Pluralisme Disalahpahami, MUI Dicaci (Oleh: Adian Husaini)

adian husaini

Oleh: (www.adianhusaini.id), Ketua Umum

Salah satu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang banyak menuai kritikan bahkan hujatan adalah fatwa tentang sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme. Fatwa itu dikeluarkan dalam Munas ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli 2005.

Bahkan, sejak fatwa itu ditetapkan, pada 29 Juli 2005, nyaris tiada hari tanpa cacian dan hujatan terhadap MUI. Ada yang menyatakan, bahwa MUI tolol, MUI konservatif, dan sebagainya. Ada yang menuntut pembubaran MUI. Fatwa itu dianggap mengganggu dan mengganjal misi besar program liberalisasi Islam di Indonesia.

Sejumlah pihak kemudian melakukan perlawanan habis-habisan. Fatwa-, kata seorang pimpinan LSM tentang Pluralisme, adalah sebuah kemunduran yang luar biasa. “MUI hendaknya tidak menjadi polisi akidah atau polisi iman bagi umat Islam di Indonesia,”ujarnya.

“Fatwa MUI itu punya dampak sangat buruk bagi kehidupan keberagamaan di negeri ini,”kata seorang tokoh liberal kepada majalah GATRA (6/8/2005). Ia juga menegaskan, bahwa fatwa MUI bukanlah hukum yang mengikat umat Islam. Fatwa artinya semacam “legal opinion”, atau pendapat hukum, tetapi bukan hukum itu sendiri. “Yang percaya silakan ikut. Yang tidak juga ndak berdosa. Jadi, katanya, hukumnya mempercayai fatwa MUI itu mubah, artinya boleh dipercaya, boleh tidak.”

Di negara yang sedang menikmati kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat, maka berbagai model dan jenis opini bisa berlalulalang secara bebas. Tidak bisa dicegah. Tentu saja arah dan jenis opini ditentukan oleh sang penguasa media. Karena “realitas opini”adalah satu “realitas semu”dan bukan realitas yang sebenarnya. Maka, siapa yang kuat dalam penguasaan media massa, itulah yang biasanya akan memenangkan pertarungan opini.

Diantara 11 fatwa MUI yang dihasilkan pada saat itu, memang fatwa tentang Ahmadiyah, pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme, paling banyak mendapatkan cemoohan. Fatwa ini seperti menarik garis furqan, garis batas yang tegas, siapa yang berada di kutub liberalisme dan siapa yang di kutub non-liberal.

Sayangnya, di dalam penjelasan para penentang fatwa MUI, ada penyebaran opini yang keliru. Ada yang menyatakan, bahwa Pluralisme bukanlah menyamakan semua agama, melainkan lebih pada mutual respect, saling menghormati. Ada yang menyatakan, pluralisme artinya sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari yang lain yang berbeda.

Pendefinisian Pluralisme Agama seperti diungkapkan penentang keras fatwa MUI itu tentu tidak jujur. Sebab, bukan itu yang dimaksud Pluralisme Agama yang selama ini dikembangkan di Indonesia, dan bukan itu pula yang dimaksudkan oleh MUI.

Menurut pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, Pluralisme Agama adalah sebuah agama baru, yang tidak toleran terhadap agama lain. Pluralisme agama memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan “kebenaran eksklusif”sebuah agama.

Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri”dalam suatu agama, tapi justru faktanya “kaum pluralis”-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statemen keagamaan (religious statement). Para penganut pluralis tampaknya tidak sadar akan hal ini.

Kedua, adanya “pemaksaan”nilai-nilai dan budaya barat (westernisasi), terhadap negara-negara di belahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk dan cara. Paham Pluralisme yang sebenarnya merupakan pengalaman trauma Barat terhadap eklusivisme agama dipaksakan sebagai paham universal.

Jadi sebenarnya mereka tidak toleran. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolut oleh kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Yahweh, Trimurti, dan lain sebagainya. Namun di saat yang sama, “secara tanpa sadar”mereka juga mengklaim bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolut. Tuhan yang absolut menurut mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah “The Real”yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam tradisi Islam sebagai “Al-Haq”.

Dalam kasus respon terhadap fatwa MUI, apa yang diungkapkan oleh Dr. Anis tersebut, sudah menjadi kenyataan. Lihatlah bagaimana emosionalnya kaum yang merespon fatwa MUI tentang Pluralisme. Ada paradoks di dalamnya. Kadang, mereka mengaku sebagai liberal, tetapi berusaha keras memaksakan pendapatnya, melalui berbagai cara, mencerca MUI, dan sama sekali tidak menghormati pendapat MUI yang berbeda pendapat dengan mereka.

Karena MUI tidak sama dengan mereka, maka MUI dicaci maki dan diolok-olok. Seolah-olah semua orang harus sama dengan mereka. Jika mereka memaksakan pendapatnya, maka sejatinya mereka itu bukan liberal atau pluralis. Jika bersikap liberal, ya biarkan saja siapa pun untuk bersikap dan berpendapat, meskipun itu menentang pendapat mereka sendiri.

Lagi pula, mereka juga mengatakan, bahwa fatwa MUI itu tidak mengikat. Jika memang begitu, maka mengapa mesti marah-marah terhadap fatwa MUI? Mestinya, biarkan saja fatwa MUI itu diyakini oleh umat Islam yang meyakininya. Yang tidak “doyan”dengan fatwa MUI, ya tenang saja, dan kalau mau, buatlah fatwa tandingan.

Jadi, sikap otoritarian itu ternyata melekat pada kaum liberal dan pluralis sendiri, seperti dinyatakan Dr. Anis Malik Thoha. Para penganut Pluralisme Agama tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbul-simbul keagamaan tradisional.

Jadi, wacana pluralisme sebenarnya merupakan upaya penyeragaman (uniformity) atau meyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama-agama. Ini jelas secara ontologis bertentangan dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Karena itu, aneh sekali, jika gagasan ini dikembangkan.

Karena itulah, Dr. Anis Malik mengajak umat Islam untuk menyambut baik fatwa MUI tentang Pluralisme Agama. MUI mendefinsikan PluralismeAgama sebagai: “paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”

Demikianlah ujian dan tantangan buat MUI dalam kasus fatwa Pluralisme Agama. Dua tokoh yang berjasa besar dalam perumusan fatwa itu adalah Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub dan KH Yusuf Hasyim. Keduanya telah menghadap Allah SWT. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia kepada mereka. (Lampung, 20 September 2021).

(A/R4/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: kurnia

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.