Oleh Irwandi, S.HI.,M.H, Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum USK
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, dipastikan akan dilaksanakan pada Rabu 27 November 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia secara resmi mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2024. Pilkada serentak akan diselenggarakan di 37 Provinsi, 508 kabupaten/kota.
Pada Pilkada kali ini, peserta tidak begitu banyak dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya. Untuk calon gubernur dan wakil gubernur paling banyak diikuti 5 pasangan calon yang di usung oleh partai politik baik partai nasional maupun partai lokal seperti halnya di Aceh.
Masyarakat dipastikan mempunyai calon sendiri, baik gubernur maupun bupati/wali kota sehingga menjadi modal untuk terus berkampanye demi memenangkan calon yang didukungnya tersebut. Berbagai cara dilakukan, baik pendekatan terhadap masyarakat, mengajak konstituen dengan berbagai program, serta janji-janji disampaikan agar masyarakat semakin terpikat dengan calon yang didukung tersebut.
Baca Juga: Perjuangan Palestina di PBB, Mungkinkah Berhasil?
Wajar saja jika Pilkada yang dalam realisme politik berujung pada perebutan kekuasaan selalu diwarnai dengan kerasnya persaingan politik. Namun, jangan sampai pertarungan yang muncul menabrak koridor etika dan aturan politik, apalagi hukum. Selain itu, jangan menjadikan pesta demokrasi ini sebagai arena konflik kekuasaan yang menjatuhkan satu sama lain.
Informasi Hoaks Pemicu Konflik
Saat ini bukan sekadar sebatas saling serang di antara tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon gubernur dan bupati/wali kota, tetapi banyak diwarnai caci maki dan bahkan saling fitnah melalui informasi hoaks.
Penyebaran berita bohong merupakan tindakan memicu konflik antara sesama anak bangsa yang jelas sangat merugikan tergolong dosa besar, maka marilah berpolitik santun dan beradab, utamakan moral dan berakhlak dalam berkata-kata begitu juga dengan bertindak dan sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Kekuatan Sabar dalam Menghadapi Ujian Hidup
Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sesuai fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017, bahwa setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah, adu domba, serta ujaran kebencian yang dapat terjadi permusuhan.
Khususnya yang berbasis media sosial di tengah masyarakat sering kali tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoaks¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.
Harapan ini bisa terwujud jika aktor utama politik, tim kampanye, tim sukses, partai politik pendukung berkomitmen bersama-sama menjaga koridor etika dan aturan main politik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, warna persaingan antara calon gubernur, bupati/wali kota lebih didominasi adu gagasan dan program.
Baca Juga: Menjaga Masjid Al-Aqsa, Tanggung Jawab Setiap Muslim di Seluruh Dunia
Perbedaan pandangan atas sebuah isu, kebijakan atau ideologi melahirkan keterbelahan masyarakat menjadi dua kutub yang berseberangan, baik di lingkar elite maupun di kelas rakyat biasa. Bayangkan seseorang bisa saja kehilangan teman atau sahabatnya yang telah berkawan lama lantaran beda pilihan politik, seseorang bisa bermusuhan akibat ”perang urat syaraf” dalam membela calon gubernur wakil gubernur, calon bupati wakil bupati, calon wali kota dan wakil wali kota pilihannya.
Kuatkan Persaudaraan
Dalam tahun politik ini, sangat menguras tenaga dan pikiran masyarakat lewat munculnya berbagai polemik dan perdebatan, walaupun berbeda pilihan, masyarakat Indonesia tetap bersaudara. Prinsip ini penting untuk tetap menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa. “Seberapa pun jarak yang membedakan kita dalam proses Pilkada, kita semua tetap bersaudara,”
Perbedaan pilihan politik memang kerap menimbulkan konflik di antara anak bangsa. Padahal kendaraan politik merupakan sarana mengelola negara untuk mewujudkan masyarakat sejahtera secara keseluruhan. Apapun pilihan politikmu, kita semua tetap bersaudara. Dalam konstestasi politik harus diutamakan adalah persaudararaan bukan permusuhan. Jika proses demokrasi dalam bentuk Pilkada tersebut menimbulkan keributan dan tensi tinggi itu bisa merusak persaudaraan.
Baca Juga: Lima Kelemahan Manusia di Dalam Al-Quran
Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujarat: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS Al-Hujurat [49]: 6)
Dan Surah Al-Hujarat ayat 10, Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Dalam Al-Qur’an Allah Subhana wa Ta’ala menerangkan bahwa seluruh orang Mukmin bersaudara layaknya persaudaraan antara nasab karena mereka menganut agama yang sama dan kekal di dalam surga.
Lima langkah dalam mewujudkan persaudaraan dalam berpolitik: Pertama, jadikan pemilu pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat dan kian meneguhkan persatuan bangsa, bukan menghadirkan perpecahan. Kedua, Tidak berkampanye hitam yang menyudutkan salah satu calon konstestan hingga ke masalah keluarga dan keturunanya.
Baca Juga: Sejarah Nama Batik, Antara Abjad Arab Ba dan Titik
Ketiga, pihak penyelenggara pemilu, terus berkampanye dan mengedukasi masyarakat terhadap pemilih cerdas dan tidak terpancing dengan isu-isu yang berkembang. Keempat, tidak membawa isu SARA dalam mewujudkan nafsu kekuasaan, tetapi perbanyaklah adu program dan gagasan yang lebih menyentuh masyarakat. Kelima, berpolitik santun dan beradab, tidak terprovokasi, terpancing tensi dari lawan maupun tim sukses.
Namun, bila para elite dan pemilih berpandangan bahwa kemenangan Pilkada itu segalanya, maka kontestasi yang kompetitif itu tidak akan pernah tercapai. Jika, mereka menganggap Pilkada sebagai pertaruhan martabat, harga diri, dan segalanya, sebaliknya, Pilkada bukan lagi kontestasi natural lima tahunan yang mengedepankan kompetisi yang kompetitif.
Siapa pun pilihanmu, ayo rajut persatuan dan kesatuan, saudara se tanah air dalam bingkai NKRI.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Marissa Haque, Artis Berhijab, Penulis Buku dan Peduli Palestina