Jakarta, MINA — Wacana pemanfaatan dana zakat untuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah memicu perdebatan publik. Baznas sebagai lembaga resmi pengelola zakat di Indonesia dihadapkan pada dilema etis dan regulatif terkait rencana tersebut.
Pengelolaan zakat diatur dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat, yang menegaskan bahwa pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat harus direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, dan dipertanggungjawabkan secara baik dan akuntabel. Pendistribusian dana zakat juga harus memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan skala prioritas untuk kelompok mustahik sesuai ketentuan syariat Islam.
Lukman Hakim Saifuddin, anggota Gerakan Nurani Bangsa, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (16/1), mengingatkan bahwa pemanfaatan dana zakat untuk program MBG perlu dipertimbangkan dengan cermat.
“Penggunaan dana zakat yang bersifat charity seharusnya hanya dialokasikan untuk situasi insidental seperti bencana alam atau kondisi darurat, bukan untuk program yang bersifat jangka panjang dan sudah memiliki anggaran khusus dari pemerintah,” ujarnya.
Baca Juga: Sukamta: Gencatan Senjata Langkah Penting Pulihkan Situasi Kemanusiaan di Palestina
Sebelumnya, Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin mendorong pendanaan makan bergizi gratis melibatkan masyarakat. Dia mengusulkan menggunakan dana zakat untuk membiayai program tersebut.
“Contoh, bagaimana kita menstimulus agar masyarakat umum pun terlibat di program makan bergizi gratis ini. Di antaranya adalah saya kemarin juga berpikir kenapa nggak ya zakat kita yang luar biasa besarnya juga kita mau libatkan ke sana, itu salah satu contoh,” kata Sultan kepada wartawan di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1).
Program MBG yang diinisiasi pemerintah telah memiliki anggaran sebesar Rp71 triliun. Hal ini menimbulkan pertanyaan, seberapa besar kontribusi Baznas yang akan berdampak signifikan pada program tersebut? Lebih jauh, penggunaan dana zakat untuk MBG berpotensi memunculkan komplikasi dalam tata kelola, audit, dan pertanggungjawaban dana yang dapat mengaburkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat.
Selain itu, penggunaan dana zakat untuk program MBG dinilai tidak sepenuhnya tepat sasaran. Tidak sedikit peserta didik yang menerima manfaat MBG bukan berasal dari kalangan miskin. Padahal, secara syar’i, zakat seharusnya diprioritaskan untuk delapan golongan (asnaf) yang berhak menerimanya, di antaranya fakir, miskin, dan amil.
Baca Juga: Dana Zakat untuk Program MBG, IZW Khawatirkan Tidak Tepat Sasaran
Di tengah dominasi penerimaan negara dari pajak yang mencapai 82%, publik mempertanyakan sejauh mana dana tersebut dikembalikan kepada masyarakat. Penggunaan dana zakat, yang merupakan hak umat, untuk membiayai kewajiban negara dalam menyediakan pangan bergizi dinilai kurang etis.
Sebagai solusi, pemerintah dan Baznas diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan program filantropi nasional guna meningkatkan keterlibatan publik dalam upaya perbaikan gizi masyarakat tanpa membebani dana zakat.
Polemik ini menjadi refleksi penting bagi semua pihak dalam menjaga amanah pengelolaan zakat agar tepat guna dan tepat sasaran, sekaligus memastikan bahwa kebijakan publik tidak mengaburkan batasan antara kewajiban negara dan tanggung jawab sosial masyarakat.[]
Baca Juga: Respon Gencatan Senjata, Ketum Persis: Israel dan Negara Penyokong di Ambang Kehancuran
Mi’raj News Agency (MINA)