Khartoum, MINA – Perdana Menteri sipil Sudan Abdalla Hamdok mengundurkan diri hari Ahad (2/1), lebih dari dua bulan setelah kudeta, menyusul tindakan keras mematikan lainnya terhadap pengunjuk rasa, hari-hari terakhir ini, di mana militer sekarang memegang kendali.
Sudan telah mengalami perjalanan rapuh menuju pemerintahan sipil sejak penggulingan otokrat Omar Al-Bashir 2019, tetapi jatuh ke dalam kekacauan ketika pemimpin militer Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan melancarkan kudeta pada 25 Oktober dan menahan Hamdok, Arab News melaporkan.
Hamdok diangkat kembali sebagai PM pada 21 November di bawah kesepakatan yang menjanjikan pemilihan umum pada Juli 2023, tetapi media lokal melaporkan, dia telah absen dari kantornya selama berhari-hari, dengan desas-desus yang beredar tentang kemungkinan pengunduran dirinya.
“Saya telah mencoba yang terbaik untuk menghentikan negara meluncur ke arah bencana,” kata Hamdok, Ahad malam, berbicara kepada bangsa di televisi pemerintah.
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Sudan “melintasi titik balik berbahaya yang mengancam kelangsungan hidupnya,” katanya.
Hamdok adalah wajah sipil dari transisi rapuh negara itu, sementara Jendral Burhan telah menjadi pemimpin de facto negara itu setelah penggulingan Bashir.
Protes massal menentang kudeta terus berlanjut bahkan setelah Hamdok dipulihkan, karena para demonstran tidak mempercayai jenderal veteran Burhan dan janjinya untuk membimbing negara itu menuju demokrasi penuh.
Para pengunjuk rasa juga menuduh bahwa kesepakatan untuk mengembalikan Hamdok sebagai PM hanya bertujuan memberikan jubah legitimasi kepada para jenderal, yang mereka tuduh mencoba melanjutkan rezim yang dibangun oleh Bashir.
Baca Juga: Rwanda Kirim 19 Ton Bantuan Kemanusiaan ke Gaza
Ribuan demonstran pada hari Ahad melawan gas air mata, pengerahan pasukan besar-besaran dan pemadaman telekomunikasi untuk menuntut pemerintah sipil.
Pada protes di dekat Istana Presiden di ibu kota Khartoum dan di kota kembarnya Omdurman, demonstran mengecam kudeta, meneriakkan “kekuasaan untuk rakyat” dan menuntut militer kembali ke barak.
Setidaknya 57 pengunjuk rasa telah tewas sejak kudeta, menurut petugas medis pro-demokrasi. (T/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Korban Tewas Ledakan Truk Tangki di Nigeria Tambah Jadi 181 Jiwa