Pesepak Bola Mo Salah di Tengah Ombak Islamophobia

Oleh: Rendy Setiawan, wartawan MINA

Ombak diidentikkan dengan proses naik turunnya gelombang air laut. Sementara secara singkat diartikan, ketakutan terhadap segala sesuatu tentang Islam. Lebih Jelasnya, Islamophobia adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir apapun yang kuat tentang Islam. Jika Islamophobia diasumsikan sebagai air laut, maka saat ini ombaknya tengah tinggi.

Pada 1997 lalu, sebuah lembaga kajian di Inggris, Runnymede Trust, menggambarkan Islamophobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan, oleh karena itu, juga pada semua Muslim.

Hal tersebut merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Islam juga dipersepsikan tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain. Islam dianggap lebih rendah dibanding budaya Barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama yang beradab.

Menilik situs Wikipedia, Islamophobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer pasca peristiwa serangan 11 September 2001 terhadap World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS).

Berbagai sumber telah menyugestikan adanya kecenderungan peningkatan dalam Islamophobia, sebagian diakibatkan oleh serangan 11 September. Sementara yang lainnya berhubungan dengan semakin membludaknya Muslim di dunia Barat dalam beberapa windu terakhir.

Pada Mei 2002, Lembaga Pusat Pemantauan Eropa tentang Rasisme dan Xenophobia (European Monitoring Center on Racism and Xenophobia/EUMC) mengeluarkan laporan berjudul “Summary report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001” menggambarkan peningkatan Islamophobia di Eropa setelah 11 September.

Temuan laporan itu menunjukkan bahwa komunitas Muslim dan kelompok rentan lainnya, khususnya di AS dan Eropa, menjadi sasaran meningkatnya permusuhan terhadap Islam sejak insiden 11 September. Rasa takut yang lebih besar di kalangan masyarakat umum memperburuk prasangka yang sudah ada memicu tindakan agresi dan pelecehan di negara-negara di Eropa.

Mereka yang berpaham Islamophobia adalah mereka yang memiliki persepsi keliru tentang Muslim, berprasangka buruk kepadanya, dan menyatakan bahwa Islam adalah agama yang penuh kebencian, kekerasan, intoleran dan membatasi umatnya dengan segala larangan-larangan. Padahal, Islam dalam ajarannya pun melarang kekerasan, kebencian secara membabi buta, dan intoleransi yang berlebihan.

Pengaruh

Di tengah demam Islamophobia, pesepak bola Muslim justru menjamur di Liga-liga Top Eropa. Setelah aksi berani dari seorang pesepak bola Muslim asal Mali, Frederic Kanoute, yang secara blak-blakan mendukung perjuangan Palestina pada 2009 silam usai mencetak gol saat membela klubnya di Spanyol, Sevilla, nyaris tak ada pemain Muslim lain yang berani menunjukkan jati dirinya.

Belakangan, phobia para pesepak bola Muslim di Eropa terhadap kemungkinan ancaman hukuman, hingga ancaman pembunuhan terhadap orang-orang terdekat mereka mulai terkikis. Dalam tiga tahun terakhir sejak 2015 lalu, pesepak bola Muslim justru semakin menampakkan diri identitas Muslimnya.

Ada beberapa nama pesepak bola Muslim beken seperti Mesut Ozil (Arsenal), Alexandre Lacazette (Arsenal), Paul Pogba (Manchester United), Karim Benzema (Real Madrid), Ousmane Dembele (Barcelona), N’golo Kante (Chelsea), Sadio Mane (), hingga Mohamed Salah (Liverpool).

Malah, nama terakhir yang disebutkan, menjadikan markas klub yang dibelanya, Liverpool, tak pernah sepi dari yel-yel dukungan puluhan ribu “Liverpudlian” sebagai fans fanatik Liverpool, terhadap Muslim saat bertanding di kandang mereka, Stadion Anfield. Meski di musim keduanya bermain untuk Liverpool, Mo Salah tak terlalu moncer seperti musim sebelumnya.

“Mo Sa-la-la-la-lah/Mo Sa-la-la-la-lah,” demikian bunyi chant terbaru para suporter Liverpool, “If he’s good enough for you/ he’s good enough for me. If he scores another few/ then I’ll be Muslim too. If he’s good enough for you/ he’s good enough for me. He’s sitting in the mosque that’s where I wanna be.” (Jika dia cukup baik untukmu/ dia cukup baik untukku. Jika dia mencetak beberapa gol lagi/ kemudian saya akan menjadi Muslim sepertinya. Jika dia cukup baik untukmu/ dia cukup baik untukku. Dia duduk di masjid di tempat yang aku inginkan).

Lalu, Bagaimana dengan Islamophobia di Sana?

Lirik “ingin menjadi seorang Muslim” dalam chant tersebut menjadi menarik dalam konteks pandangan masyarakat Inggris terhadap orang-orang Muslim. Islamophobia di Barat memang sedang menjadi gejala umum, termasuk di Inggris. Korbannya tidak hanya orang yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang memiliki ciri-ciri fisik yang sering diasosiasikan dengan orang Muslim seperti warna kulit dan janggut.

Di kala Inggris sedang berjuang melawan Islamophobia, dan ketika kebijakan-kebijakan pemerintah di sana telah menciptakan suatu lingkungan yang kurang bersahabat bagi para imigran Muslim, Mo Salah hadir sebagai seorang Afrika Utara dan seorang Muslim taat yang tak hanya diterima namun juga dipuja oleh publik.

Bagi Liverpudlian, Mo Salah bukan hanya sekedar pesepak bola Muslim biasa, tetapi ikon baru bagi The Reds -julukan Liverpool- setelah kepergian kapten mereka, Steven Gerrard, beberapa tahun lalu. Mo Salah dianggap sebagai “penyelamat” Liverpool di tengah dahaga juara yang sudah menghantui Anfield sejak terakhir kali menjuarai Liga Premier Inggris, lebih dari dua dekade silam.

Beasiswa Mo Salah

Kegemilangan Mo Salah sebagai bintang Liverpool berbuah pada beasiswa dengan menggunakan nama pesepak bola Muslim berdarah Mesir tersebut. Universitas Liverpool dengan senang hati memberikan beasiswa untuk siswa-siswa dari negara Afrika yang berencana memulai program sarjana dan pascasarjana mereka yang akan diajarkan mulai November 2018.

Menurut laporan Cheap Scholarship yang dikeluarkan pada November 2018 ini, beasiswa tersebut diadakan untuk memberikan biaya kuliah penuh berupa: akomodasi, dana, dan pengembangan akademik yang mulai dari US 500 dollar hingga US 2.000 dollar, tergantung pada lama belajarnya.

Pemain berjuluk “Prostrating Firaun” tersebut berhasil memecahkan beberapa rekor bersama klub sepakbola Liverpool. Salah mencetak 44 gol dalam 52 penampilan di semua kompetisi musim lalu sembari membantu Liverpool melaju ke babak final Liga Champions.

Sebuah laporan terbaru oleh komunitas sepakbola penentang rasis di Eropa “Fare” menemukan bahwa keberhasilan Mo Salah secara signifikan telah mengurangi deskriminasi dan kebencian terhadap ras di Liga Premier Inggris.

Di kalangan masyarakat Inggris, Islamophobia dinilai masih sangat tinggi. Dalam laporan Muslim Council of Britain pada akhir tahun 2017 menyebutkan, mayoritas penduduk Inggris percaya jumlah populasi Muslim di negaranya sebesar 17 persen, padahal kenyataannya hanya 5 persen. Sebanyak 37 persen dari mereka mengakui akan cenderung mendukung kebijakan untuk mengurangi jumlah Muslim di Inggris, dan sebanyak 62 persen setuju Inggris bakal kehilangan identitasnya jika lebih banyak Muslim tinggal di negeri Ratu Elisabet tersebut.

Apa yang dilakukan Mo Salah di Liverpool bisa menjadi contoh bagi pemuda Muslim di seluruh dunia untuk bagaimana menampilkan wajah Islam sesungguhnya yang selama ini sering luput atau hilang dari tangkapan kamera media-media besar, yaitu Islam yang modern, penuh kasih sayang, dan berprestasi. (A/R06/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.