hanya menghadapi musuh eksternal, tapi juga dibelenggu oleh kepentingan-kepentingan internal para pimpinannya.
Ini bukan tentang menyalahkan siapa pun, tapi sebagai refleksi bahwa persatuan membutuhkan kerendahan hati dari semua pihak. Saat identitas kelompok lebih diutamakan, maka pintu persatuan pun akan tertutup rapat dari dalam.
Di sisi lain, agenda-agenda dan kepentingan asing menyusup dengan berbagai cara, terutama dalam bentuk bantuan dana.
Masjid Al-Aqsa bukan hanya milik satu kelompok, madzhab atau organisasi tertentu. Ia adalah milik umat, milik setiap hati yang mengimani bahwa Masjid Al-Aqsa harus dijaga.
Maka, dalam konteks melawan hegemoni dan penjajahan Zionis Israel di bumi Palestina, rasanya perlu kita kesampingkan dulu isu-isu sektarian yang ada dalam diri umat ini. Dalam kondisi saat ini, Isu perbedaan madzhab dan sudut pandang tidak perlu kita pertajam. Siapapun yang memusuhi musuh umat Islam (Zionis Israel), maka mereka berada satu front dengan kita.
Maka mari kita bangun harapan, bukan larut dalam kekecewaan dan meratapi kegagalan. Mari kita rawat keyakinan bahwa umat ini masih bisa bersatu. Luka perpecahan masih bisa dijahit dengan ketulusan.
Seperti benih tanaman yang tumbuh dari tanah yang retak, begitu pula harapan persatuan umat, pasti akan bisa tumbuh di antara celah-celah perbedaan, asal disiram dengan semangat yang terus menyala dan doa tulus ikhlas kepada-Nya.
Maka tugas kita bersama menghadirkan langkah-langkah nyata menuju persatuan umat, menjembatani perbedaan, dan mengokohkan barisan perjuangan.
Hanya dengan hati yang bersatu dan jiwa yang ikhlas, umat ini akan layak menerima pertolongan Allah Ta’ala dan menyongsong kemenangan yang telah dijanjikan-Nya. []
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)