Oleh Indah Humaira, Mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
SETIAP kali kata “bullying” atau perundungan disebut, rasanya langsung tak nyaman. Fenomena ini memang tak kunjung usai, dari ruang sekolah hingga dunia maya, kasus terus bermunculan, dan yang paling menyedihkan adalah bahwa banyak yang berpikir ini hanyalah “canda anak-anak”. Padahal kini telah menjadi darurat mental dengan dampak serius.
Perundungan tak hanya fisik lagi, tiga bentuk yang kini makin marak antara lain, Pertama, Perundungan verbal: Ejekan, hinaan, atau body-shaming sering dianggap “hanya bercanda” padahal bisa merusak kepercayaan diri dan harga diri korban hingga ke akar.
Baca Juga: Saat Sekolah Jadi “Pabrik” Kebobrokan Akhlak
Kedua, Perundungan Sosial: Pelaku menggunakan strategi seperti mengajak teman-teman untuk mengucilkan korban atau menyebarkan rumor demi membuat korban merasa sendiri, terbuang.
Ketiga, Cyberbullying: Teror 24 jam, melalui chat, media sosial, penyebaran aib atau foto pribadi, membuat korban tidak punya tempat aman lagi, bahkan saat berada di rumah.
Mengapa Perundungan Kian Berani?
Beberapa akar yang membuat perundungan terus berulang, seperti haus kekuasaan di mana pelaku yang mungkin merasa dirinya kurang kuat mencari pengakuan dengan menindas orang lain. Pola asuh yang keliru juga menjadikan anak yang kerap melihat kekerasan atau tekanan di rumah bisa meniru sebagai pola bersosialisasi.
Baca Juga: Santri Al-Fatah Pekalongan Dukung Palestina Lewat Lomba Mewarnai dan Kaligrafi
Sementara itu, korban yang menjadi pelaku: Rasa sakit yang tersimpan bisa membuat korban merespons dengan menjadi pelaku baru, membalas rasa sakit ke orang yang lebih lemah. Komunitas yang diam juga menjadi akar perundungan yang terus merajalela. Bila teman-teman atau lingkungan sekolah melihat tapi memilih diam, maka pelaku mendapat “izin” moral secara tidak langsung.
Dampaknya Bukan Sekadar Sedih
Bagi korban, perundungan akan mengakibatkan depresi berat, kecemasan akut, trauma bahkan hingga kisah percobaan bunuh diri. Di lingkungan sekolah, konsentrasi menurun, nilai bisa anjlok, dan korban memilih menyendiri, masa depan mereka dipertaruhkan. Bagi pelaku, aksi ini akan menumbuhkan karakter agresif, impulsif, minim empati, serta berpotensi terlibat masalah hukum di masa depan jika perilaku ini tak dihentikan.
Kasus Terkini di Indonesia
Baca Juga: Rektor MIU Iran Kunjungi Muhammadiyah Bahas Kerja Sama Bangun Peradaban Islam
Untuk menggambarkan kondisi saat ini, berikut dua contoh nyata di sekitar kita, di Jakarta, sebuah penelitian di sekolah menengah atas menunjukkan bahwa bullying verbal masih sangat tinggi.
Penelitian Eustalia Wigunawati yang dipublikasi di Jurnal INADA menyebutkan Dari 69 siswa perempuan yang diteliti, 46,4 % mengalami bullying verbal dalam kategori “sedang” dan 27,5 % dalam kategori “tinggi”.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) per 20 Januari 2024, siswa SMA/SMK menjadi kelompok terbanyak yang mengalami kekerasan di kalangan pelajar sebanyak 342 korban dibanding jenjang SMP atau SD.
Sebuah kasus di SMA Negeri 70 Jakarta, lima siswa yang diduga melakukan perundungan terhadap siswa lain akhirnya dipindahkan sekolah pada Desember 2024. Di Bali, terjadi peristiwa tragis: mahasiswa kedokteran Timothy Anugrah Saputra, angkatan 2022 di Universitas Udayana, dilaporkan meninggal dunia setelah mengalami tekanan psikologis berat dan diduga menjadi korban bullying dari rekan-nya.
Baca Juga: Tiga Santri Tahfiz Nurul Bayan Majalengka Lolos Seleksi Penulis Muda Nasional
Lebih lanjut, sebuah peristiwa menggemparkan dalam beberapa hari yang lalu di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading: seorang siswa diduga pelaku ledakan di masjid sekolah yang tengah diselidiki motifnya termasuk kemungkinan korban bullying.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Masalah perundungan bukan hanya soal guru BK atau sekolah, ini tanggung jawab bersama: orang tua, guru, teman, dan masyarakat. Beberapa langkah penting dapat dilakukan diantaranya, sekolah harus punya aturan tegas: Kebijakan anti-bullying harus jelas, diterapkan tanpa pandang bulu, dan guru punya kepekaan tinggi.
Orang tua sebagai “safe haven” harus menjadi tempat aman anak bercerita. Bila anak jadi korban, jangan langsung menghakimi, dengarkan dulu. Bila anak jadi pelaku, cari tahu akar permasalahannya. Hancurkan budaya diam, teman sekelas, guru, dan masyarakat jangan memilih diam saat melihat perundungan. Bertindak, baik dengan melapor, mendukung korban, atau menegur pelaku, adalah bentuk solidaritas nyata.
Baca Juga: Prof Heri Kuswanto: Indonesia Butuh Lonjakan Talenta Kreatif dan Digital
Perundungan bukan sekadar “drama remaja”. Ini adalah budaya toksik yang harus kita musnahkan bersama. Dengan kepedulian dan tindakan kita hari ini, kita menjaga keamanan mental generasi penerus kita. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bahasa Indonesia Resmi Digunakan sebagai Bahasa Kerja di Sidang Umum UNESCO















Mina Indonesia
Mina Arabic