Beijing, 29 Muharram 1437/11 November 2015 (MINA) – Eksistensi kebudayaan muslim Uighur di Xinjiang, China, terancam tergerus setelah pemerintah China mendesak pencampuran ras dan pemberlakuan pelajaran bahasa Mandarin.
Saat ini, kelompok minoritas Uighur menggunakan bahasa Turkic. Sebagian besar Uighur juga melakukan praktik budaya dan agama Islam. Namun, pemerintah China melihat beberapa anggota kelompok Uighur terkadang sebagai bahaya dan menjadi ancaman.
“Kami tidak ingin menindas mereka. Kami hanya ingin melawan terorisme dan berbagai ancaman yang mengganggu stabilitas,” kata Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Zhang Chunxian, kepada Euronews, dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Pernyataan Zhang mengacu pada serangkaian peristiwa berdarah di Xinjiang. Pemerintah menuduh kelompok Uighur ingin memberontak. Namun, beberapa ahli melihat perlawanan itu sebagai boomerang dari sikap penindasan oleh pemerintah.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Zhang sendiri berharap “suhu panas” di Xinjiang akan turun, kembali normal, dan stabil secara total pada 2020. Dia mengaku pemerintah sudah sedikit berhasil menjaga stabilitas sosial dan keharmonisan beragama di Xinjiang. (T/P020/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina