Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PETA GEOPOLITIK PERANG YAMAN

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 8 April 2015 - 11:34 WIB

Rabu, 8 April 2015 - 11:34 WIB

2156 Views

Nazemroaya

Mahdi Darius Nazemroaya (voltairenet)

Oleh: Mahdi Darius Nazemroaya, Analisis Scientific Committee of Geopolitica, Italia

Amerika Serikat dan Kerajaan Arab Saudi menjadi sangat gelisah ketika gerakan Houthi Yaman menguasai ibukota Yaman, Shana’a pada bulan September 2014.

Presiden Yaman Abd-Rabbo Mansour Al-Hadi merasa dipermalukan dipaksa untuk berbagi kekuasaan dengan Houthi dan koalisi suku Yaman Utara yang telah membantu Houthi masuk Shana’a.

Al-Hadi pun terguling dari kursi kekuasaannya. Tersingkirnya Presiden Al-Hadi oleh Houthi dan sekutu politik mereka, berdampak reaksi Al-Hadi yang berencana meminta bantuan Washington dan Riyadh.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Gedung Putih dan Kerajaan Saudi tidak pernah menduga sebelumnya kalau Houthi kemudian menyingkirkan Al-Hadi dari tampuk kekuasaan. Setelah ia menjadi presiden, setelah Ali Abdullah Saleh terpaksa menyerahkan kekuasaannya pada tahun 2011.

Kudeta?

Pada awalnya, ketika Houthi mengambil alih Shana’a pada akhir 2014, Houthi menolak usulan Al-Hadi untuk penawaran baru perjanjian pembagian kekuasaan formal. Houthi menganggap Al-Hadi telah gagal dan telah mengingkari janji sebelumnya untuk berbagi kekuasaan politik.

Pada saat itu, hubungan Presiden Al-Hadi dengan Washington telah membuatnya sangat tidak populer di kalangan mayoritas penduduk Yaman.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Pada 8 November 2014, partai Presiden Al-Hadi sendiri, The Yemenite General People’s Congress (al-Mu’tamar asy-Syi’bi al-‘Am), akan mengeluarkan Al-Hadi sebagai pemimpinnya juga.

Huthi akhirnya merebut istana presiden dan gedung-gedung pemerintah Yaman lainnya pada 20 Januari 2015. Dua minggu kemudian, Houthi resmi membentuk pemerintahan transisi Yaman. Pada 6 Februari Al-Hadi terpaksa mengundurkan diri.

Pengunduran diri Al-Hadi adalah kemunduran bagi kebijakan luar negeri AS. Hal itu akan berdampak pada mundurnya militer dan operasional badan intelejen pemerintah federal AS CIA (The Central Intelligence Agency) di Yaman.

The Los Angeles Times melaporkan pada tanggal 25 Maret, mengutip para pejabat AS, bahwa Houthi telah mendapatkan rahasia AS pada berbagai dokumen rahasia ketika mereka merebut Biro Keamanan Nasional Yaman, yang selama bekerja sama dengan CIA, yang dikompromikan sebagai operasi Washington di Yaman.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Al-Hadi pun kemudian melarikan diri dari ibukota Yaman Shana’a ke Aden, di bagian Selatan Yaman,  pada tanggal 21 Februari. Lalu menyatakan ibukota sementara Yaman di Aden pada 7 Maret.

AS, Perancis, Turki, dan sekutu Eropa Barat mereka menutup kedutaan mereka di Yaman. Segera setelah itu, dalam apa yang mungkin disebut sebagai langkah terkoordinasi, AS, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab semua memindahkan kedutaan mereka ke Aden dari Shana’a.

Al-Hadi mencabut surat pengunduran dirinya sebagai presiden dan menyatakan bahwa ia membentuk pemerintahan di pengasingan.

Houthi dan sekutu politik mereka menolak untuk memenuhi tuntutan AS dan Arab Saudi, yang memang diminta bantuannya oleh Al-Hadi di Aden. Melalui Menteri Luar Negeri Al-Hadi, Riyadh Yasin, meminta Arab Saudi dan sekutunya di Arab untuk bantuan militer mencegah Houthi, menghentikan kontrol wilayah udara Yaman. Pada 23 Maret Yasin mengatakan kepada Saudi Al-Sharq Al-AWSA bahwa kampanye pengeboman lewat udara diperlukan dan bahwa zona larangan terbang harus dikenakan atas Yaman.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Kelompok Houthi menyadari bahwa perjuangan militer akan dimulai. Inilah mengapa kemudian Houthi dan sekutu mereka di militer Yaman bergegas untuk mengendalikan banyak lapangan udara militer Yaman dan pangkalan udara, seperti Al-Anad, secepat mungkin. Mereka pun bergegas untuk mengejar Al-Hadi ke Aden pada tanggal 25 Maret.

Namun, pada saat Houthi dan sekutu mereka memasuki Aden, Al-Hadi telah melarikan diri dari kota melalui pelabuhan Yaman. Al-Hadi kemudian diketahui muncul di istana Arab Saudi ketika koalisi Arab memulai menyerang Yaman pada 26 Maret.

Dari Arab Saudi, Abd-Rabbo Mansour Al-Hadi kemudian terbang ke Mesir menghadiri Pertemuan Liga Arab untuk melegitimasi perang Yaman.

Strategi Kawasan

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Houthi mengambil alih Shana’a dalam rentang waktu yang bersamaan dengan serangkaian keberhasilan atau kemenangan regional di Iran, Hizbullah Lebanon, dan Suriah. Hal tersebut dianggap membentuk kekuatan kolektif wilayah.

Persamaan strategis di Timur Tengah mulai bergeser karena menjadi jelas bahwa Iran dianggap menjadi pusat keamanan dan stabilitas kawasan.

Saudi dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mulai mengeluhkan hal tersebut dan menyebut bahwa Iran mulai mengendalikan empat ibukota terpenting di kawasan, Beirut, Damaskus, Baghdad, dan Shana’a. Saudi dan Israel mengajukan permintaan untuk menghentikan ekspansi Iran lebih luas lagi. Sebagai hasil dari persamaan strategis baru tersebut, Israel dan Saudi menjadi selaras dengan satu tujuan utama menetralisir Iran dan sekutu regionalnya.

Duta Besar Israel, Ron Dermer kepada Fox News pada 5 Maret menyatakan keselarasan Israel dan Arab Saudi tersebut.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Namun, kekhawatiran pengaruh kawasan tersebut kurang ditanggapi pihak AS. Menurut jajak pendapat Gallup, hanya 9% dari warga AS yang memandang Iran sebagai musuh terbesar dari Amerika Serikat. Pada waktu itu, Netanyahu sendiri tiba di Washington untuk berbicara menentang kesepakatan nuklir antara AS dan Iran.

Geo-Strategis AS

Kerajaan Arab Saudi telah lama menganggap Yaman sebagai semacam provinsi bawahan dan sebagai bagian dari lingkup pengaruh  Riyadh. AS ingin memastikan bahwa hal itu bisa mengendalikan daerah strategis Yaman, Bab Al-Mandeb, Teluk Aden, dan Kepulauan Socotra .

Bab Al-Mandeb adalah titik strategis yang penting bagi pengiriman perdagangan dan energi jalur perairan internasional yang menghubungkan Teluk Persia melalui Samudera Hindia dengan Laut Mediterania melalui Laut Merah. Hal ini sama pentingnya dengan Terusan Suez untuk jalur perairan dan perdagangan antara Afrika, Asia, dan Eropa.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Israel juga khawatir, dengan kontrol Yaman bisa jadi memotong akses Israel ke Samudera Hindia melalui Laut Merah, dan mencegah kapal selam masuk ke Teluk Persia untuk mengancam Iran.

Inilah sebabnya mengapa kontrol Yaman sebenarnya adalah salah satu poin penting pembicaraan Netanyahu di Capitol Hill, saat ia berbicara kepada Kongres AS tentang Iran, pada tanggal 3 Maret lalu. New York Times mempublikasikan pidato Netanyahu pada 4 Maret.

Arab Saudi sendiri tampaknya takut bahwa Yaman bisa akan sejalan dengan Iran dan khawatir dapat mengakibatkan pemberontakan baru di Semenanjung Arab terhadap Kerajaan Saudi.

AS juga khawatir tentang hal ini, dalam perspektif persaingan global. AS berkehendak mencegah pengaruh Iran, Rusia, dan China dari memiliki pijakan strategis di Yaman. Ditambah lagi pentingnya geopolitik Yaman dalam mengawasi strategis perairan dan rudal persenjataan militernya.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

AS melihat rudal Yaman bisa mengancam kapal-kapal di Teluk Aden atau Bab Al-Mandeb. Maka, dalam hal ini, serangan Saudi ke Yaman merupakan jalan strategis menjalankan kepentingan AS dan Israel di kawasan itu.

Kemudian Riyadh mengancam akan mengambil tindakan militer jika Houthi dan sekutu politik mereka tidak bernegosiasi dengan Al-Hadi.

Akhirnya, sebagai hasil dari ancaman Saudi, meluncurlah serangan udara koalisi Arab menyerang Houthi Yaman pada tanggal 25 Maret.  Amerika Serikat, Arab Saudi, Bahrain, UEA, Qatar, dan Kuwait pun mulai mempersiapkan untuk menaikkan ulang Al-Hadi sebagai penguasa Yaman.

Koalisi Arab

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Untuk mengokohkan pembicaraan tentang Arab Saudi sebagai kekuatan regional, Saudi menganggap terlalu lemah untuk menghadapi Iran sendirian. Saudi pun kemudian menyusun strategi memperkuat sistem aliansi regional untuk membuat blok konfrontasi dengan Iran. Dalam hal ini Arab Saudi memerlukan sumbu kawasan Mesir-Turki-Pakistan untuk membantu menghadapi Iran dan sekutu regionalnya.

Putera Mahkota Saudi Mohammed bin Zayed bin Sultan Al-Nahyan, Putera Mahkota Emirat dan wakil komandan tertinggi militer UEA, bermaksud mengunjungi Maroko untuk berbicara tentang respon militer kolektif ke Yaman.

Di sisi lain, Al-Hadi meminta Arab Saudi dan organisasi kawasan Teluk  Gulf Cooperation Council (GCC) untuk membantu serangan militer mengintervensi Yaman.

Dari seluruh anggota GCC itu (GCC terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar dan UEA), Kesultanan Oman menolak untuk bergabung dalam serangan ke Yaman.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Muscat, ibukota Oman, memiliki hubungan persahabatan yang baik dengan Teheran. Selain itu, Oman merasa jenuh dengan proyek Saudi dan GCC yang menggunakan sektarianisme untuk menyalakan konfrontasi dengan Iran dan sekutunya.

Mayoritas penduduk Oman adalah Muslim, tetapi tidak menyebut Muslim Sunni atau Muslim Syi’ah. Mereka menyebut Muslim Ibadi yang takut mengipasi hasutan sektarian dengan sesamanya.

Propagandis masuka ke Saudi dan memberikan klaim bahwa perang merupakan upaya menghambat pengaruh Iran di perbatasan Arab Saudi. Turki baru akan mengumumkan dukungannya bagi perang di Yaman.

Al-Sisi Mesir menyatakan bahwa keamanan Kairo dan keamanan Arab Saudi merupakan satu kawasan. Namun, Mesir mengatakan bahwa negaranya tidak akan terlibat dalam perang di Yaman pada tanggal 25 Maret. Akan tetapi hari berikutnya, Kairo bergabung ke Arab Saudi dalam serangan ke Yaman, dengan mengirimkan jet dan kapal ke Yaman.

Hal senada dinyatakan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif dalam sebuah pernyataan pada 26 Maret, bahwa setiap ancaman ke Arab Saudi akan mengancam pula Pakistan.

Peran AS dan Israel

Pada tanggal 27 Maret, diumumkan di Yaman bahwa Israel terlibat membantu Arab Saudi menyerang Yaman. Ini berarti pertama kalinya bahwa Zionis Israel melakukan operasi bersama dengan koalisi Arab Saudi.

Hassan Zayd, Presiden Partai Al-Haq Yaman, menulis di jejaring sosial bahwa hal itu menunjukkan kepentingan bersama antara Arab Saudi dan Israel. Aliansi Israel-Saudi menghadapi Yaman, bagaimanapun, bukanlah hal baru. Israel pernah membantu Saudi dalam Perang Saudara Yaman Utara yang dimulai tahun 1962, dengan penyediaan senjata dari Arab Saudi untuk membantu kaum royalis terhadap kaum republiken di Yaman Utara.

Sementara AS juga terlibat dan mendukung dari belakang dan jarak jauh. Pada saat bersamaan, AS bekerja keras untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran. Satu sisi AS ingin mempertahankan aliansi terhadap Teheran menggunakan Saudi. Pentagon juga akan memberikan apa yang disebut bantuan intelijen dan dukungan logistik terhadap Arab Saudi.

Fakta menyebutkan, peta kawasan dan kepentingan geopolitik terus bergulir untuk kepentingan AS-Israel, khususnya di kawasan Yaman. Sumber: Global Research (T/P4/R11)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Amerika
Palestina
Internasional
Palestina