Di tengah puing-puing reruntuhan dan jeritan kelaparan, Gaza justru menyuguhkan sebuah narasi yang mengguncang nurani dunia, di mana potongan-potongan video baru-baru ini dirilis gerakan perlawanan Palestina, yang memperlihatkan pejuang Palestina berdiri tegak menghadapi tank lapis baja penjajah, sementara para tentara Israel lari tunggang-langgang.
Pemandangan tersebut bukan sekadar tayangan heroik, ia adalah cermin dari kemuliaan perlawanan, keimanan tak tergoyahkan, dan keberanian yang lahir dari keyakinan bahwa kemenangan bukan soal waktu, tapi soal iman yang tetap menyala meski dunia memadamkannya.
Gaza: Di Antara Blokade, Bom, dan Keajaiban Ketabahan
Selama hampir dua tahun terakhir, Gaza menghadapi sebuah bentuk perang pemusnahan yang melampaui batas nalar kemanusiaan.
Sejak agresi genosida brutal penjajah Zionis Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, tanah Gaza berubah menjadi ladang maut terbuka, tempat di mana sekolah menjadi sasaran, rumah ibadah menjadi puing, dan keluarga kehilangan generasi. Dalam 24 jam terakhir saja, 39 orang tewas dan 317 luka-luka. Ini bukan sekadar data statistik, ini adalah pengulangan kematian massal yang diabaikan dunia.
Baca Juga: Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia dari Jantung Teluk Persia
Di balik statistik yang terus bertambah setiap hari, ada wajah-wajah manusia yang tak akan pernah kembali. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza, per 23 Juni 2025, jumlah korban jiwa di Jalur Gaza telah mencapai 55.998 orang, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan, mereka yang paling rentan dan paling tak berdosa dalam pusaran kekerasan ini. Tak kurang dari 131.559 orang lainnya luka-luka, banyak di antaranya kehilangan anggota tubuh, penglihatan, bahkan masa depan.
Yang lebih tragis, ribuan korban masih tertimbun di bawah reruntuhan, tak tersentuh ambulans atau regu penyelamat. Bukan karena tak ada niat, tetapi karena tank dan tembakan menghentikan setiap langkah penyelamatan. Blokade dan pemboman sistematis menjadikan pertolongan sebagai misi bunuh diri, dan membiarkan para korban perlahan meregang nyawa di bawah reruntuhan yang sunyi.
Sementara Data PBB menyebutkan 80% infrastruktur sipil Gaza hancur, termasuk rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan kamp pengungsian.
Namun di tengah kehancuran tersebut, dunia dikejutkan dengan cuplikan-cuplikan video yang menyebar secara viral: pejuang Palestina melangkah mantap ke arah tank Merkava Israel, simbol dominasi militer canggih, tanpa keraguan sedikit pun. Cuplikan lain memperlihatkan mereka menyusup lewat lorong bawah tanah, mengecoh pasukan elite IDF dengan jebakan terkoordinasi dan perhitungan strategis yang matang.
Baca Juga: Dari Bandung Menuju Al-Aqsa: Tadabbur Qs. Al Anfal Ayat 45-56 dan Spirit Perjuangan
Di balik layar perang asimetris ini, Gaza tidak hanya sedang bertahan hidup. Ia sedang membuktikan bahwa semangat tidak bisa diblokade, dan iman tidak bisa dibom.
Seni Bertahan dan Bertarung: Strategi di Balik Perlawanan
Pakar militer internasional telah mencatat bahwa taktik yang digunakan oleh pejuang Palestina semakin menunjukkan kompleksitas dan kematangan strategi. Perang ini bukan lagi hanya tentang melempar batu melawan senjata otomatis.
Dalam sejumlah tayangan yang dianalisis oleh lembaga-lembaga keamanan di Barat, terlihat bahwa perlawanan Palestina kini menggabungkan taktik gerilya klasik dengan operasi intelejen lokal, komunikasi terenkripsi, dan pemahaman mendalam tentang medan urban Gaza.
Mereka menggunakan apa yang disebut “perang kesadaran”, menyerang tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan moral. Video seorang pejuang yang maju ke arah tank, bukan hanya ditujukan untuk memukul mundur musuh secara militer, tetapi juga untuk mengirim pesan kepada dunia: “Kami tidak takut. Kami tidak menyerah. Kami percaya pada kemenangan.”
Baca Juga: Kata Situs Formula E tentang Jakarta
Keimanan Sebagai Sumber Daya Terbesar
Dalam dunia yang didikte oleh superioritas teknologi dan senjata pintar, Gaza mempertontonkan sesuatu yang tak terbeli oleh anggaran militer: iman. “Inilah akidah perlawanan di Gaza,” ungkap seorang ulama lokal dalam khutbah Jumat di Rafah yang disiarkan melalui radio bawah tanah. “Keimanan kepada janji Allah lebih kuat dari bom fosfor putih yang mereka jatuhkan.”
Ketika generasi di Barat bergumul dengan krisis identitas dan kehilangan makna, para pemuda Gaza tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup mereka mungkin singkat, tapi mereka hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Inilah yang menjelaskan mengapa, meski lapar dan terluka, mereka tetap menolak untuk tunduk.
Narasi Melawan Dehumanisasi
Sejak awal, perang ini bukan hanya perang wilayah, tetapi juga perang narasi. Israel, dengan dukungan sebagian besar media arus utama Barat, terus berusaha membingkai perlawanan Palestina sebagai terorisme, menghapus konteks penjajahan dan pendudukan brutal selama lebih dari 75 tahun.
Namun dalam era media sosial dan jurnalisme warga, tembok narasi itu mulai runtuh. Video-video dari Gaza, direkam dengan ponsel seadanya, menembus sensor dan algoritma, menyentuh hati umat manusia. Salah satu video memperlihatkan seorang anak kecil menggendong adiknya yang syahid, lalu menatap kamera dan berkata, “Kami tidak akan menyerah.” Tayangan ini telah ditonton jutaan kali, bahkan di negara-negara yang selama ini diam terhadap penderitaan Palestina.
Baca Juga: Dari Bandung untuk Al-Aqsa, Tabligh Akbar Menyatukan Umat dalam Ukhuwah dan Perjuangan
Keheningan Dunia, Gema dari Langit
Pertanyaannya kini: di mana posisi dunia? Mengapa negara-negara yang konon menjunjung tinggi hak asasi manusia tetap bungkam atau bahkan membenarkan genosida ini?
Mahkamah Internasional (ICJ) telah secara eksplisit menyatakan bahwa terdapat plausible case of genocide dalam kasus Gaza, mengacu pada gugatan Afrika Selatan terhadap Israel yang telah diterima dan diproses sejak Januari 2024. Namun, hingga kini, sanksi keras atau tekanan diplomatik belum diberlakukan secara luas.
Sementara itu, Gaza terus dibombardir, dan anak-anak terus kehilangan masa depan. Namun justru dalam keheningan dunia itu, terdengar gema dari langit: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki” (QS. Ali Imran: 169).
Harapan yang Tak Terkubur Reruntuhan
Setiap pejuang yang melangkah ke medan perang bukan dengan keyakinan akan hidup, tetapi dengan keyakinan akan kemenangan. Dalam pandangan mereka, kemenangan bukan diukur dari jumlah wilayah yang direbut, tetapi dari keberhasilan menjaga kehormatan dan kebenaran.
Baca Juga: 5 Adab Mulia yang Harus Diketahui Peserta Tabligh Akbar
Inilah yang membuat Gaza berbeda. Di tempat lain, kehancuran berarti akhir. Di Gaza, kehancuran adalah awal dari sebuah sejarah baru.
Kini dunia memiliki dua pilihan: menjadi saksi bisu dari genosida abad ke-21, atau menjadi bagian dari perubahan yang akan dikenang dalam sejarah. Palestina tidak meminta belas kasihan. Mereka meminta keadilan. Mereka tidak butuh air mata, mereka butuh keberanian dunia untuk berdiri di sisi yang benar.
Adalah tugas para jurnalis, aktivis, akademisi, dan rakyat biasa untuk terus mengangkat suara Gaza. Menulis, berbicara, berdonasi, dan menekan pemerintah agar tidak lagi bersikap netral terhadap penindasan.
Cahaya dari Bawah Reruntuhan
Dalam sebuah video terakhir yang dibagikan dari Gaza, terlihat seorang ibu menggenggam tangan putranya yang gugur, lalu berdoa dengan suara lirih: “Ya Allah, saksikan bahwa kami tidak menyerah.”
Baca Juga: Zionis Manfaatkan Serangannya ke Iran untuk Tutup Masjid Al-Aqsa
Mereka mungkin dibungkam oleh rudal, tetapi tidak oleh sejarah. Mereka mungkin kehilangan rumah, tapi tidak kehilangan kehormatan. Gaza sedang menulis babak baru dalam sejarah manusia, dengan darah, air mata, dan iman.
Jangan biarkan sejarah mencatat bahwa Anda diam saat kemanusiaan dirampas secara terang-terangan. Suarakan, sebarkan, dan berdirilah bersama Palestina. Mulailah dengan satu langkah: edukasikan diri Anda dan orang di sekitar Anda. Karena di saat dunia memilih untuk membisu, suara Anda bisa menjadi cahaya bagi mereka yang terkubur di kegelapan. Gaza memanggil. Apakah Anda akan menjawab?
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mengapa Israel Nekat Menyerang Iran?