Oleh: Philippa H Stewart, Produser online Al Jazeera.
Sebuah petisi online yang mendesak penangkapan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu atas tuduhan kejahatan perang selama serangan 2014 di Gaza, Palestina, sedang digulirkan untuk mendapatkan 100.000 tanda tangan agar bisa diperdebatkan di Parlemen Inggris.
Petisi ini bermula adanya pengumuman akan berkunjungnya Benjamin Netanyahu ke Inggris pada September mendatang, yang mendorong seorang aktivis bernama Damian Moran untuk memprakarsai petisi.
“Petisi ini adalah pesan yang jelas kepada dia (Netanyahu) bahwa ada sejumlah besar orang yang tidak ingin dia ada di sini,” kata Moran.
Sejak diluncurkan pada 7 Agustus, petisi itu telah mengumpulkan lebih dari 76.000 pendukung, melewati 10.000 yang dibutuhkan untuk mendapatkan respon pemerintah secara formal.
Jika petisi melebihi 100.000 tanda tangan dukungan, maka akan dipertimbangkan untuk debat di parlemen.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Fokus utama petisi Moran adalah perang 51 hari di Gaza yang dimulai pada bulan Juli 2014 dan menewaskan lebih 2.200 warga Palestina.
Dalam konflik yang sama, 66 tentara dan lima warga sipil Israel dilaporkan tewas.
“Benjamin Netanyahu akan mengadakan pembicaraan di London September nanti. Di bawah hukum internasional ia harus ditangkap karena kejahatan perang saat tiba di Inggris atas pembantaian lebih dari 2.000 warga sipil pada tahun 2014,” pengantar kampanye petisi itu menyebutkan.
Moran adalah seorang pengembang perangkat lunak kelahiran Derry, sekarang tinggal di Manchester. Dia mengatakan kepada Al Jazeera, dia tidak mengharapkan apa-apa dari kampanyenya, namun ia ingin “menyorot” aksi militer Israel di Gaza.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Politisi di Inggris mendukung Israel, (Perdana Menteri) David Cameron mendukung Israel. Pemerintah Inggris telah membuat penawaran bantuan segar kepada Israel dan mereka tidak bisa mengatakan dengan jelas apakah senjata Inggris yang digunakan dalam serangan di Gaza,” kata Moran.
“Ada kesepakatan yang disetujui oleh David Cameron dalam beberapa pekan berlangsungnya konflik yang tidak harus terjadi. Orang-orang tidak mau kesepakatan itu, jadi mengapa pemerintah melakukannya? Yang bekerja untuk siapa di sini?,” kata Moran mengacu pada kesepakatan senjata senilai AS $ 6.3 juta yang disetujui oleh Inggris.
Pada bulan Juli tahun ini, Pemerintah Inggris mencabut semua pembatasan penjualan senjata ke Israel, padahal kriteria ekspor senjata Inggris adalah melarang penjualan ke mana saja yang memiliki “resiko jelas” senjata akan digunakan dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Sepekan telah berlalu sejak tanda tangan petisi melampaui jumlah yang diperlukan untuk mendapat respon pemerintah, namun Moran masih menunggu pemerintah. Dia mengatakan, tujuan utama adalah mendapatkan subjek untuk diperdebatkan di parlemen, meskipun ia tidak berharap akan ada tindakan.
“Mereka hanya akan mengatakan ‘bla bla bla, yurisdiksi universal, keberuntungan’,” kata Moran.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Dalam email kepada Al Jazeera, Juru Bicara Kedutaan Besar Israel di London menyebut petisi itu “sebuah aksi publisitas yang kerdil”.
“Hubungan antara Pemerintah Israel dan Inggris semakin dekat, perdagangan meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, sementara kerjasama akademik, ilmiah dan budaya terus berkembang,” katanya.
“Dengan latar belakang ini, petisi Anda terlihat hanya sebagai aksi publisitas yang kerdil.”
Kejahatan perang?
Ini bukan pertama kalinya isu kejahatan perang telah diangkat terkait dengan Operasi Protective Edge, nama operasi angkatan bersenjata Israel di Gaza pada Juli-Agustus 2014.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Tak lama setelah pemboman berakhir, Amnesty International mengatakan “tampaknya serangan menargetkan warga sipil atau objek sipil, yang merupakan kejahatan perang secara langsung dan sengaja menargetkan”.
Setelah perang 2014, organisasi hak asasi manusia merilis laporan mencatat tindakan Israel terhadap warga Palestina.
“Pasukan Israel berani mencemooh hukum perang dengan melakukan serangkaian serangan terhadap rumah warga sipil, menampilkan ketidakpedulian dan perasaan terhadap pembantaian yang mereka sebabkan,” kata Philip Luther, Direktur Amnesty Program Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Laporan ini memperlihatkan pola serangan terhadap rumah warga sipil oleh pasukan Israel yang telah menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan bagi kehidupan warga sipil Palestina, yang tidak diberi peringatan dan tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.”.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Berulang-ulang, serangan yang tidak proporsional pada rumah warga menunjukkan taktik militer Israel saat ini sangat cacat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional,” tambah Luther.
Sementara Netanyahu, bagaimanapun, membela tindakan Israel dan menepis kritik dari organisasi internasional, termasuk PBB.
“Israel membela diri sesuai dengan hukum internasional dan kami bukan satu-satunya yang mengatakan begitu,” kata Perdana Menteri dalam pidato publiknya pada tahun 2014.
Terlepas dari keabsahan petisi online tersebut, kemungkinan mustahil untuk menghasilkan hasil yang nyata.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Pejabat Urusan Luar Negeri Inggris mengatakan, di bawah hukum internasional, “kunjungan kepala pemerintahan asing memiliki kekebalan dari proses hukum, dan tidak dapat ditangkap atau ditahan”.
Namun bagi Moran, inti petisinya bukanlah tindakan pemerintah yang dia harapkan, tetapi reaksi dari masyarakat.
“Saya tidak mengharapkan mendapatkan lebih dari 10.000 (tanda tangan), saya hanya ingin menjelaskan beberapa hal. Saya tidak ingin diabaikan,” kataya (T/P001/P2)
Sumber: Al Jazeera
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)