Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Polemik Nasab Ba’alawi di Media Sosial dan Dampaknya kepada Umat

Redaksi Editor : Lili Ahmad - 31 menit yang lalu

31 menit yang lalu

7 Views

Ilustrasi

Oleh Eko Yulianto, A.Md., Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Belakangan ini, polemik mengenai nasab Ba’alawi mencuat dan viral di media sosial, menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan netizen, terutama di Indonesia. Perdebatan ini menarik perhatian banyak pihak karena menyangkut silsilah keturunan yang diklaim berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nasab Ba’alawi, yang dikenal sebagai keturunan langsung dari Rasulullah melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, sering kali dihormati oleh sebagian umat Islam. Namun, seiring viralnya isu ini, berbagai pandangan muncul, dari yang mempertahankan keotentikan nasab hingga yang skeptis dan mempertanyakan validitasnya.

Keturunan Ba’alawi merupakan komunitas yang memiliki akar sejarah panjang, khususnya di wilayah Hadramaut, Yaman. Mereka dikenal karena peran besarnya dalam penyebaran Islam, termasuk di Nusantara. Banyak ulama besar, walisongo, dan tokoh-tokoh Islam di Asia Tenggara yang berasal dari nasab ini. Kehormatan dan penghormatan terhadap nasab Ba’alawi didasarkan pada kedekatan spiritual dan darah dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tentunya memberikan prestise tersendiri di mata masyarakat.

Namun, penghormatan terhadap nasab Ba’alawi tidak hanya berasal dari darah semata, tetapi juga dari amal perbuatan, ilmu, dan kontribusi besar yang mereka berikan dalam penyebaran dakwah Islam. Sebagian umat Islam menganggap bahwa kehormatan ini tidak boleh menjadi alasan untuk merasa lebih tinggi atau eksklusif dibandingkan umat yang lain. Nasab, meskipun penting, tidak seharusnya menjadi alat untuk perpecahan.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian IV)

Dalam konteks media sosial yang semakin bebas, banyak pengguna yang mempertanyakan klaim nasab Ba’alawi ini dengan berbagai argumen. Sebagian pihak skeptis berpendapat bahwa mengandalkan silsilah keturunan untuk meraih status sosial atau pengakuan di tengah masyarakat merupakan praktik yang tidak relevan lagi di era modern. Mereka merasa bahwa siapa pun yang mengklaim keturunan nabi harus membuktikan dengan amal dan akhlak, bukan sekadar silsilah. Pertanyaan tentang otentisitas dan keabsahan dokumen atau bukti nasab ini pun menjadi salah satu sorotan dalam perdebatan.

Di sisi lain, ada juga kelompok yang merasa bahwa mempertanyakan nasab tersebut adalah bentuk pelecehan terhadap kehormatan keluarga nabi. Mereka menekankan pentingnya menghormati tradisi dan nasab, yang dianggap sebagai salah satu pilar dalam menjaga kehormatan agama. Pandangan ini didukung oleh sebagian ulama yang menegaskan bahwa mencintai keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian dari iman dan kecintaan kepada beliau.

Polemik ini jelas membawa dampak pada persatuan umat Islam. Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi diskusi yang luas, tetapi di sisi lain, hal ini juga memicu perpecahan. Ketika sebuah diskusi terkait dengan nasab yang bersifat sensitif, sering kali perdebatan menjadi emosional dan memunculkan kebencian, bahkan antara sesama Muslim. Komentar-komentar yang bernada sinis dan merendahkan dapat memperuncing perpecahan, terutama ketika hal-hal seperti ini dibahas tanpa ilmu yang mendalam dan bijaksana.

Umat Islam perlu diingatkan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, tetapi menjaga adab dan persatuan adalah keharusan. Perdebatan mengenai nasab Ba’alawi harus dilakukan dengan kepala dingin, penuh hormat, dan tidak dijadikan alat untuk merendahkan satu sama lain. Jika tidak, umat hanya akan terjebak dalam konflik yang tidak membawa manfaat bagi agama maupun masyarakat.

Baca Juga: Komunisme Bertentangan dengan Fitrah Manusia

Pada akhirnya, polemik ini mengajarkan kita untuk lebih fokus pada substansi daripada simbol. Nasab memang memiliki tempatnya dalam tradisi Islam, tetapi amal perbuatan dan akhlak mulia tetap menjadi ukuran utama. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk mencintai keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun cinta tersebut harus diwujudkan dalam bentuk penghormatan, baik terhadap keturunan beliau maupun terhadap seluruh umat.

Jangan sampai energi kita terkuras hanya dalam memperdebatkan hal-hal yang bersifat simbolis, tetapi lupa bahwa kita sebagai umat yang satu harus terus bergotong royong memperkuat ukhuwah, menjaga persatuan, dan saling mendukung dalam menghadapi tantangan zaman. Polemik nasab Ba’alawi seharusnya tidak menjadi pemicu perpecahan, melainkan menjadi pengingat untuk lebih menekankan akhlak dan amal saleh sebagai warisan terbaik dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Komunisme, Ancaman bagi Peradaban

Rekomendasi untuk Anda