Oleh: M. Fuad Nasar, Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam islam/">Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia
Isra dan Mi’raj adalah kejadian luar biasa yang dialami Nabi Muhammad SAW pada malam 27 Rajab tahun ke-12 dari kenabiannya atau 8 bulan sebelum Nabi hijrah ke kota Madinah.
Berdasarkan riwayat yang mutawatir dan tidak sedikit pun keraguan di hati orang beriman untuk mempercayainya bahwa Nabi Muhammad diperjalankan pada tengah malam dengan ruh dan jasad sekaligus secara kilat, dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, Yerusalem, Palestina, yang diberkahi sekeliling perjalanannya.
Dari Baitul Maqdis dibawa “naik” menembus tujuh lapis langit (ruang angkasa) hingga ke Sidratul Muntaha. Di sinilah Nabi mendengar langsung goresan kalam Allah SWT. Sebelum shubuh, Nabi telah kembali dari perjalanan yang bernilai istimewa bagi seluruh umatnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Sesaat sebelum perjalanan jauh pada malam itu Nabi Muhammad menjalani pembedahan oleh malaikat, di pinggir telaga zamzam dekat Ka’bah di Mekkah. Pada proses pembedahan, hati dan jantung Nabi dibersihkan. Dalam perjalanan yang amat spektakuler itu Nabi Muhammad menggunakan kendaraan Buraq, ditemani Malaikat Jibril.
Nabi Muhammad juga mengunjungi tempat-tempat bersejarah, yaitu Yastrib (kota yang kemudian menjadi tempat hijrah Nabi), Thursina (bukit tempat Nabi Musa menerima wahyu Ilahi dua puluh abad sebelum Muhammad yaitu Ten Commadment), Betlehem (perkampungan tempat lahirnya Nabi Isa), Madyan (tempat Nabi Syu’aib pertama kali mengembangkan ajaran Allah), dan Masjidil Aqsha sebagai tempat perhentian akhir yang dalam Al-Quran dinamakan “masjid yang terjauh”.
Peristiwa Isra dan Mi’raj disebut oleh Dr. Wahbah Zuhaily sebagai suatu “perjalanan Ilahiyah” yang tiada bandingnya dan hanya berlaku satu kali di dalam sejarah. “Tidak pernah ada di dalam sejarah kemanusiaan suatu peristiwa yang berhak untuk dibanggakan dan dikagumi, diagungkan dan dianggap suci seperti halnya Isra’ dan Mi’raj yang menjadi mukjizat, lambang kebesaran dan kehormatan bagi Nabi-Rasul Islam, Muhammad SAW.” tulis Wahbah ulama besar asal Suriah dalam Wa’yul Islamy edisi No 79 tahun 1971.
Peristiwa Isra dan Mi’raj terjadi pada abad ke-7 M diungkapkan dalam ayat Al-Quran dan Hadis. Sebuah rangkaian mukjizat yang membuka horison perkembangan ilmu fisika, kedokteran, antariksa, psikologi, futurologi dan sebagainya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Peristiwa pembedahan yang dialami Nabi, menginspirasi tindakan pembedahan dalam ilmu kedokteran. Sarana kendaraan supercepat yaitu Buraq mengilhami penemuan kendaraan cepat yang menghubungkan jarak geografis di muka bumi. Isra dan Mi’raj telah membangun imajinasi penerbangan luar angkasa serta penemuan teknologi untuk mewujudkannya.
Kisah pembedahan dada yang dialami Nabi telah mendorong dokter-dokter Arab muslim untuk memecahkan rahasianya beberapa abad kemudian. Ibnu Siena (980 – 1037) memelopori cara pengobatan pasien dengan metode pembedahan (operasi).
Kisah Isra dan Mi’raj sekaligus menginspirasi Ibnu Siena yang merupakan Bapak Kedokteran Islam dan mahaguru bagi para dokter di Barat yang punya bakat sastrawan sehingga menulis novel Risalah et Thayr (Cerita Tentang Burung). Seorang ilmuwan Barat yakni Wenberg mengatakan bahwa ini adalah alasan tentang adanya manusia terbang.
Abbas Ibnu Firnas (810 – 887) tercatat sebagai ilmuwan muslim dan first aviator penemu pembuatan konstruksi alat terbang bersayap menyerupai burung dan berhasil menerbangkannya di Cordoba, Spanyol pada abad ke-IX. Abbas Ibnu Firnas terinspirasi dari kisah peristiwa Isra dan Mi’raj.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Nabi Muhammad dalam perjalanan Mi’raj-nya ke luar angkasa dipertemukan dengan arwah para Nabi dan Rasul terdahulu. Dalam perjalanan mukjizatnya Nabi menyaksikan secara “visual” reward and punishman yang bakal diterima manusia di akhirat nanti setelah berpindah dari alam duniawi. Suatu moral necessity (keharusan moral) dan konsekuensi yang bersifat pasti atas setiap perbuatan baik atau perbuatan buruk dan kejahatan di dunia ini.
Saat audiensi di Sidratul Muntaha, Muhammad Rasulullah menerima perintah mendirikan shalat lima waktu langsung dari Allah SWT. Shalat merupakan syariat yang abadi kepada seluruh umat Nabi Muhammad. Shalat satu-satunya syariat Islam yang diterima Rasulullah tanpa melalui Malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu yang terpercaya. Memperingati Isra dan Mi’raj mengandung makna memperingati diturunkannya kewajiban menegakkan shalat sebagai tiang agama.
Selain menyingkap tabir tanda-tanda kekuasaan Allah, Isra dan Mi’raj mengabadikan kewajiban shalat sebagai kebutuhan ruhani yang menghubungkan jiwa manusia dengan Allah Maha Pencipta. Di mana saja dan dalam kesibukan apa pun, suara adzan yang memanggil untuk shalat lima waktu mengingatkan bahwa kehidupan dunia harus selalu terkait dan dikaitkan dengan Allah. Panggilan adzan menjadi pengingat bahwa Allah Maha Besar dan hanya Dia (Allah) yang berhak disembah dan diagungkan di alam semesta.
Isra dan Mi’raj sebagai peristiwa besar dalam sejarah yang sangat menakjubkan membentuk prinsip atau semboyan hidup “Dari Masjid Ke Masjid” atau From Mosque to Mosque. Masjid melambangkan kesucian jiwa, pikiran dan perbuatan. Masjid adalah tempat manusia bersama-sama menghubungkan dirinya kepada Allah dan merawat persaudaraan antar-sesama hamba-Nya tanpa membedakan status dan jabatan. Oleh karena itu, nilai-nilai kesucian dan kebenaran harus senantiasa terjaga dalam segala situasi.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Semboyan Dari Masjid ke Masjid, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh ulama Indonesia H. Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Kisah Isra dan Mi’raj, adalah suatu semboyan yang hidup, yang menanamkan di hati setiap mukmin akan perasaan kesucian pada setiap melakukan perjalanan, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Berjalanlah ke seluruh tempat di tanah air, ke kota-kota atau pun kampung dan desa, dari pulau ke pulau dan dari kota ke kota, tetapi berangkatlah dengan mensucikan hati dan niat di dalam perjalanan itu, sebagai sucinya niat Nabi Muhammad di dalam Isra-nya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.
Mac Arthur di dalam Perang Dunia II dahulu sewaktu hendak mengalahkan Jepang, dia memakai semboyan “From Island to Island” (dari pulau ke pulau) dengan arti dia merebut dari satu pulau ke pulau yang lainnya.
Maka Muhammad dalam perjalanannya bukanlah hendak merebut kemenangan dalam perang, seperti Jenderal Mac Arthur, tetapi Nabi hendak mencari kesucian dan perdamaian abadi yang sejati. Maka sebab itu semboyan perjalanannya ialah Dari Masjid ke Masjid atau From Mosque to Mosque.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Wallahu a’lam bisshawab.
(AK/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran