Perseteruan Arab-Iran Kian Memanas

Perseteruan Arab Saudi dan Iran kian memanas di era kepemimpinan Raja Salman bin Abdulaziz dan Presiden Hassan Rouhani. (Foto: i24news.tv)
Perseteruan dan kian memanas di era kepemimpinan Raja Salman bin Abdulaziz dan Presiden Hassan Rouhani. (Foto: i24news.tv)

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agrency (MINA)

Hubungan antara Pemerintah Arab Saudi dengan Iran yang sejak lama memang tidak harmonis, belakangan ini diperburuk oleh pelaksanaan eksekusi ulama Syiah, Sheikh Nimr Al-Nimr – warga Saudi – oleh pemerintah Arab karena dugaan terlibat dalam aksi terorisme.

Menurut Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel Al-Jubeir, Al-Nimr melakukan pengorganisasian sel teror, menyediakan kelompok teror dengan senjata dan uang. Tokoh Syiah ini dituduh mendukung unjuk rasa anti-pemerintah pada 2011 dan mengusulkan pemilu.

Al-Nimr merupakan satu dari 47 orang yang dieksekusi massal oleh otoritas Saudi, Januari lalu. Sebagian besar dari mereka didakwa terlibat aksi terorisme. Namun, eksekusi itu memicu kemarahan di Iran, membuat massa membakar Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran dan menyerang konsulat di Mashhad, Iran.

Akibat penyerangan tersebut, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran. Arab Saudi juga memberi batas waktu 48 jam bagi semua diplomat Iran untuk hengkang dari wilayah Saudi. Langkah Arab memutus hubungan diplomatik dengan Teheran, juga diikuti sekutunya, Bahrain dan Sudan.

Kuwait menyusul mengumumkan penarikan duta besarnya dari Iran karena menganggap serangan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap norma internasional. Sementara DutaBesar Arab Saudi untuk PBB menyebutkan ke-47 orang yang dieksekusi sudah diberikan (pengadilan) yang adil tanpa memandang ras dan sektarian mereka.

Dewan Keamanan PBB mengecam keras serangan pengunjuk rasa Iran terhadap Kedubes Arab Saudi di Teheran yang memicu pertikaian diplomatik kedua negara. DK dalam pernyataannya menyampaikan kekhawatiran mendalam dan mendesak Iran untuk menghormati kompleks diplomatik.

Pemerintah Turki juga mendesak Arab Saudi dan Iran untuk meredakan ketegangan diplomatik antara kedua negara. Perseteruan Arab-Iran hanya akan memperburuk kondisi di kawasan Teluk. Wakil Perdana Menteri Turki, Numan Kurtulmus menggambarkan Timur Tengah sudah seperti “tong bubuk mesiu”.

Baca Juga:  Menlu Iran-Mesir Bertemu di Gambia Bahas Gaza

Dia juga mengkritik serangan terhadap kedutaan Arab Saudi di Iran dan eksekusi mati seorang aktivis Syiah di Arab Saudi, Nimr al-Nimr, yang menyulut konflik. Kelompok Muslim Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran adalah kekuatan utama Timur Tengah yang bersaingan. Kedua negara mendukung pihak yang berbeda pada konflik Suriah dan Yaman.

Arab Saudi dan Iran adalah negara Sunni dan Syiah ‘paling kuat’ di kawasan Teluk. “Kami ingin kedua negara untuk sesegera mungkin menyudahi ketegangan yang hanya akan memperburuk situasi di Timur Tengah,” kata Kurtulmus.

Dia juga meminta Iran untuk melindungi seluruh misi diplomatik. Selain itu, Turki menentang hukuman mati, terutama yang memiliki motivasi politik. “Arab Saudi dan Iran adalah teman kami. Kami tak ingin mereka berseteru karena pertikaian tak diharapkan terjadi di kawasan ini.”

Pada saat juru bicara Gedung Putih meminta kedua negara itu untuk “menahan diri dan tidak mengobarkan ketegangan yang dipamerkan secara vulgar di wilayah tersebut, Menteri Luar Negeri Iran menuding Saudi “terus mengeluarkan berbagai kebijakan yang meningkatkan ketegangan di kawasan termasuk memutuskan hubungan diplomatik.”

Pemerintah Inggris, Prancis, dan Jerman juga dilaporkan khawatir atas ketegangan yang dipicu oleh eksekusi ulama Syiah terkemuka di Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr itu.

Berebut pengaruh

Posisi Arab Saudi dan Iran kerap berseberangan dalam konflik-konflik di kawasan Teluk. Mereka bersaing dalam perebutan pengaruh. Faktor paling signifikan di balik persaingan adalah bahwa masing-masing negara memandang dirinya sebagai pemangku agama Islam dalam versi yang berbeda.

Muslim terpisah dalam dua kelompok utama, Sunni dan Syiah. Perpecahan berasal dari pertikaian yang terjadi tidak lama setelah meninggalnya Nabi Muhammad tentang siapa yang seharusnya memimpin umat Muslim. Saudi adalah negara dimana terdapat dua tempat paling suci Islam, Mekkah dan Madinah, sehingga menyatakan diri sebagai ‘pemimpin Sunni dunia’.

Baca Juga:  Dukungan Mahasiswa AS untuk Palestina Menginspirasi Dunia

Iran memiliki penduduk Syiah terbesar dunia dan sejak revolusi Iran pada tahun 1979 menjadi ‘pemimpin dunia Syiah’. Kedua negara ini bersaing untuk mempengaruhi negara-negara tetangganya dan juga terdapat kecurigaan tentang pengaruh Iran terhadap kelompok minoritas Syiah di Arab Saudi, di samping masyarakat Syiah di Bahrain, Irak, Suriah dan Lebanon.

Program nuklir Iran dan kemungkinan bahwa negara itu pada suatu hari akan memiliki senjata nuklir juga membuat khawatir tetangganya, terutama Arab Saudi.

Arab Saudi dikuasai seorang raja dan bentuk pemerintahannya adalah Islam konservatif. Iran memiliki bentuk Islam yang lebih revolusioner dan pemimpin revolusi tahun 1979 – Ayatollah Khomeini – memandang monarki tidak sesuai dengan Islam.

Agenda berhaluan Islam Syiah radikal diluncurkan pada revolusi 1979 dipandang sebagai suatu penentangan terhadap rezim konservatif Sunni, terutama di kawasan Teluk, dan terdapat kecurigaan mendalam di dunia Arab terkait usaha Iran untuk mengekspor revolusinya ke negara-negara tetangga.

Iran sangat mendukung usaha Palestina menentang Israel dan menuduh negara-negara seperti Arab Saudi tidak memperhatikan nasib warga Palestina dan mewakili kepentingan pihak Barat. Secara historis, Arab Saudi memiliki hubungan dekat dengan Barat yang memasok miliaran dolar persenjataan.

Sejak tahun 1979, hubungan Iran dengan Barat sangat menegang dan Barat menerapkan sanksi ekonomi selama bertahun-tahun terhadap Iran terkait usaha Teheran untuk memiliki senjata nuklir.

Iran sama seperti Rusia adalah pendukung setia Presiden Suriah Bashar al-Assad. Dukungan militer dari negara itu dan sekutunya di Lebanon, Hizbullah, dipandang penting untuk mempertahankan kekuasaannya.

Arab Saudi adalah pendukung penting dan penyandang dana kelompok oposisi bersenjata Sunni yang menentang pemerintah. Riyadh juga menjadi tuan rumah konferensi yang bertujuan untuk menyatukan berbagai kelompok oposisi penentang pemerintahan Presiden Assad.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya mendukung Saddam Hussein saat perang Iran-Irak tahun 1980-1988 dan mengalami serangan Iran terhadap kapal-kapalnya. Hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi dibekukan selama tiga tahun setelah perang. Sejak jatuhnya Saddam, kelompok mayoritas Syiah di Irak memimpin pemerintah dan memelihara hubungan dekat dengan Teheran.

Hal ini membuat pengaruh Iran mencapai perbatasan Arab Saudi dan menciptakan persekutuan Syiah Iran, Irak, Suriah dan Lebanon. Baghdad menuduh Arab Saudi mendukung kelompok Sunni radikal dan kekerasan sektarian di Irak.

Arab Saudi berbagi Semenanjung Arab dengan Yaman yang memiliki kelompok minoritas Syiah signifikan, Houthi – yang memberontak dan mengambil alih sejumlah wilayah Yaman, termasuk ibu kota Sanaa, memaksa pemerintah dukungan Saudi mengasingkan diri pada permulaan 2015.

Negara-negara Arab di Teluk menuduh Iran mendukung Houthi secara keuangan dan militer, meskipun Iran menyangkal hal ini. Keterlibatan Iran di Yaman ini menimbulkan kekhawatiran mendalam di Riyadh dan koalisi pimpinan Saudi terus memerangi para pemberontak.

Faktor lain pemicu perseteruan Arab-Iran adalah minyak yang penting bagi kedua negara itu. Arab adalah produsen dan eksportir terbesar dunia – dan mereka kemungkinan memiliki kepentingan yang berbeda tentang seberapa banyak minyak yang dihasilkan dan berapa harganya.

Arab Saudi relatif kaya dan memiliki penduduk yang lebih sedikit dibandingkan Iran. Negara ini diberitakan dapat mengatasi rendahnya harga minyak saat ini untuk jangka pendek. Iran lebih memerlukan pemasukan dan menginginkan harga per barel yang lebih tinggi. Setelah beberapa tahun tidak dilibatkan dalam pasar minyak dunia karena pemberlakuan sanksi, hal ini akan sangat membantu ekonomi Iran yang bermasalah.

Tetapi seperti prediksi para pengamat, para penghasil minyak itu memompa 0,5 juta sampai dua juta barel minyak per hari melebihi permintaaan, jadi Iran memerlukan negara penghasil minyak lainnya untuk memotong produksi agar terjadi peningkatan harga. Tentu saja Arab Saudi tidak ingin melakukan hal itu. (R01/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: illa

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.