Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pintar Tapi Sombong, Cerdas Tapi Tak Tahu Diri: Gagalnya Pendidikan Tanpa Adab

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 28 detik yang lalu

28 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

DI TENGAH arus deras kemajuan teknologi dan meningkatnya akses terhadap ilmu pengetahuan, kita menyaksikan lahirnya generasi yang pintar secara akademik, namun miskin adab. Anak-anak muda kita mampu menjawab soal-soal rumit, menguasai berbagai bahasa asing, menaklukkan podium lomba ilmiah, namun tak mampu menundukkan ego dan menjaga lisan. Mereka bisa berdiploma tinggi, tetapi seringkali gagal menunjukkan sikap rendah hati, empati, dan sopan santun kepada orang tua, guru, apalagi kepada masyarakat biasa. Inilah potret nyata kegagalan pendidikan yang hanya mengejar kecerdasan, tanpa membentuk kepribadian dan akhlak.

Dalam sejarah pendidikan Islam, adab (akhlak) selalu menjadi fondasi utama sebelum ilmu. Imam Malik pernah menolak mengajarkan ilmunya kepada seseorang yang tidak menunjukkan adab kepada guru. Imam Syafi’i bahkan mengatakan, “Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan belajar ilmu selama dua puluh tahun.” Artinya, dalam tradisi keilmuan yang luhur, adab adalah pintu gerbang ilmu, bukan sebaliknya.

Namun hari ini, kita kerap membalik urutan itu. Anak-anak dikejar untuk lulus cepat, dapat nilai tinggi, menguasai skill, tapi tak pernah diajak memahami makna rendah hati, kesantunan, dan tata krama. Guru dituntut memenuhi target kurikulum, dosen dibebani riset dan akreditasi, dan sekolah serta kampus berlomba mencetak lulusan ber-IPK tinggi, bukan berakhlak tinggi. Padahal, ketika adab ditinggalkan, ilmu justru bisa menjadi alat kesombongan dan kehancuran.

Kita menyaksikan fenomena anak muda yang menyanggah gurunya di kelas tanpa etika, menggurui orang tua dengan nada sinis, bahkan menghina sesama di media sosial hanya karena beda pandangan. Di sisi lain, sebagian pendidik pun kehilangan peran sebagai teladan. Bagaimana murid akan beradab, jika gurunya sendiri kerap berkata kasar, atau tidak menunjukkan sikap hormat kepada sesama pendidik? Bagaimana siswa bisa belajar akhlak, jika melihat pejabat pendidikan saling serang, saling tikam, demi jabatan?

Baca Juga: Pesantren sebagai Agen Perubahan Sosial: Menggali Potensi Komunitas

Pendidikan tanpa adab adalah pendidikan yang timpang. Ia melahirkan manusia-manusia yang tajam dalam berpikir, tapi tumpul dalam merasakan. Mereka bisa membangun gedung pencakar langit, tapi tak mampu membangun jembatan hati. Mereka bisa membuat sistem canggih, tapi lupa menghargai sesama. Lebih buruk lagi, mereka bisa menjadi pemimpin, tapi menyalahgunakan kekuasaan karena tak punya integritas dan moral.

Di sinilah pentingnya para guru, dosen, ustaz, kiai, kepala sekolah, dinas pendidikan, bahkan Kementerian Agama dan Kemendikbud, untuk kembali menjadikan adab sebagai poros pendidikan. Pendidikan karakter tidak cukup hanya dihafalkan dalam modul P5 atau pelajaran PPKn, tetapi harus ditanamkan melalui keteladanan, suasana belajar yang menghargai nilai-nilai, dan proses pembelajaran yang menyentuh hati, bukan sekadar otak.

Para guru, engkaulah pelita bagi generasi. Janganlah hanya bangga ketika muridmu lulus masuk kampus ternama, tetapi banggalah saat dia menyalami orang tuanya dengan takzim, dan menolong temannya tanpa pamrih. Para dosen, engkaulah pilar kecendekiaan. Jangan hanya mencetak sarjana hebat, tapi juga tanamkan nilai-nilai amanah dan kejujuran dalam setiap kuliahmu.

Para ustaz dan kiai, engkau penjaga nilai. Jangan biarkan pesantren dan majelismu hanya menjadi tempat hafalan, tetapi jadikan sebagai taman kesantunan, tempat anak-anak belajar cinta dan hormat. Dan kepada para pemangku kebijakan pendidikan, ingatlah, kurikulum boleh berubah-ubah, tapi nilai adab harus tetap menjadi ruhnya.

Baca Juga: MA Al-Fatah Cileungsi Raih Juara 3 Kompetisi Roket Air 2025

Adab bukan sekadar formalitas. Ia adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan spiritual dan sosial. Tanpa adab, ilmu menjadi racun; dengan adab, ilmu menjadi cahaya. Mari kita bangun kembali sistem pendidikan yang mengutamakan hati sebelum otak, akhlak sebelum angka, dan kepribadian sebelum kompetensi.

Jika ingin negeri ini dipenuhi oleh pemimpin-pemimpin yang adil, ilmuwan yang bijak, dan rakyat yang santun, maka tanamlah adab sejak dini. Sebab, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang dipenuhi orang-orang cerdas, melainkan bangsa yang dihidupi oleh manusia-manusia beradab.

“Adab adalah mahkota ilmu. Tanpanya, ilmu tak lebih dari pedang tanpa sarung.” []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Majelis Taklim Niyabah Pekalongan Gelar Pelatihan Public Speaking di Ponpes Al-Fatah

Rekomendasi untuk Anda