Jakarta, MINA – Terkait polemik tentang hukum musik dan lagu ramai di media sosial kalangan para penggiat kajian Islam. Polemik dipicu tentang penerjemahan Surat Asy Syuara sebagai “Surat Para Penyair” yang diidentikan dengan para pemusik oleh salah seorang pendakwah populer, kemudian terjadi polemik dan perdebatan hukumnya.
Ketua MUI Bidang Seni, Budaya, dan Peradaban Islam, KH Dr Jeje Zaenudin mengatakan, polemik masalah hukum musik dan lagu, hanyalah mendaur ulang perdebatan masalah fikih klasik yang sudah ada berabad-abad lalu.
“Sehingga menurut hemat saya meskipun ada manfaatnya, tetapi itu perdebatan yang tidak produktif dan tidak memberi solusi. Malah berdampak pro-kontra di kalangan masyarakat awam yang diikuti dengan saling mecela dan menghakimi antara yang pro dan kontra, sebagaimana bisa dibaca dalam komentar-komentar di medsos dari masing-masing pihak,” kata Kiai Jeje dalam keterangan, Rabu (8/5).
Lanjutnya, adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak jaman dulu itu menunjukkan bahwa masalah musik dan lagu tidak ada dalil yang qath’i dan sharih atau dalil yang secara pasti dan tegas dari Al Qur’an, Hadits, maupun Ijmak ulama tentang pengharamannya secara mutlak.
Baca Juga: Hezbollah Berharap Pemimpin Baru Suriah Anti-Zionis Israel
Karena jika ada dalil yang pasti, jelas, dan tegas dari Al Qur’an, Hadits, ataupun Ijmak, tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak jaman dulu.
“Semua dalil yang dijadikan sandaran bersifat zhanny adalah penafsiran bersifat ijtihady subjektif. Sebab itu sepatutnya kita semua bersikap tasamuh atau toleran terhadap pendapat berbeda,” ujarnya.
“Sungguh suatu sikap arogan dan tidak bijak ketika memaksakan kepada semua orang untuk tunduk dan hanya mengikuti pendapat mazhab kelompoknya yang diklaim paling benar,” sambungnya.
Padahal katanya, yang disepakati keharaman oleh semua ulama segala musik dan lagu yang isinya mengandung, mendorong atau menyebabkan pelaku dan pendengarnya melakukan maksiat, berbuat dosa, mengerjakan kefasikan dan kekufuran, baik secara iktikadnya, ucapannya, maupun perbuatannya.
Baca Juga: Sekolah-sekolah di Suriah Kembali Buka Pasca Jatuhnya Rezim Asaad
“Tidaklah bijak jika saat ini kita terus mendaur ulang perdebatan dan polemik, apalagi membangun narasi dan opini destruktif yang terkesan meningkatkan fanatisme kepada pengikut masing-masing kelompok,” imbuhnya.
Ia mendesak untuk dipikirkan dan dilakukan untuk mencari solusi dari fenomena dan fakta berkembangnya industri musik dan nyanyian telah menjadi bagian budaya kehidupan masyarakat manusia secara global.
“Tidak dipungkiri sebagian itu cenderung merusak akhlak, moral, dan keadaban masyarakat yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjeneralisir hukum segala jenis musik dan lagu adalah haram,” tegasnya
“Dari tinjauan filosofi dan normatifnya, musik dan lagu adalah bagian ekspresi naluri keindahan dalam diri manusia. Sedang naluri keindahan dari fitrah manusia,” ujar Kiai Jeje.
Baca Juga: Liga Arab Kutuk Perebutan Wilayah Suriah oleh Israel
Kiai Jeje mengatakan, keindahan juga sifat dan perkara dicintai Allah. Dalam hadits sahih Rasul bersabda bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Musik dan lagu adalah ekspresi fitrah manusia tentang keindahan suara dan nada.
“Sebagaimana keindahan model pakaian, arsitektur bangunan, dan lukisan. Mustahil Allah yang ciptakan fitrah keindahan dalam diri manusia lalu mengharamkan secara mutlak segala indah itu, jika tidak menimbulkan kemaksiatan kepada-Nya,” katanya.
“Maka jadi tugas para ulama memberi solusi, bimbingan, dan arahan kepada umat, bagaimana perkembangan seni dan budaya itu berada rel sebagai ekspresi fitrah naluriah yang Allah karuniakan kepada manusia, agar tidak melanggar akidah dan syariah agama-Nya,” jelas Kiai Jeje. []
Mi’raj News Agency (MINA)