Oleh; Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Arab Miraj News Agency
Bulan Januari ini memperingati satu peristiwa paling krusial sepanjang 100 tahun terakhir, yaitu Konferesi Perdamaian Paris (Paris Peace Conference), konferensi ini digagas oleh para pemenang Perang Dunia Pertama pada Januari 1919 sampai Januari 1920 yang hasilnya adalah membentuk tatanan baru dunia (new world order).
Para pemenang itu adalah Perancis, Inggris dan Amerika Serikat, ketiganya mendominasi konferensi ini. Mereka sepakat untuk membentuk wajah dan tatanan baru dunia paska perang (world order) yang lebih stabil dan berkeadilan dengan cara memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) kepada negara-negara yang hidup di bawah pemerintahan Jerman, Austria, Hungaria dan Turki Utsmani yang semuanya adalah para pihak yang kalah dalam perang dunia tersebut.
Tapi fakta dan subtansinya bahwa konferensi ini bermaksud memberikan legitimasi secara sah dan memberikan kontrol penuh para pemenang perang kepada negara-negara yang kalah.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Konferensi itu melahirkan negara-negara baru di Timur Tengah seperti Suriah, Irak, Lebanon, Yordania, dan Turki. Sampai saat ini mekanisme dan efek pengontrolan itu masih terasa.
Inggris dan Perancis mengambil keuntungan dengan membagi wilayah Turki Utsmani yang merupakan khilafah terkahir dalam sejarah dengan menciptakan negara Lebanon dan Suriah di bawah kontrol Perancis, dan menjadikan Palestina, Yordania dan Irak di bawah pengaruh Inggris. Inilah yang dikenal dengan Perjanjian Sykes Picot antara Inggris dan Perancis tahun 1916.
Dalam Konferensi Perdamaian Paris, Inggris diberikan otoritas oleh Liga Bangsa Bangsa (LBB) untuk menjaga Palestina, tapi Inggris justru membuka jalan bagi imigran Yahudi melalui Deklarasi Balfour tahun 1917 untuk mewujudkan homeland yang warga Yahudi impi-impikan. Mereka menetap bertahun-tahun di Palestina sampai “lampu hijau” itu tiba dan berdirilah negara Israel tahun 1948.
Hakikatnya, jika saat itu para elit nasionalis Turki Utsmani tidak serta merta berkoalisi dan memihak pada Jerman dan elit Arab Teluk yang saat itu tidak fanatik dan memilih bertahan untuk tidak menentang Turki Utsmani, maka mungkin bisa saja jatuhnya Khilafah Turki Utsmani dan lahirnya negara Israel dapat dihindari.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Penentangan Arab terhadap Turki Utsmani dipimpin oleh Syarif Husain Gubernur Makkah dan Raja Hijaz berketurunan suku Quraisy, dirinya didaulat oleh para nasionalis Arab untuk menentang Khilafah Turki Utsmani.
Turki Utsmani adalah sekutu Jerman, maka secara otomatis adalah musuh Inggris, maka musuh dari musuhku adalah temanku, begitulah istilah dalam politik. Inggris mengirim McMahon ke Arab untuk membangun kerja sama kemitraan. Fantastis.
McMahon merayu Syarif untuk menjatuhkan Turki Utsmani, Inggris menjanjikan akan mendukung Syarif menjadi Pemimpin Arab untuk mengembalikan kegemilangan bangsa Arab jika berhasil menjatuhkan Turki Utsmani.
Habis manis sepah dibuang. Setelah Turki Utsmani jatuh, Syarif tidak mendapat apapun yang dijanjikan Inggris, bahkan yang ada adalah permasalahan antara dirinya dan Bani Saud, maka ia putuskan bersama keluarganya pergi ke Yordania dan Irak, Inggris berbelaskasihan, dijadikanlah anak-anak Sharif menjadi pempimpin di Yordan dan Irak, karena keduanya adalah negara dalam kontrol Inggris. Abdullah menjadi Raja Yordan dan Faisal menjadi Raja Irak.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Beriring waktu negara-negara yang dilahirkan Inggris dan Perancis ini bermasalah, maka entah disengaja ataupun tidak, penduduk Sunni dan Syiah mereka satukan dalam sebuah negara dan wilayah (Suriah, Irak dan Libanon) yang mengakibatkan konflik agama yang tak berkesudahan dalam 100 tahun terakhir. Sementara Turki diberikan “PR” untuk hidup berdampingan dengan Kurdi yang terhimpit oleh Turki, Suriah dan Irak. Penduduk Kurdi sampai saat ini terus memperjuangkan kemerdekaan mereka baik melalui senjata juga dengan referendum, yang jelas mereka adalah ancaman nyata terhadap kestabilan Timur Tengah.
Pada akhirnya, inilah peristiwa 100 year Challenge yang seharusnya disadari masyarakat milenial Timur Tengah bahwa dimulai dari Konferensi Perdamaian Paris lahirlah perjanjian-perjanjian (sykes-picot, balfour) yang memberikan masalah besar tak berkesudahan bagi mereka.
Historia Magistra Vitae, sejarah adalah guru dan pengalaman sekaligus kunci terbaik untuk memahami segala huru hara yang terjadi di Timur Tengah. (A/RA-1/RI-1)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: [BREAKING NEWS] Pria Amerika Bakar Diri Protes Genosida di Gaza
Sumber :
https://en.wikipedia.org/wiki/Paris_Peace_Conference,_1919
Journal Article: Sharif Husayn ibn Ali and the Hashemite Vision of the Post-Ottoman
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
www.e-ir.info/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations