Pesan “Abadi” dari Jalur Gaza

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Keras suara Ummu Kultsum bergema di atas kebisingan mesin mobil taksi. Ia meminta sopir taksi, seorang pria berkacamata  berusia 20-an, untuk memindahkan lagu radionya ke saluran berita, karena Israel telah menggempur selama beberapa hari terakhir.

“Kenapa mengganggu?” sopir itu malah membentak Ummu Kultsum karena ia merasa terganggu saat sedang menikmati musik. “Ketika perang pecah, bom akan memberitahu.”

Dialog Ummu Kultsum dan sopir taksi di menunjukkan di lapangan jauh lebih tenang dibandingkan di media sosial.

Selama beberapa hari terakhir, reaksi pribadi pengguna media sosial ramai menyikapi kemungkinan terjadinya perang dalam waktu dekat. Analisa pun bertebaran di dunia maya tentang apakah mungkin perang terjadi, dan doa yang menolak perang telah membanjir di Facebook dan Twitter.

Satu hal yang pasti, rakyat di Gaza hidup dalam keadaan penuh ketidakpastian, ketakutan dan tak berdaya di bawah kekebalan hukum Israel dalam tiga perang sebelumnya, senyapnya dunia internasional terhadap pengepungan selama satu dekade dan penjajahan yang tampaknya tidak akan pernah berakhir.

Ancaman Israel terhadap Gaza terus berlanjut dan sudah hampir dua tahun setelah serangan 2014. Buktinya warga Palestina masih terus ada yang tewas dan negeri mereka terus dijajah dan diduduki, dikepung dan dibagi.

Selama tahun lalu, Israel menewaskan hampir 30 warga Palestina di Gaza, melukai lebih 800 orang dan menangkap puluhan lainnya. Tank meluncur ke Gaza sekitar 50 kali.

Sementara itu, pengepungan masih utuh dan bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Pasien medis terlebih dulu meninggal sebelum mendapat izin dari Israel untuk menyeberang, dan di penyeberangan lain, Rafah jarang dibuka, serta proses pembangunan kembali Gaza berjalan secepat langkah siput.

Apakah telah menjadi kebal, atau lebih buruk lagi, acuh tak acuh terhadap kematian? Tidak ada yang tahu pasti, tapi mereka telah belajar untuk beradaptasi dalam kesengsaraan hidup.

Israel telah membatasi jangkauan nelayan hanya sejauh sepelemparan batu, karena Israel telah mengurangi jatah laut bagi nelayan Palestina di Laut Mediterania, sehingga bagi nelayan Gaza laut hanya sebuah kolam kecil dengan ikan yang sangat sedikit.

Disegelnya penyeberangan perbatasan telah mencegah terjadinya imigrasi yang sedang menjadi tren. Namun, bagi ribuan wisatawan, mereka menunggu penyeberangan dibuka untuk bisa masuk dan menyaksikan Jalur Gaza yang telah tidak ramah, tidak layak huni dan mimpi-mimpi berhancuran.

Tangisan anak Gaza, Palestina. (Foto: AFP)
Tangisan anak Gaza, Palestina. (Foto: AFP)

Petani Palestina pun telah menerima salah satu pukulan yang paling menghancurkan usaha mereka, ketika secara sewenang-wenang lahan pertanian di Gaza telah “dimakan” oleh zona penyangga yang diciptakan Israel. Petani akan terkena tembakan dari menara yang menargetkan objek bergerak di zona penyangga.

Namun, puluhan meter di luar garis gencatan senjata, petani Israel justeru diperbolehkan untuk membajak, menanam dan menggarap lahan pertanian.

Para petani Palestina berkubang dalam keraguan karena mereka tidak tahu kapan pesawat Israel akan menyemprot lahan pertanian mereka dengan racun, membuat tanaman mereka terbakar atau menyerang dan melibasnya.

Apa yang harus rakyat Palestina lakukan dalam lautan krisis? Listrik padam, BBM langka, gas untuk memasak dijatah, gerakan dibatasi, gaji ditunda, pengangguran melonjak dan penganiayaan konstan oleh pesawat Israel. Haruskah mereka hanya diam dan menerima penjajah karena memungkinkan mereka untuk bernapas?

Menurut Yair Golan, salah satu jenderal Israel, Israel adalah penjajah terakhir, bangsa yang menunjukkan “gejala mengerikan yang terjadi di masa Nazi Jerman”. Ini adalah pekerjaan yang secara terbuka menyerukan praktek rasis, genosida terhadap non-Yahudi.

Ini adalah bentuk penindasan terhadap rakyat Palestina yang berjuang melawan untuk bertahan hidup, dan dalam jangka panjang menuntut kebebasan, keadilan dan hak asasi manusia.

Israel telah menghadapi desakan internasional berulang-ulang agar mengakhiri pengepungannya di Gaza, tapi blokade tetap bertahan selama satu dekade.

Meskipun rakyat Palestina telah membayar dengan harga yang mahal dan sudah muak dengan perpecahan di antara faksi-faksi Palestina sendiri, tapi mereka dapat merebut kembali martabatnya dengan tidak berdiri diam saja di tengah agresi Israel ini. Namun, rakyat Palestina tidak mencari konfrontasi lain di Gaza.

“Kami tidak siap untuk perang lagi,” kata Alaa Rustom, seorang dokter sukarelawan di rumah sakit Al-Shifa. “Saya masih belum pulih dari yang sebelumnya. Rumah sakit dan seluruh kota ini masih belum pulih.”

Tidak peduli apa yang di hari-hari mendatang akan terjadi, tetapi rakyat Palestina akan menerimanya dengan ruh yang tidak pernah goyah.

Memang, rakyat telah belajar untuk beradaptasi dalam hidup mereka yang sengsara.

Rakyat Palestina harus menerima bahwa selama penjajahan Israel masih ada, situasi tidak akan pernah benar-benar “normal”. Cerita bagian terburuk dari Gaza akan selalu tetap dibuat untuk manusia.

Hapusnya penjajah dari tempat kejadian, maka akar penyebab kesengsaraan rakyat Palestina akan lenyap selamanya. (P001/P2)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.