Pesta Nikah di Medan Perang Gaza

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Tak peduli perang melanda, bombardir sewaktu-waktu menyasar tempat warga, puluhan pemuda dan pemudi di Jalur tetap bertekad melaksanakan salah satu sunnah Nabi yakni menikah. Tetaplah ada sedikit pesta kecil di antara reruntuhan bangunan dan sempitnya kehidupan ekonomi.

Blokade isolasi darat, laut dan udara oleh penjajahan Israel sejak 2007, tak membuat niat beribadah menikah menjadi surut.

Ini seperti puluhan pasangan muda yang menikah pada musim panas ini. Salah satu pasangan yang tengah berbahagian itu adalah Saed Abu Aser (22 tahun) dan Falasteen (17 tahun).

Pernikahan mereka berlangsung di lingkungan mereka, di kawasan pesisir Jalur Gaza, SFGate Online melaporkan.

Mereka menyambutnya dengan gembira walau sedang mengalami fase kesulitan sehari-hari.

“Saya sungguh sangat senang. Terima kasih untuk keluarga saya, teman-teman saya dan tetangga saya yang telah membantu dan mendukung saya,” kata pengantin pria Saed.

Mempelai wanita, Falasteen, masih tergolong sepupunya sendiri dari keluarga miskin. Walau sebenarnya belum terbiasa dalam masyarakat Palestina, seorang pria menikahi sepupu perempuannya.

‘Pesta’ sederhana pun berlangsung mulai pada hari sebelum prosesi pernikahan, dengan pesta menari bersama di kalangan mempelai pria  da teman-temannya, diiringi lagu-lagu khas Arab setempat.

Tawa riang seolah menghapus sesaat duka akibat perang, di antara binar-binar mata ceria dan dari wajah berkeringat mereka.

Pada hari pernikahan, keluarga berkumpul untuk makan siang bersama. Mempelai pria pun mengenakan setelan jas hitam. Sementara mempelai perempuan mengenakan gaun putih, dan dengan wajah cerah dengan bedak putih.

Setelah akad , mereka pun menggelar resepsi pernikahan di aula. Sang penganti diiring dalam konvoi mobil serta bunyi klakson yang saling bertautan.

Adapun semua biaya di samping tabungan yang mereka kumpulkan, juga sebagian pinjaman dan lainnya adalah sumbangan teman-temannya.

Keterbatasan biaya sementara keinginan berumah tangga dalam usia produktif mesti dipenuhi. Terlebih ini akan berpengaruh signifkan terhadap jumlah umat Muslim yang akan menjadi para pejuangan Palestina.

Maka, digulirkanlah program nikah massal, yang merupakan kerjasama pemerintah setempat didukung pendanaan dari muhsinin (donatur) luar, yang terbesar dari Turki dan Uni Emirat Arab.

Misalnya, akhir tahun 2015 lalu, sejumlah 400 pasangan  melangsungkan pernikahan massal di pusat Kota Gaza. Acara diselenggarakan oleh Pusat Palestina untuk Komunikasi Manusia (FTA) dengan dana yang disumbangkan oleh Yayasan Kemanusiaan Khalifa bin Zayed Al -Nahayan UEA.

Pertengahan tahun 2016, Juli lalu juga, sejumlah 330 pasangan muda Gaza turut ambil bagian dalam upacara pernikahan massal yang diselenggarakan di Beit Lahia, utara kota Gaza.

Masyarakat Gaza ikut memeriahkan acara yang didanai Yayasan Amal Turki, berbaur dengan anggota Dewan Legislatif Palestina yang hadir. Mereka pun melakukan tarian tradisional khas Palestina yang disebut Dabkeh.

Pasangan yang menikah juga diberikan uang penggembira sebesar 700 dolar (sekitar Rp9 jt) untuk memulai hidup baru.

Seperti dilaporkan Islamedia, Kepala Deputi Biro Politik Hamas Ismail Haniyah yang juga turut hadir menyatakan dalam pidatonya, bahwa nikah massal itu adalah perayaan hidup dan kegembiraan meskipun blokade dan luka yang diakibatkan serangan berulang Zionis Israel ke Jalur Gaza.

Semoga Allah limpahkan barokah untuk pasangan-pasangan warga Palestina di Jalur Gaza, dan semoga kelak dari mereka akan terlahir lagi generasi pejuang pembebasan Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Aamiin. (P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.