Pesan Hari Solidaritas Internasional Palestina

Oleh: Rana Setiawan, Wartawan Kantor Berita MINA

Masyarakat dunia merayakan Internasional untuk Rakyat pada tanggal 29 November setiap tahunnya. Hari tersebut menandai 70 tahun setelah PBB mengadopsi sebuah resolusi yang memisahkan Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Setahun kemudian didirikan dengan memaksa mengusir jutaan orang Palestina.

Peringatan Hari Solidaritas Internasional dimaksudkan untuk menarik perhatian masyarakat dunia terhadap fakta bahwa permasalahan Palestina masih belum dapat diselesaikan, dan Rakyat Palestina belum menerima hak-hak mereka yang tidak dapat dicabut sebagaimana ditetapkan oleh Sidang Umum PPB.

Hal ini termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan pihak asing, hak untuk merdeka dan kedaulatan nasional serta hak pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah-rumah mereka. Juga pengakuan atas dukungan terhadap perjuangan mereka untuk mengakhiri pendudukan Israel dalam segala bentuk.

Pendudukan Israel adalah faktor utama yang menghalangi impian orang-orang Palestina dan menghambat pencapaian hak-hak mereka. Hal ini menciptakan dan memperburuk krisis kemanusiaan yang memengaruhi warga Palestina di Tepi Barat, Kota Al-Quds (Yerusalem) dan Jalur , serta membuat mereka kehilangan kendali atas aspek-aspek dasar kehidupan sehari-hari.

Menurut laporan PBB, ada 4,8 juta warga Palestina yang terkena dampak krisis ini, 2 juta di antaranya membutuhkan bantuan dan perlindungan penting. Sebagian besar terkena konflik, kekerasan, pengusiran dan akses terbatas terhadap mata pencaharian atau layanan dasar seperti air, perawatan kesehatan, tempat tinggal dan pendidikan.

Sementara menurut Organisasi Perburuhan Internasional adanya tindakan pendudukan Israel di wilayah-wilayah Palestina dan blokade yang diberlakukan di Jalur Gaza, menyebabkan pengangguran naik menjadi 412.800 orang. Dari jumlah tersebut, 243.800 orang berada di Jalur Gaza dan 169.000 orang tinggal di Tepi Barat. Sekitar 320.000 keluarga hidup di bawah garis kemiskinan; ribuan keluarga secara harfiah bergantung pada bantuan kemanusiaan dari badan internasional.

Pemindahan paksa warga Israel ke Palestina mengakibatkan 418 rumah dan 646 bangunan lainnya dihancurkan pada 2016, 40 persen di antaranya berada di Kota Al-Quds yang diduduki, menggusur sedikitnya 1.852 orang, termasuk 848 anak.

Lebih dari 8.000 orang, di mana setengahnya adalah anak-anak, telah terpengaruh oleh pembongkaran rumah mereka. Sebanyak 47.000 orang lainnya, kebanyakan anak-anak, perempuan dan orang tua, masih tanpa perlindungan sebagai akibat serangan militer Israel terhadap warga sipil di Gaza pada 2014 lalu.

Pasukan pendudukan Israel melanjutkan penahanan terhadap 7.000 tahanan Palestina yang tidak dapat dibenarkan, termasuk 330 dari Jalur Gaza, 680 dari Kota Al-Quds yang diduduki dan tanah yang diduduki sejak tahun 1948. Sekitar 6.000 dari Tepi Barat yang diduduki dan 34 dari berbagai negara Arab.

Sejak meletusnya gerakan perlawanan Rakyat Palestina yang dikenal Intifadah Al-Quds pada Oktober 2015 lalu, sekitar 4.000 anak telah ditangkap, di antaranya sekitar 300 orang masih dalam tahanan, dirampas sejak kecil dan mengalami pelecehan oleh Israel.

Israel telah memberlakukan sistem di wilayah Palestina yang membatasi pergerakan bebas orang dan barang. Kota Al-Quds telah terputus dari daerah pedalaman Tepi Barat, yang dilalui oleh lebih dari 600 pos pemeriksaan militer, di mana orang-orang Palestina mengalami penghinaan yang disengaja, pembunuhan tanpa pandang bulu dan kurangnya akses terhadap bisnis, sekolah dan tanah mereka.

Pendudukan tersebut telah memberlakukan blokade di Jalur Gaza selama 11 tahun. Menurut laporan lembaga pemantauan Timur Tengah yang bermarkaz di London, MEMO, ada sebuah sistem perizinan yang kompleks bagi orang-orang Palestina yang mencoba untuk pergi atau memasuki wilayah yang terblokade.

Banyak pihak mencoba memeras mereka untuk berkolaborasi dengan otoritas pendudukan Israel dengan imbalan izin keluar dan masuk Gaza melalui perbatasan yang dikontrol entitaz Zionis itu. Keterlambatan di perbatasan mempertaruhkan nyawa ratusan orang Palestina yang mencari perawatan medis penting di luar Gaza.

Upaya Israel untuk mengubah status quo wilayah bersejarah di Kota Al-Quds serta khususnya status dan integritas Masjid Al-Aqsha hanya dapat digambarkan sebagai upaya membahayakan yang menyeret ke dalam konflik agama.

Bahkan semua ini terjadi di depan mata dunia. Masyarakat internasional masih gagal untuk mengakhiri pendudukan Israel yang sudah berjalan selama 7 dekade di bumi para nabi itu. Organisasi internasional pun hingga saat ini masih belum dapat memperbaiki situasi kemanusiaan rakyat Palestina meski ada banyak resolusi PBB.

Dukungan

Pada Kamis 30 November 2017, Peringatan the International Day of Solidarity with the Palestinian People atau Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina digelar di Jakarta oleh Kedutaan Besar Palestina bersama dengan Pusat Informasi PBB (UNIC) dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Acara ini dihadiri oleh para Duta Besar negara sahabat, khususnya negara-negara Arab, Duta Besar Palestina untuk Indonesia yang baru Zuhair Al-Shun, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Yakhsyallah Mansur, Ketua Umum Aqsa Working Group (AWG) Agus Sudarmaji, serta beberapa lembaga dan NGO pembela Palestina.

Menteri Luar Negeri RI Retno L.P. Marsudi saat membuka acara menekankan pentingnya menjaga isu Palestina agar selalu menjadi pusat perhatian dunia. Indonesia juga berkomitmen untuk mendukung penuh berdirinya Negara Palestina yang merdeka dengan Ibu Kota Yerusalem Timur (Kota Al-Quds).

Selain dukungan untuk kemerdekaan, Indonesia juga mendorong komunitas internasional untuk melakukan rekonstruksi dan pemulihan ekonomi bagi Palestina lewat bantuan pembangunan. Boleh dibilang Indonesia adalah mitra utama pembangunan di Palestina.

Salah satu contoh nyata dukungan dalam pembangunan di Palestina adalah berdirinya Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza. Sebagai bentuk dukungan dan persahabatan, masyarakat Indonesia mengumpulkan uang untuk mendirikan sebuah rumah sakit di Gaza Utara, wilayah yang paling rentan terhadap serangan. Selama satu setengah tahun terakhir, lebih dari 300 ribu orang mendapat manfaat dari perawatan medis di sini.

Rumah Sakit Indonesia di Gaza berada di atas sebuah bukit di luar Jabalya, kamp pengungsi terbesar di Gaza. Jaraknya hanya tiga kilometer dari perbatasan Israel.

Rumah sakit itu dinamakan Rumah Sakit Indonesia karena dibangun dengan menggunakan uang Rakyat Indonesia. Sumbangan yang terkumpul mencapai 120 miliar rupiah dan disalurkan melalui LSM yang menginisiasi pembangunan rumah sakit tersebut, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C). Pembangunan RS ini dimulai pada Januari 2009 lalu.

RS Indonesia dengan luas bangunan sekitar 10.000 meter persegi itu dibangun oleh lembaga medis kemanusiaan MER-C Indonesia bersama para relawan jaringan Pondok Pesantren Al-Fatah se-Indonesia di bawah naungan Jama’ah Muslimin (Hizbullah). RS Indonesia dibangun di lahan seluas 16.261 meter persegi yang merupakan wakaf dari pemerintah Palestina.

Indonesia juga tak henti-hentinya berkomitmen melanjutkan program pembangunan kapasitas (capacity building) sesuai kebutuhan Palestina dalam berbagai bidang. Pada periode 2008-2015 saja, Indonesia sudah memprakarsai lebih dari 135 program capacity building yang diikuti sekira 1.364 warga Palestina.

Harapan

Pada hari solidaritas internasional mereka, orang-orang Palestina bercita-cita untuk melihat kenyataan yang lebih baik dan masa depan yang menjanjikan bagi anak-anak mereka. Mereka tidak menunggu seminar, konferensi, festival dan publikasi peningkatan kesadaran sebanyak tindakan nyata yang memungkinkan mereka bergerak bebas tanpa pembatasan, sesuai Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia.

Mereka ingin melihat tahanan mereka dibebaskan dari penjara Israel, dan mereka ingin memiliki kesempatan kerja yang layak untuk meningkatkan partisipasi sosial dan politik.

Rakyat Palestina menginginkan diakhirinya pemindahan paksa dan penghancuran rumah; mereka menginginkan lingkungan yang sehat dan perumahan yang layak; mereka ingin akses mudah menuju fasilitas medis dan pendidikan yang bersumber dengan baik; dan mereka ingin bisa melakukan perjalanan tanpa diberlakukan pembatasan. Mereka berharap untuk mengakhiri blokade Gaza.

Penderitaan rakyat Palestina pada umumnya, dan terutama di Jalur Gaza, menuntut intervensi masyarakat internasional. Ketidakadilan dan penindasan tentu sumber munculnya berbagai aksi kekerasan dan ekstremisme.

Pada Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina, penderitaan Rakyat Palestina tetap menyakitkan untuk dilihat dan dirasakan. Setiap tahun kita diingatkan akan komitmen masyarakat dunia untuk mendukung dan membantu perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaanya, dan kemauan untuk meminta otoritas pendudukan Israel bertanggung jawab atas berbagai kejahatannya.

Sejatinya, Peringatan ini juga sebagai bentuk kecaman keras terhadap penistaan yang dilakukan ekstrimis Yahudi Israel terhadap Palestina dan Masjid Al-Aqsha. Bentuk penolakan segala campur tangan Israel dalam pengelolaan Masjid Al-Aqsha, termasuk pembagian waktu dan tempat khusus bagi umat Yahudi, serta keputusan otoritas Israel yang melarang mengumandangkan adzan di masjid-masjid Palestina. (A/R01/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.