Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Piagam Jaminan Keamanan Umar bin Khattab untuk Martabat Manusia

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 51 menit yang lalu

51 menit yang lalu

18 Views

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj News Agency (MINA), Duta Al-Quds Internasional

Piagam Jaminan Umar (al-ʿUhdah al-ʿUmariyyah) adalah sebuah dokumen berisi jaminan keamanan yang dikeluarkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab untuk penduduk Aelia, nama Romawi untuk wilayah Baitul Maqdis atau Yerusalem.

Piagam Jaminan tersebut dikeluarkan oleh Umar bin Khattab ketika pasukan kaum Muslimin berhasil membebaskan kawasan Baitul Maqdis pada tanggal 4 Jumadits Tsani 16 H. / 4 Juli 636 M.

Ada yang menyebut al-ʿUhdah al-ʿUmariyyah dengan Perjanjian Umar. Menurut Pakar Baitul Maqdis, Prof. Dr. Abd Al-Fattah el-Awaisi, lebih tepat menggunakan terminologi Piagam bukan Perjanjian atau Kesepakatan. Disebut Piagam bukan Perjanjian karena dikeluarkan sepihak oleh Umar bin Khattab.

Baca Juga: Haji, Jalan Lebar Transformasi Menuju Indonesia Emas 2045

Hal ini termuat dalam teks paragraf pertama, yang berbunyi, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar Amirul Mu’minin kepada penduduk Aelia. Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka. Serta dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan.”

Disebut juga dengan Piagam bukan Perjanjian atau Kesepakatan, ditandai dengan penandatangan Piagam hanya dari satu pihak, yaitu Umar bin Khattab. Pihak Patriack Sofronius sebagai pihak kedua tidak ikut tanda tangan. Sedangkan kalau Perjanjian atau Kesepakatan adalah ditandatangani oleh dua belah pihak.

Piagam Umar pun disaksikan oleh pihak kaum Muslimin, yaitu Khalid bin Walid, ‘Amr bin Ash, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Inipun tanpa ada saksi dari pihak Sopronius.

Berikut isi Piagam Umar tersebut, menurut Riwayat Ath-Thabari:

Baca Juga: Kemiskinan Menjamur di Negeri yang Konon Kaya

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar Amir al-Mu’minin kepada penduduk Aelia. Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka. Serta dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan.

Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya. Serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorang pun dari mereka boleh diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka.

Atas penduduk Aelia diwajibkan membayar jizyah sebagaimana jizyah itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain. Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-orang Romawi (tentara) dan kaum al-Lashut (perampok) dari Aelia. Tetapi jika dari mereka (orang-orang Romawi) keluar (meninggalkan Aelia), ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi).

Dan jika ada yang mau tinggal, ia pun akan dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib mereka, keamanan mereka dijamin, berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi).

Baca Juga: Bertahan Hidup di Negeri Seribu Janji

Dan siapa saja yang telah berada di sana (Aelia) dari kalangan penduduk setempat sebelum terjadinya perang tertentu (yakni, perang pembebasan Syiria oleh tentara muslim) maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan tetap tinggal. Dan ia diwajibkan membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia.

Dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung dengan orang-orang Romawi, atau jika ia menghendaki, ia boleh kembali kepada keluarganya sendiri. Sebab tidak ada suatu apa pun yang boleh diambil dari mereka (keluarga) itu sampai mereka memetik panenan mereka. Atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya, perlindungan para khalifah dan perlindungan semua kaum beriman. Jika mereka (penduduk Aelia) membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.”

Jaminan Keamanan

Secara global Piagam Umar berisi tentang jaminan keamanan, kebebasan beragama, dan perlindungan terhadap harta benda serta bangunan gereja. Penduduk Aelia dijamin keselamatan jiwa dan hartanya, serta kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama mereka tanpa gangguan.

Baca Juga: Mau Sukses Instan, Tapi Takut Proses Panjang?

Pada dokumen Piagam Jaminan tersebut Umar bin Khattab menggunakan kata “Aelia” yang merupakan kependekan dari “Aelia Capitolina”. Sebuah nama yang diberikan oleh Romawi untuk kota Yerusalem setelah penghancuran Kuil Kedua pada tahun 70 M.

Pemilihan nama Aelia dibandingkan Baitul Maqdis yang biasa disebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentu dengan pertimbangan yang matang dari aspek hukum, sosial dan situasi geopolitik pada waktu itu.

Penggunaan kata Aelia menunjukkan  pengakuan Umar bin Khattab selaku Pimpinan kaum Muslimin terhadap identitas lokal dan pendekatan inklusif terhadap penduduk Yerusalem. Ini sekaligus mencerminkan pendekatan yang menghormati struktur sosial dan administratif yang sudah ada, serta menunjukkan niat untuk menjaga stabilitas kawasan dan keteraturan di wilayah yang baru dibebaskannya.

Penggunaan nama Aelia dalam Piagam Umar juga mencerminkan pendekatan inklusif terhadap komunitas non-Muslim di Yerusalem. Dengan mengakui nama yang digunakan oleh penduduk setempat, Umar menunjukkan bahwa pemerintahan Islam menghormati keragaman budaya dan agama.

Baca Juga: Tetap Istiqamah Meski Luka Tak Jua Reda

Hal ini sejalan dengan isi piagam yang menjamin keamanan, kebebasan beragama, dan perlindungan terhadap tempat ibadah bagi semua komunitas di kota tersebut.

Dengan demikian, penggunaan nama Aelia dalam Piagam Umar bukan hanya sekadar pilihan terminologi, tetapi juga mencerminkan strategi komunikasi massa yang bijaksana dan menghormati identitas lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Islam itu berkomitmen untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan menghargai keragaman.

Terasa sekali dari rasa bahasa, Umar hendak menegaskan bahwa nama Aelia saja dijaga keutuhannya, tidak diganti dengan yang lain. Apalagi nyawa, harta benda bahkan gereja pun lebih dijaga lagi oleh kepemimpinan yang menunjukkan kehadiran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (Surat Al-Anbiya [21] ayat 107).

Tentang kandungan Surat Al-Anbiya ayat 107 ini, Syaikh Muhammad Sulaiman Al Asyqar, Guru Besar Tafsir Universitas Islam Madinah menjelaskan di dalam kitab Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir. Bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), yakni bagi seluruh manusia. Termasuk bentuk rahmat bagi orang-orang kafir adalah mereka terjaga keamanannya  dengan adanya syariat Islam.

Baca Juga: Gaza, Kebebasan Pers, dan Tanggung Jawab Dunia

Umar bin Khattab hendak mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan memberikan jaminan keamanan kepada penduduk non-Muslim Aelia.

Piagam Jaminan Umar pun menjadi solusi kepada penduduk setempat yang sebelumnya dikuasai oleh Kekaisaran Romawi. Dan kebijakan Romawi terhadap rakyat di wilayah yang dikuasainya seringkali ditandai oleh penindasan dan pengabaian hak-hak sipil. Pemerintahan Romawi lebih berorientasi pada ambisi kekuasaan dan ekspansi wilayah daripada pada nilai-nilai keadilan dan perlindungan terhadap rakyat.

Sebagai pemimpin  baru yang membawa semangat pembebasan, Umar hendak menegaskan kalau ada yang coba-coba menghasut, ingin menipu, atau nanti ada yang merasa tertindas di luar Yerusalem, silakan lapor dan sampaikan ke Umar, nanti Umar sebagai pemegang mandat akan mengirim pasukan untuk membebaskan manusia dari ketertindasan tersebut, dan mengembalikan warga sesuai harkat dan martabatnya, sesuai hak-Hak asasinya, tanpa membedakan suku, agama, ras dan antargolongan.

Ketentuan jizyah

Baca Juga: Palestina dalam Kitab-Kitab Suci: Perspektif Islam, Yahudi, dan Kristen

Adapun pencantuman kewajiban jizyah bagi pendduk Aelia, otu merupakan bagian dari sistem keuangan yang adil dan inklusif, dirancang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak sipil kepada non-Muslim (ahl al-dhimmah) yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Jizyah bukan pajak, melainkan simbol kontrak sosial antara pemerinahan Islam dengan warga non-Muslim.

Jizyah itu sendiri dikenakan kepada non-Muslim dewasa, laki-laki, sehat secara fisik dan mental, serta mampu secara ekonomi. Pembayaran jizyah memberikan mereka jaminan keamanan, kebebasan beragama, dan perlindungan harta benda di bawah pemerintahan Islam. Sebagai imbalannya, mereka dibebaskan dari kewajiban militer dan kewajiban keuangan lainnya yang dikenakan kepada Muslim, seperti zakat.

Karena itu, jizyah dikecualikan bagi kelompok: anak-anak dan perempuan, orang tua lanjut usia, orang miskin dan tidak mampu, orang sakit atau cacat dan budak atau hamba sahaya.

Dalam sejarah, terdapat contoh bahwa non-Muslim yang tidak mampu membayar jizyah dibebaskan dari kewajiban tersebut. Bahkan mereka mendapatkan bantuan dari Baitul Maal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Baca Juga: Jangan Jadi Generasi Rebahan

Umar sendiri dalam Piagamnya mengatakan, jizyah boleh dibayar setelah panen, artinya setelah memiliki kemampuan untuk membayarnya. Bahkan jumlahnya bisa lebih sedikir dari zakat yang diwajibakn bagi umat Islam yang mampu atau telah mencapai nishab (batas kewajiban).

Menjaga Martabat Manusia

Pakar Baitul Maqdis, Prof. Dr. Abd Al-Fattah el-Awaisi, dalam buku terbarunya, “Rencana Strategis Pembebasan Masjid Al-Aqsa” (Penerbit Suara Muhammadiyah Yogyakarta, 2025) menjelaskan Dokumen Jaminan Keamanan Piagam Umar adalah untuk menjaga martabat manusia.

Penjagaan martabat manusia tersebut meliputi empat komponen besar, yaitu: menjaga harta benda, saling menghormati, tidak ada paksaan dalam agama serta memperkuat keragaman dan pluralitas.

Baca Juga: Generasi yang Terasing dari Nilai-Nilai Luhur Bangsa: Tantangan dan Solusi

Adapun visi Umar bin Khattab tersebut tidak hanya terbatas pada merancang kerangka teoretis,  tetapi juga mengaktifkannya secara praktis dalam kunjungannya yang pertama ke kawasan Baitul Maqdis.

Salah satu peristiwa pertama yang menunjukkan kepedulian untuk melindungi tempat-tempat suci non-Muslim adalah penolakan untuk shalat di dalam Gereja Makam Kudus atau di halamannya atas undangan Patriark Sophronius.

Maher Abu Munshar mengutip Ibn al-Batriq yang merekonstruksi dialog antara Umar bin Khattab dan Patriark Sophronius, di mana Umar menolak undangan tersebut dengan alasan, “Jika saya shalat di dalam gereja ini, kalian akan kehilangan gereja, dan kekuasaan kalian atas gereja akan hilang. Setelah saya wafat nanti orang-orang Muslim akan mengambilnya dari kalian dan berkata bahwa di sini Umar pernah shalat”.

Umar lebih memilih keluar dari lokasi gereja tersebut antara 50-100 meter, dan shalat di situ. Terbuktilah, kaum Muslimin generasi berikutnya kemudian membangun masjid di tempat Umar shalat, yang dinamai dengan Masjid Umar bin Khattab .

Baca Juga: Niat Lillah, Sumber Keberkahan dalam Setiap Transaksi

Jelas sekali, Piagam Jaminan Umar tentu sangat jauh bebeda dengan yang ditawarkan Donald Trump dengan Abraham Accordnya, yang penuh dengan ambisi kerakusan, intimidasi, penindasan dan hanya untuk kepentingan sepihak hegemoni Amerika Serikat dan negara bonekanya, Zionis.

Nilai-nilai kemanusiaan yang visioner yang ditunjukkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab tentu saja masih sangat relevan diterapkan pada jaman ini, pada saat terjadi penindasan manusia atas manusia lainnya, pada waktu peperangan senjata menjadi ancaman keamanan dan kehidupan manusia.

Tentu dengan syarat mutlak, kepemimpinan dunia itu harus berada di tangan kaum Muslimin, seperti Umar sudah memulainya. Dan kepemimpinan peradaban dunia itu tidak bisa tidak kecuali dengan membebaskan negeri yang dijanjikan, Baitul Maqdis dengan simbol kehormatannya, yakni Masjidil Aqsha.

Ini sejalan dengan istilah geopolitik The Heartland Theory bahwa siapa yang hendak menguasai kepemimpinan dunia, maka kuasailah wilayah Baitul Maqdis karena tempat itu adalah jantungnya dunia. Jadi, pembebasan Baitul Maqdis bukan sekedar untuk membebaskan tanah wakaf milik kaum Muslimin. Tapi jauh lebih dari itu, untuk tegaknya kepemimpinan kaum Muslimin, demi kehormatan dan keagungan Islam dan Muslimin, karena Islam Ya’lu walaa yu’la ‘alaihi (tinggi dan tidak ada yang melebihi tingginya).

Kinilah saatnya kita memulai pembebasan Baitul Maqdis menuju pembebasan dunia dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda